Jumat, 07 Desember 2012

Jalan Konstitusi Melindungi Nelayan


Jalan Konstitusi Melindungi Nelayan
M Riza Damanik ;  Sekretaris Jenderal Kiara;
Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
KOMPAS, 06 Desember 2012



Sesaat setelah berakhirnya Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Vladivostok, Rusia, organisasi nelayan sekawasan Asia Pasifik bertemu di Iloilo, Filipina, 19-21 September 2012.
Meski tidak dirancang ”berhadap-hadapan”, kedua momentum ini memiliki kedudukan penting dalam menyikapi perkembangan krisis global yang berdampak hingga ke perkampungan nelayan.
Forum APEC menghasilkan optimisme di kalangan para pemimpin negara dalam menghadapi krisis ekonomi global. Caranya, dengan melanjutkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan dalam bingkai investasi hijau.
Namun, forum nelayan bertajuk ”International Fisheries Conference on Globalization” menemukan adanya kesamaan modus pembangunan di kawasan Asia Pasifik, yakni pemerintahan di setiap negara membajak pesan ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan untuk memarjinalkan kaum nelayan. Tidak terkecuali di Indonesia.
Kejahatan Struktural
Dewasa ini, hilangnya akses nelayan terhadap laut marak terjadi di sejumlah negara. Kejahatan struktural terhadap nelayan ini dilakukan oleh penyelenggara negara melalui instrumen negara yang sah, untuk menghasilkan produk kebijakan yang pro-investasi. Praktik investasi atas nama pembangunan ini selanjutnya merampas kekayaan sumber daya pesisir dan laut dari keluarga nelayan (ocean-grabbing).
Satu dekade proyek reklamasi di Teluk Jakarta, misalnya, telah menggusur sekurang-kurangnya 3.500 keluarga nelayan dari ruang hidup dan penghidupannya di laut. Hal serupa terjadi di daerah lain seiring dengan meluasnya bisnis pariwisata bahari berkedok konservasi satwa ataupun habitat di sejumlah wilayah kepulauan Indonesia.
Seperti di Berau, Kalimantan Timur; Komodo, Nusa Tenggara Timur, dan beberapa kawasan wisata bahari lain, pemerintah memberlakukan pembatasan wilayah penangkapan ikan dan sanksi bagi nelayan lokal yang melanggar. Sebaliknya, pemerintah memberikan akses pengelolaan laut yang luas bagi pengusaha wisata dan turis asing.
Modus lainnya, dengan membiarkan kapal-kapal ikan asing, termasuk anak buah kapal asing, mendominasi pemanfaatan sumber daya ikan Indonesia. Pemerintah, misalnya, mengizinkan perubahan peruntukan Teluk Senunu, Nusa Tenggara Barat, dari sebelumnya tempat nelayan menangkap ikan menjadi tempat menampung limbah tambang (tailing) PT Newmont Nusa Tenggara. Upaya perampasan wilayah pesisir ini dimuluskan lewat instrumen hak pengusahaan perairan pesisir (HP3) seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Melalui hak pengusahaan pesisir, perairan pesisir, mulai dari permukaan air, kolom air, hingga dasar perairan, dapat dikelola oleh sektor swasta hingga kurun waktu 60 tahun secara akumulatif. Tujuannya adalah meningkatkan investasi pertambangan, pariwisata, serta perikanan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia. Ini termasuk dengan melibatkan investasi asing.
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak atas Pangan Olivier De Schutter, saat meluncurkan ”Laporan Perikanan dan Hak atas Pangan” (30/10/2012), menyebut praktik perampasan sumber daya pesisir dan laut melalui berbagai kebijakan yang curang telah menjadi ancaman serius terhadap pemenuhan hak rakyat atas pangan, sebagaimana halnya seriusnya ancaman perampasan tanah (land-grabbing) terhadap ketersediaan pangan dunia.
Kehendak Konstitusi
Saat menghadiri konferensi nelayan se-Asia Pasifik, September lalu, saya menyampaikan apa yang sedang dan telah dihasilkan dari perjuangan gerakan nelayan di Indonesia. Salah satunya adalah dibatalkannya HP3 oleh Mahkamah Konstitusi pada 16 Juni 2011. Keputusan Mahkamah Konstitusi telah memunculkan harapan baru bagi keluarga nelayan Indonesia untuk hidup lebih baik dibandingkan dengan komunitas nelayan lain di kawasan Asia Pasifik.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menjabarkan adanya hak konstitusional nelayan dan masyarakat adat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hak-hak itu adalah hak untuk melintasi perairan, hak untuk mengelola sumber daya pesisir dan laut sesuai tradisi yang dijalankan, hak untuk memanfaatkan sumber daya, termasuk hak untuk mendapatkan lingkungan perairan yang bersih dan sehat.
Pada ranah internasional, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) juga tengah mengembangkan instrumen perlindungan nelayan. Mereka menyebutnya International Guidelines on Small Scale Fisheries. Di Indonesia, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Serikat Nelayan Indonesia, dan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia terlibat aktif dalam proses pemantapan substansinya. Bila sesuai rencana, pada 2014 instrumen ini efektif diadopsi oleh tiap-tiap negara.
Kini, instrumen perlindungan nelayan di tingkat nasional hingga internasional kian saling melengkapi. Sesuai dengan kehendak konstitusi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat memanfaatkan peluang ini untuk mengatasi ketertinggalannya memulihkan hak-hak nelayan Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar