Perempuan
Menuntut Parpol
Ledia Hanifa Amaliah, Anggota DPR RI
SUMBER
: REPUBLIKA, 21 April 2012
Jadwal
pemilu telah semakin pendek. Untuk hitungan hari, pemilu memang masih menyisakan
angka panjang, ratusan hari. Namun, untuk perhitungan kesiapan partai politik
dan calon anggota legislatif pun eksekutif, pemilu ini hanya tinggal selangkah
lagi.
Bagi
rakyat, pemilu adalah masanya untuk ikut menyumbang peran politik untuk negeri
dengan memilih calon-calon wakil rakyat terbaik atau menjadi wakil rakyat
terbaik. Namun bagi rakyat perempuan, sumbangsih ini masih kerap terhambat
karena peluang untuk menjadi wakil rakyat masih sangat kecil.
Kita
memang boleh bersyukur bahwa dalam beberapa tahun terakhir peluang perempuan
untuk berpartisipasi di ranah politik semakin terbuka lebar dengan adanya
pengaturan affirmative action yang
mensyaratkan 30 persen kuota perempuan dalam pencalonan anggota legislatif
sebagaimana termuat dalam UU Pemilu No 10 Tahun 2008 Pasal 53 dan 55. Namun,
pada kenyataannya masih banyak partai yang tidak mengindahkan amanah
undang-undang tersebut.
Tiga Hambatan
Dari
banyak alasan yang dikemukakan kebanyakan partai soal tidak tercapainya kuota
30 persen dalam pencalonan perempuan di pemilu legislatif umumnya mengerucut
pada dua hal.
Pertama,
kesulitan mencari perempuan berkualitas yang mampu dicalonkan.
Kedua, kesulitan mencari perempuan berkualitas yang mau dicalonkan. Akibatnya, beberapa calon perempuan yang diajukan sejumlah partai terkesan “ditempel“ untuk sekadar ada.
Kedua, kesulitan mencari perempuan berkualitas yang mau dicalonkan. Akibatnya, beberapa calon perempuan yang diajukan sejumlah partai terkesan “ditempel“ untuk sekadar ada.
Tak
dapat dipungkiri, perempuan yang siap untuk menjadi anggota dewan bisa jadi
masih lebih sedikit daripada laki-laki yang siap. Siap dalam pengertian mampu
memenuhi atau memiliki kapasitas ideal yang dibutuhkan untuk berkiprah di
panggung politik. Berbagai kajian telah menunjukkan bahwa hambatan perempuan
untuk berkiprah dalam ranah politik banyak dibatasi oleh kendala finansial,
kendala tata nilai, budaya, dan tradisi serta hambatan dari kapasitas personal.
Pekerjaan
membangun negeri ini menjadi lebih baik saat dijadikan pekerjaan besar bersama.
Kepentingan untuk menumbuhkan pribadi-pribadi dan keluarga yang sehat, cerdas,
juga berkarakter positif sama pentingnya dengan membangun perekonomian,
perindustrian, pariwisata, dan kemandirian teknologi. Dan, meskipun seorang
anggota dewan harus memperjuangkan kepentingan semua pihak, sayangnya
kepentingan perempuan, anak, dan keluarga sering kali terewatkan.
Dari
data BPS 2010, didapati jumlah perempuan Indonesia mencapai kisaran angka 118,5
juta dari sekitar 238 juta jiwa. Bersama anak-anak, ini berarti ada lebih dari
separuh penduduk negeri ini yang terabaikan hak-haknya bila kepentingannya
selalu terlewatkan dalam penggodokan demi penggodokan kebijakan negara. Karena
itu, perempuan anggota dewan diharapkan memiliki kepedulian lebih untuk membela
kepentingan perempuan dan anak dalam rangka mendongkrak tingkat kesejahteraan
keseluruhan bangsa yang lebih baik pula.
Menuntut Tanggung Jawab
Posisi
penyelenggara kebijakan di Indonesia, dalam hal ini yang berada di tataran
legislatif, merupakan produk politik yang dikeluarkan lewat partai politik
(parpol). Ini berarti, parpol adalah faktor penentu bagi tersedianya para
penentu kebijakan. Maka, tersedianya perempuan-perempuan berkualitas yang mampu
dan mau berkiprah dalam dunia politik untuk ikut memberikan bakti terbaik bagi
bangsa ini adalah tanggung jawab partai politik.
Ini
bukan sekadar tanggung jawab asal-asalan. Asal perempuan dan asal memenuhi
kuota 30 persen pencalonan perempuan untuk memenuhi prasyarat pemilu. Tetapi,
parpol sendiri harus melihat bahwa terlibatnya perempuan dalam ranah politik
adalah sebuah investasi bagi kebaikan bangsa di masa depan.
Parpol
tidak lagi boleh berlindung dari kata sulit mencari perempuan berkualitas yang
mampu dan mau berkiprah di ranah politik karena membentuk perempuan-perempuan
yang mampu dan mau itu sendiri adalah tanggung jawab partai politik. Dengan
adanya UU Parpol No 2 Tahun 2008 yang diperbarui oleh UU No 2 Tahun 2011 yang
menuntut parpol untuk menempatkan 30 persen pengurusnya adalah perempuan ini
berarti peluang menjaring kader politikus perempuan juga semakin terbuka.
Jadi,
kini persoalan lanjutan selepas adanya ketentuan affirmative action bukanlah berhenti pada titik menempatkan 30
persen perempuan dalam kepengurusan partai dan pencalegan, tetapi persoalan
bagaimana parpol bisa meningkatkan kualitas kader perempuannya. Bukan saatnya
lagi kader perempuan hanya ditempatkan pada bidang-bidang kesekretariatan,
bidang perempuan, atau bahkan sekadar untuk mengurusi konsumsi. Tetapi, pelibatan
perempuan kader partai harus diperluas untuk bisa merata berada di dalam setiap
lini termasuk dalam struktur pengurus harian.
Secara
khusus, parpol juga harus bisa memberikan sosialisasi penyadaran, pendidikan
politik. Kader perempuan dari partai politik juga harus diberi kesempatan untuk
“turun lapangan“. Begitu pula dengan
mengirimkan mereka dalam forum-forum kajian tingkat lokal, nasional, dan
internasional yang akan mampu mengasah jam terbang perempuan kader parpol
menjadi lebih tinggi dan lebih baik. Tanpa kemauan dan kesungguhan parpol
mencari, mendidik, melatih, dan men-support perempuan untuk bersiap menjadi
kader tangguh partai, ketentuan affirmative
action 30 persen perempuan hanya akan menjadi slogan kosong pemanis bibir
belaka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar