Wadon Nir
Wadonira
Tandi Skober, Budayawan
SUMBER
: MEDIA INDONESIA, 21 April 2012
KE
mana gerangan telunjuk emansipasi dialamatkan? RA Kartini yang berdarah
Jawa-kah? Bisa jadi Dewi Sartika dari Pasundan, atau Siti Aisyah We Tenriolle
dari Sulawesi Selatan, tak mustahil Sultanah Safiatuddin dari Aceh, Rohana dari
Padang, dan entah siapa lagi, itu tentu sulit terdeteksi. Yang bisa diasketik,
ternyata selalu saja ada yang salah dari sejarah dan wanita Indonesia, yang
dibiarkan berjalan di atas pecahan cermin tanpa cahaya. Kenapa? Literasi kuno
memosisikannya sebagai `wong wadon nir
wadonira suarga nunut neraka katut'. Wanita tercipta di sebuah ruang yang
disucikan. Ia kudu nunut ke mana arah langkah sang suami.
Sri
Mulyani Indrawati dipastikan lebih memilih alur karier ketimbang nunut ke mana
suami melangkah. Sri tahu bahwa bermula dari air mata Dewa Ular Antaboga dalam
mitos Dwi Srilah, kartu kredit emansipasi dikantongi. “Saya ingin katakan bahwa
saya menang,“ ucap Sri Mulyani Indrawati (MI, 20/5/2010). “Saya berhasil karena
mereka tidak berhasil mendikte saya.“ Seusai itu, Sri Mulyani melangkah ke
ruang tarung lebih luas menjadi Managing Director of World Bank.
Air Mata Antaboga
Ke
mana gerangan telunjuk emansipasi dialamatkan? Bisa jadi itu terarah ke air
mata Dewa Ular Antaboga. Konon, air mata itu saat jatuh ke Tanah Air berubah
menjadi telur mustika. Telur itu kelak menetaskan sosok perempuan sangat cantik
bernama Nyi Pohaci Sanghyang Sri.
Dewi
Sri, seperti halnya Sri Mulyani, tidak hanya cantik jasadi, tapi juga memiliki
apa yang sering dituturkan sang dalang Cirebon, “Ngelmu kala koni kanthi laku.
Lakune lawan kas tegese kas nyantosani setya budya pengekese durang kara.“ Artinya, memiliki inner smart, kalbu yang jernih, istikamah, dan kesadaran untuk memusnahkan angkara murka. Konon, hal itu membuat Batara Guru kesengsem tresno jalaran suku ngelmu. Jatuh cinta disebabkan kecerdasan yang terpancar dari langkah laku Dewi Sri. Itulah sebabnya Dewi Sri diberi kewenangan untuk menata per bendaharaan elmu (ilmu) Sastra Jendra Hayuningrat.
Lakune lawan kas tegese kas nyantosani setya budya pengekese durang kara.“ Artinya, memiliki inner smart, kalbu yang jernih, istikamah, dan kesadaran untuk memusnahkan angkara murka. Konon, hal itu membuat Batara Guru kesengsem tresno jalaran suku ngelmu. Jatuh cinta disebabkan kecerdasan yang terpancar dari langkah laku Dewi Sri. Itulah sebabnya Dewi Sri diberi kewenangan untuk menata per bendaharaan elmu (ilmu) Sastra Jendra Hayuningrat.
Para
dewa pun iri. Kartel politik dikibarkan. Skenario pun disusun untuk menciptakan
rangkaian fitnah yang mema tikan. Sekali tempo, dewan para dewa menegur Dewi
Sri, “Wong ngawula ing ratu luwih
pakewuh. Nora kena ming gang-minggring. Kudu manteb sartanipun. Setya tuhu
maring gusti. Ditun miturut sapakon.“
Artinya,
bila mengabdi jangan setengah-setengah. Harus mantap! Setia kepada pimpinan dan
melaksanakan segala perin tahnya.
Dewi
Sri ternyata tidak mau didikte. Ia tetap pada pendiriannya bahwa setya budya pangekese dur pangekese dur
angkara. Maka, seperti halnya Anne Robert Jacques Turgot (1727 1781), ia
terpuruk di sudut gelap politisasi dewan dewa. Kolusi untuk memastikan kematian
Dewi Sri tidak bisa dibendung.
Dewan Dewa memutasi mati Dewi Sri kehamparan bumi nun jauh dari sorgaloka.
Dewan Dewa memutasi mati Dewi Sri kehamparan bumi nun jauh dari sorgaloka.
Mutasi
mati Dewi Sri itu kerap dituturkan dalam kiser megatruh Dewi Sri yang pedih. Saat
wafat, dari kepala Dewi Sri muncul pohon kelapa; dari hidung, bibir, dan
telinganya muncul berbagai tanaman rempah-rempah wangi dan sayur-mayur; dari
rambutnya tumbuh rerumputan dan berbagai bunga yang cantik dan harum; dari
payudaranya tumbuh buah-buahan yang ranum dan manis; dari lengan dan tangannya
tumbuh pohon jati, cendana, dan berbagai pohon kayu yang bermanfaat; dari alat
kelaminnya muncul pohon aren atau enau bersadap nira manis; dari pahanya tumbuh
berbagai jenis tanaman bambu; dan dari kakinya muncul berbagai tanaman
umbi-umbian dan ketela; akhirnya dari pusaranya muncullah tanaman padi!
RA
Kartini seperti Dewi Sri, juga mati muda. Namun, selalu ada pelangi seusai
langit dihijab mega mendung. Simak, enam tahun setelah Kartini wafat pada 1911,
Abendanon menerbitkan kumpulan suratsurat Kartini dengan judul Door Duisternis
tot Lich. Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain
mendirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai CTh van Deventer. Terus?
Surat-surat Kartini diterbitkan dalam edisi bahasa Inggrisnya, bertajuk Letters of a Javanese Princess. Terus?
Dalam tempo singkat, pada 1922 itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan
judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Dari
catatan tersebut, pantaskah RA Kartini sebagai pemilik kartu kredit emansipasi?
Tentu hanya waktu yang akan memberi tanda. Saya berpendapat Kartini lebih
dicahayai alur cemas JH Abendanon dan Cristiaan Snouck Hurgronje jika
dibandingkan dengan `Kartini-Kartini' lainnya. Maklum, pada era itu,
pemerintahan Hindia Belanda di penghujung abad ke-19 dicemaskan aliran deras
nilai-nilai baru holistisme khas Islam. Ihwal tersebut dinilai Snouck sebagai
transformasi yang sistematis sekaligus perusakan struktur kultur lama melalui
penetrasi struktur kultur yang baru. “Pem-Barat-an
kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan adalah langkah penting untuk
menjauhkan mereka dari Islam,“ ungkap Snouck (Politik Islam Hindia Belanda,
Dr Aqib Suminto).
Usaha
Snouck Hurgronje berhasil. Kartini meyakini bahwa orientalis-kolonialis Balanda
itu sosok suci, berkebudayaan tinggi, dan patut dijadikan ki tab kebudayaan.
Itu bisa disimak dari surat Kartini untuk Abendanon bertanggal 18 Februari
1902, `Apabila Nyonya bertemu dengan
teman Nyonya Dr Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang
hal berikut, apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang
terdapat dalam undang-undang bangsa Barat? Ataukah sebaiknya saya memberanikan
diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu
tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya'
(Surat-Surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya, hal 234-235).
Habis
gelap ternyata Kartini kian digelapkan alur pikir Snouck Hurgronje. Bisa jadi
dalam jemari nalar Kartini, sosok Snouck Hurgronje ialah pemikir Islam yang
mumpuni. Ia murid para Syaikh al-Azhar Kairo yang berganti nama menjadi Abdul
Ghaffar pada 1885. Snouck juga dianggap `Mufti
Hindia Belanda' bergelar `Syaikhul
Islam Jawa'.
Padahal,
sejatinya, seperti ditulis PSJ van Koningsveld dalam Snouck Hurgronje en Islam, Snouck Hurgronje merupakan pengikut
jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher. Snouck ialah hantu yang menyamar
sebagai muslim.
“Sesungguhnya
agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang
biadab, itu tidak dapat berdamai dengan peradaban modern.“
Langkah Salah
Kartini
barangkali bukan kartu kredit emansipasi. Bisa jadi ia cuma putri sejati yang
sedang mencari jati diri yang namanya diharumkan Abendanon dan orientalis
Snouck Hurgronje. Ia terperangkap dalam sebuah kamar bercahaya redup. Andai
berusia lanjut, tidak mustahil Kartini sadar bahwa mengikuti jejak pikir
Abendanon dan Snouck Hurgronje tidak lebih dari langkah salah wanita.
Lagi
pula siapa bisa menyangkal bahwa transformasi di era globalisasi pada akhirnya
hanya bisa membuat wanita seperti adonan yang bisa dicetak, diarahkan, dan
dibonsaikan? Bila sudah begini, peradaban kembali merotasi ke frase lama wong wadon nir wadonira suarga nunut neraka
katut. ●
Bahasa, ulasan, dan cara bertutur Bung Tandi Skober super sekali. Enak dibaca dan perlu.
BalasHapusSalam,
Natsir Kongah