Jumat, 07 Desember 2012

Warning Profesor Minim Penelitian


Warning Profesor Minim Penelitian
Agoes Soegianto ;  Guru Besar Biologi Lingkungan,
Universitas Airlangga, Memegang H-index 3
JAWA POS, 06 Desember 2012

  
PROFESOR Djoko Santoso, direktur jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud, ternyata sudah lama memendam keprihatinan soal sangat sedikitnya karya ilmiah yang dihasilkan para profesor (guru besar). Terlebih lagi yang sampai dapat diterbitkan di jurnal ilmiah internasional yang terindeks di Scopus (Jawa Pos, Senin 3 Desember 2012). 

Saat ini diperkirakan ada sekitar 5.000 orang guru besar (gubes) di seluruh Indonesia. Menurut Dirjen Dikti, di antara jumlah tersebut, hanya sedikit yang karyanya ikut meramaikan publikasi jurnal ilmiah internasional (JII). Sesuai dengan pelacakan saya, dari 150 gubes dari seluruh Indonesia yang secara acak namanya saya lacak di Scopus Elsevier, hanya sekitar 15 persen yang karyanya dimuat di JII dan hanya sekitar 6 persen yang karyanya dikutip (cited) oleh peneliti lain. 

Hal ini menunjukkan bahwa walaupun dapat terbit di JII, suatu karya ilmiah tersebut belum tentu menarik bagi peneliti lain. Tidak menarik, antara lain, karena hasil penemuan atau metodenya tidak baru. Indeks sitasi tersebut diberi simbol H-index Author. Makin banyak suatu karya ilmiah seorang peneliti dikutip oleh peneliti lain akan semakin tinggi nilai H-index peneliti tersebut.

Scopus adalah pusat data milik Elsevier (penerbit ilmiah raksasa dunia) yang mendata karya ilmiah peneliti di seluruh dunia yang terbit di lebih dari 18 ribu jurnal dan publikasi internasional. Melalui Scopus, kita dapat mengetahui sudah seberapa banyak publikasi internasional yang telah kita tulis. Melalui Scopus, kita juga dapat mengetahui siapa, dari universitas mana, dari negara mana, dan jurnal apa yang mengutip tulisan (karya ilmiah) kita. Nah, dari Scopus inilah, Dirjen Dikti bisa mengetahui fakta memprihatinkan profesor kita.

Tidak heran bila Dirjen Dikti menegaskan bahwa setiap calon gubes wajib menerbitkan dulu karya ilmiahnya di JII sebagai syarat jadi gubes. Ditjen Dikti hanya mengakui bila karya ilmiah tersebut dimuat dalam JII yang terindeks dalam Scopus. Hal ini memang tidak berlebihan. Sebab, di dunia terdapat lebih dari 50 ribu JII dan hanya sekitar 18 ribu JII yang mempunyai kualitas baik dan semua itu bisa dilacak di Scopus.

Seorang guru besar memang dituntut untuk mampu memublikasikan karyanya di JII. Dengan semakin banyak karya ilmiah yang ditulis di JII, kemampuan akademik (keilmuan) seorang gubes akan terus terasah dan terus dapat mengikuti perkembangan keilmuannya di tingkat dunia. Publikasi di JII sangat penting dilakukan oleh profesor dan calon profesor. Fungsinya, membuktikan apakah tingkat keilmuannya sudah layak dianggap sebagai gubes atau belum di tingkat dunia. 

Mengapa demikian? Sebab, umumnya, sebelum dapat diterbitkan di JII, karya ilmiah tersebut harus di-review (ditelaah) oleh sekurang-kurangnya dua ahli sebidang dari negara lain. Jika hasil review baik, karya ilmiah tersebut baru layak untuk diterbitkan di JII. 

Menurut pengalaman saya, memang sangat tidak mudah menulis karya ilmiah yang layak terbit di JII (yang terindeks di Scopus). Sebab, pada umumnya, mereka hanya menerima karya penelitian yang baik dan orisinal. Bahkan, ada JII yang menolak 60 persen karya yang masuk. 

Ketegasan Dirjen Dikti yang mengharuskan calon gubes dan juga gubes agar melakukan publikasi di JII perlu diapresiasi dan kita dukung jika Indonesia ingin memiliki gubes yang berkualitas akademik internasional. Di negara maju, seperti Eropa dan AS, seseorang baru dapat diusulkan menjadi profesor bila yang bersangkutan memiliki nilai H-index sekurang-kurangnya 12. Untuk dapat mencapai nilai H-indextersebut, sekurang-kurangnya dibutuhkan 60-100 publikasi internasional. Di Indonesia hanya sekitar 6 persen dari total gubes (sekitar 5.000 orang) yang ada yang mempunyai nilai H-index. Itu pun baru antara 1-8. Sisanya, 94 persen, masih berkategori undefined. Memprihatinkan memang.

Menjadi gubes di Indonesia memang belum mensyaratkan indeks sitasi (H-index) ini. Kalau H-index ini dijadikan salah satu syarat menjadi gubes, akan sangat sedikit jumlah gubes kita. Ditjen Dikti menyadari hal ini. Karena itu, calon profesor hanya dipersyaratkan memiliki karya ilmiah yang termuat di JII yang terindeks di Scopus. Berapa jumlahnya? Tidak ditetapkan. 

Menurut pengalaman saya, jika mempunyai sekurang-kurangnya tiga publikasi di JII-Scopus, setelah 3-5 tahun, seseorang akan mempunyai H-index >= 1. Dengan begitu, jumlah publikasi internasional yang diperlukan seorang calon gubes untuk menjadi gubes idealnya tiga buah. Nilai ini tentu saja masih sangat rendah jika dibandingkan dengan calon profesor di negara maju yang harus terlebih dulu memiliki H-index >= 12. Asisten profesor di Eropa memiliki H-index = 3 - 5.

Bagi seseorang yang telah menjadi gubes namun belum memiliki publikasi internasional (jumlahnya lebih dari 80 persen gubes di Indonesia), Ditjen Dikti tidak dapat berbuat banyak. Ditjen Dikti hanya bisa mengimbau dan menyerahkan kepada masyarakat menilai sendiri kapabilitas ilmiah gubes tersebut. Yang bisa dilakukan Ditjen Dikti berkenaan dengan gubes yang ada, sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang, adalah mem-warning bahwa dalam masa tiga tahun seorang gubes harus melakukan kewajiban khusus (tambahan), yaitu menulis buku, karya ilmiah (publikasi), dan menyebarluaskan gagasannya untuk masyarakat. 

Jika selama tiga tahun berturut-turut tidak menjalankan tiga aktivitas tersebut, tunjangan kehormatan gubesnya akan dicabut. Memang, banyak dosen setelah mendapat jabatan gubes bukannya memperbanyak kegiatan penelitian dan meningkatkan kualitas penelitiannya, namun malah berhenti untuk melakukan kegiatan penelitian dan memilih banyak mengajar. Bahkan, banyak di antara mereka berlomba-lomba mengejar jabatan administratif sebagai pengelola perguruan tinggi atau lembaga lain. Mudah-mudahan dengan warning ini Indonesia dapat segera memiliki gubes yang berkualitas akademik internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar