Minggu, 22 April 2012

Perempuan Menuntut Parpol


Perempuan Menuntut Parpol
Ledia Hanifa Amaliah, Anggota DPR RI
SUMBER : REPUBLIKA, 21 April 2012



Jadwal pemilu telah semakin pendek. Untuk hitungan hari, pemilu memang masih menyisakan angka panjang, ratusan hari. Namun, untuk perhitungan kesiapan partai politik dan calon anggota legislatif pun eksekutif, pemilu ini hanya tinggal selangkah lagi.
Bagi rakyat, pemilu adalah masanya untuk ikut menyumbang peran politik untuk negeri dengan memilih calon-calon wakil rakyat terbaik atau menjadi wakil rakyat terbaik. Namun bagi rakyat perempuan, sumbangsih ini masih kerap terhambat karena peluang untuk menjadi wakil rakyat masih sangat kecil.

Kita memang boleh bersyukur bahwa dalam beberapa tahun terakhir peluang perempuan untuk berpartisipasi di ranah politik semakin terbuka lebar dengan adanya pengaturan affirmative action yang mensyaratkan 30 persen kuota perempuan dalam pencalonan anggota legislatif sebagaimana termuat dalam UU Pemilu No 10 Tahun 2008 Pasal 53 dan 55. Namun, pada kenyataannya masih banyak partai yang tidak mengindahkan amanah undang-undang tersebut.

Tiga Hambatan

Dari banyak alasan yang dikemukakan kebanyakan partai soal tidak tercapainya kuota 30 persen dalam pencalonan perempuan di pemilu legislatif umumnya mengerucut pada dua hal.

Pertama, kesulitan mencari perempuan berkualitas yang mampu dicalonkan.
Kedua, kesulitan mencari perempuan berkualitas yang mau dicalonkan. Akibatnya, beberapa calon perempuan yang diajukan sejumlah partai terkesan “ditempel“ untuk sekadar ada.

Tak dapat dipungkiri, perempuan yang siap untuk menjadi anggota dewan bisa jadi masih lebih sedikit daripada laki-laki yang siap. Siap dalam pengertian mampu memenuhi atau memiliki kapasitas ideal yang dibutuhkan untuk berkiprah di panggung politik. Berbagai kajian telah menunjukkan bahwa hambatan perempuan untuk berkiprah dalam ranah politik banyak dibatasi oleh kendala finansial, kendala tata nilai, budaya, dan tradisi serta hambatan dari kapasitas personal.

Pekerjaan membangun negeri ini menjadi lebih baik saat dijadikan pekerjaan besar bersama. Kepentingan untuk menumbuhkan pribadi-pribadi dan keluarga yang sehat, cerdas, juga berkarakter positif sama pentingnya dengan membangun perekonomian, perindustrian, pariwisata, dan kemandirian teknologi. Dan, meskipun seorang anggota dewan harus memperjuangkan kepentingan semua pihak, sayangnya kepentingan perempuan, anak, dan keluarga sering kali terewatkan.

Dari data BPS 2010, didapati jumlah perempuan Indonesia mencapai kisaran angka 118,5 juta dari sekitar 238 juta jiwa. Bersama anak-anak, ini berarti ada lebih dari separuh penduduk negeri ini yang terabaikan hak-haknya bila kepentingannya selalu terlewatkan dalam penggodokan demi penggodokan kebijakan negara. Karena itu, perempuan anggota dewan diharapkan memiliki kepedulian lebih untuk membela kepentingan perempuan dan anak dalam rangka mendongkrak tingkat kesejahteraan keseluruhan bangsa yang lebih baik pula.

Menuntut Tanggung Jawab

Posisi penyelenggara kebijakan di Indonesia, dalam hal ini yang berada di tataran legislatif, merupakan produk politik yang dikeluarkan lewat partai politik (parpol). Ini berarti, parpol adalah faktor penentu bagi tersedianya para penentu kebijakan. Maka, tersedianya perempuan-perempuan berkualitas yang mampu dan mau berkiprah dalam dunia politik untuk ikut memberikan bakti terbaik bagi bangsa ini adalah tanggung jawab partai politik.

Ini bukan sekadar tanggung jawab asal-asalan. Asal perempuan dan asal memenuhi kuota 30 persen pencalonan perempuan untuk memenuhi prasyarat pemilu. Tetapi, parpol sendiri harus melihat bahwa terlibatnya perempuan dalam ranah politik adalah sebuah investasi bagi kebaikan bangsa di masa depan.

Parpol tidak lagi boleh berlindung dari kata sulit mencari perempuan berkualitas yang mampu dan mau berkiprah di ranah politik karena membentuk perempuan-perempuan yang mampu dan mau itu sendiri adalah tanggung jawab partai politik. Dengan adanya UU Parpol No 2 Tahun 2008 yang diperbarui oleh UU No 2 Tahun 2011 yang menuntut parpol untuk menempatkan 30 persen pengurusnya adalah perempuan ini berarti peluang menjaring kader politikus perempuan juga semakin terbuka.

Jadi, kini persoalan lanjutan selepas adanya ketentuan affirmative action bukanlah berhenti pada titik menempatkan 30 persen perempuan dalam kepengurusan partai dan pencalegan, tetapi persoalan bagaimana parpol bisa meningkatkan kualitas kader perempuannya. Bukan saatnya lagi kader perempuan hanya ditempatkan pada bidang-bidang kesekretariatan, bidang perempuan, atau bahkan sekadar untuk mengurusi konsumsi. Tetapi, pelibatan perempuan kader partai harus diperluas untuk bisa merata berada di dalam setiap lini termasuk dalam struktur pengurus harian.

Secara khusus, parpol juga harus bisa memberikan sosialisasi penyadaran, pendidikan politik. Kader perempuan dari partai politik juga harus diberi kesempatan untuk “turun lapangan“. Begitu pula dengan mengirimkan mereka dalam forum-forum kajian tingkat lokal, nasional, dan internasional yang akan mampu mengasah jam terbang perempuan kader parpol menjadi lebih tinggi dan lebih baik. Tanpa kemauan dan kesungguhan parpol mencari, mendidik, melatih, dan men-support perempuan untuk bersiap menjadi kader tangguh partai, ketentuan affirmative action 30 persen perempuan hanya akan menjadi slogan kosong pemanis bibir belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar