Sabtu, 21 April 2012

Dayang Sumbi dan Kartini


Dayang Sumbi dan Kartini
Asep Salahudin, Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya,
Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 21 April 2012



DALAM konteks budaya Sunda, terdapat banyak cerita rakyat yang menahbiskan perempuan sebagai sosok mulia dan agung, serupa Dayang Sumbi dalam cerita Sangkuriang. Bahkan lebih dari itu, kosmologi Sunda menautkan keperempuanan dengan dimensi transendensi metafisis, seperti Sunan Ambu dan para pohacinya. Sebut juga yang lainnya, semisal Sanghyang Sri Rumbiyang Jati, Nyi Mas Gandasari, Nyi Dewi Kembang Samboja, Nyai Rambut Kasih, Purbasari, Ratna Suminar, dan Nyai Puun Purnamasari.

Dalam nalar Sunda, kiprah perempuan tidak hanya bergerak di seputar dunia pancatengah yang mengurus persoalan-persoalan fisik-kebendaan, sumur, kasur, dan dapur. Namun juga bertalian secara dialektis dengan buana niskala dan jati niskala yang memiliki interaksi simbolis dengan kegaiban, pewahyuan, dan isyaratisyarat langit yang bersifat visioner lainnya.

Itu menjadi satu bukti tak terbantahkan ihwal budaya Sunda yang memosisikan perempuan dalam harkat yang tinggi. Arkeolog Ayatrohaedi (2002) menjelaskan, “Di masyarakat Sunda, baik yang tradisional maupun masyarakat masa silam, perempuan memiliki kedudukan dan peran yang cukup penting.“

Terbitlah Terang

Dalam cerita rakyat yang sering kali dihubungkan dengan sasakala Gunung Tangkuban Parahu itu, bahkan diungkap bagaimana seorang Dayang Sum bi dapat mengalahkan Sangkuriang. Baik Sangkuriang dalam makna harfiah sebagai pria sakti lalaki langit lalanang jagat (anaknya sendiri), maupun dalam arti simbolis, yakni mampu memutuskan seluruh jerat hasrat primitif berupa sifat pongah, tinggi hati, dan rasa percaya diri yang terlampau berlebihan (sang kuring/ keakuan).

Watak-watak sang kuring yang dikelola dengan saksama dan diubah menjadi energi positif kemudian menyebabkan gelap hilang dan terbitlah terang. Cahaya terang yang dikibarkan dengan boeh larang (serupa kain putih) dan ayam berkokok sesungguhnya merupakan simpul terbitnya kesadaran baru, penanda terbenamnya kegelapan yang telah diraih Dayang Sumbi.

Karena gelap habis dan terang telah terbit, `perkawinan' dua anak manusia yang sangat tidak diperkenankan agama dan budaya serta dilarang kepercayaan dan akal sehat itu tidak pernah terjadi dalam alur kosmologi Sunda.

Perkawinan itu tentu tidak harus dimaknai sebagai ijab kabul tanda sahnya hubungan dua jenis kelamin yang berbeda, tetapi bisa juga kita takwilkan sebagai perkawinan kosmis yang apabila berlangsung dapat menyubordinasikan dunia perempuan. Perkawinan yang dapat membuat marwah perempuan runtuh.

Inilah yang dulu dengan sangat bagus diangkat filsuf H Hasan Mustapa dalam sebuah guguritan-nya, Jangkarna jadi walagri/Waluya kasampurnaan/Kapireng bawatna bohong/Disulukan disindiran/Bukaeun di pawekasan/Mungguh pasulukan Bandung/Kacarita Sangkuriang.  `Haluan menjadi waras/Kesantunan kesempurnaan/Tampak kabar kedustaan/Dipanggil ke jalan rohani diingatkan lewat kiasan/Untuk dibuka di ujung kabar/Sungguh suluk Bandung/Syahdan kabar Sangkuriang'.

Dapat kita bayangkan, seandainya terang tidak terbit dan Sangkuriang jadi menikahi Dayang Sumbi, tentu, sekali lagi, itu menjadi lambang status perempuan Sunda menjadi tidak berbeda dengan masa jahiliah prakenabian. Jahiliah bukan hanya tidak menghargai perempuan. Bahkan kehadir an nya pun sangat tidak diinginkan, yang terbukti dengan dibunuhnya bayi-bayi berjenis kelamin perempuan. Itu tampak dalam syair purba yang ditulis Tarafah, Antarah, Labid, Amru ibn Kulsum, Umrul Qais, Nabighah, Zuhair, Al-Haris ibn Hilza, dan Abidul Abros.

Dayang Sumbi dalam faktanya sangat tidak terpikat sedikit pun oleh fantasi kebendaan yang ditawarkan: berlayar di danau. Tawaran itu hakikinya merupakan siasat negasi dari ketidaksetujuan--tetapi tidak diungkapkan dalam bahasa verbal--dari kemustahilan yang tidak mungkin diwujudkan, bahwa dalam semalam Sangkuriang dapat membuat perahu dan membendung danau.

Bandingkan dengan realitas perempuan hari ini, yang justru memburu kemegahan yang bersifat benda, lebih senang mempertontonkan tubuhnya, seperti ditulis dengan baik oleh Liesbet van Zoonen dalam Feminist Media Studies (1994) atau juga dalam Sexuality for Sale-nya Janice Winship. Jean Baudrillard, pemikir post-strukturalis, meneguhkan bahwa hari ini haluan kebenaran perempuan (dan laki-laki) lebih diacukan kepada spirit mendewakan `tubuh'.

Hukum Alam

Dayang Sumbi paham betul ihwal horizon keterbatasan yang dimiliki Sangkuriang (dan eksistensialisme sang kuring). Justru kesadaran itu yang kemudian mengantarkannya kepada keyakinan yang bulat dan iman futuristis bahwa segala sesuatu haruslah berjalan selaras dengan hukum alam, tidak mungkin danau dan perahu dibuat semalaman walaupun yang membuatnya telah mencurahkan seluruh kekuatan dan bermodalkan cinta yang sempurna.

Alam telah memiliki hukumnya sendiri, Tuhan punya rencana yang sangat indah untuk membangun relasi yang harmonis antara makhluk-Nya tanpa dibedakan oleh jenis kelamin. Kemuliaan itu dalam teologi tidak dijangkarkan kepada gender , tapi kepada kerja nyata dan akhlak mulia.

Kalau kita renungkan, risalah kenabian secara substantif ada lah pesan pembebasan (liberasi), perubahan (transformasi), dan pencerahan (iluminasi). Dalam konteks ajaran Islam, misalnya, bagaimana posisi kaum hawa disetarakan dengan kaum adam yang memiliki hak dan kewajiban sama di hadapan Tuhan. Diskriminasi atas hubungan gender adalah pelanggaran hak asasi manusia.

Semangat teologis seperti itulah sebenarnya yang digemakan Dayang Sumbi. Secara historis, itu disuarakan Raden Ajeng Kartini yang baru lahir 21 April 1879 di Kota Jepara, Jawa Tengah. Juga oleh Raden Ayu Lasminingrat dan Dewi Sartika. Bedanya, Dayang Sumbi dirumuskan dalam daya ungkap mistis-metaforis sehingga memungkinkan untuk ditafsirkan secara kreatif dan dikontekstualisasikan maknanya dengan semangat zaman hari ini.

Mitos sebagai alegori dari proses-proses fisik. Malinowski menggambarkan mitos yang ada di sebuah masyarakat bukan hanya suatu cerita lisan, apalagi dongeng tak berfaedah, melainkan suatu fakta dan kekuatan yang hidup.

Justru di sinilah kelebihan model riwayat Dayang Sumbi. Hikayat mistis-mitologis kekuatannya menantang kita untuk menumbuhkan penafsiran emansipatif. Penafsiran yang bisa menggerakkan relasi perempuan dan laki-laki dalam hubungan yang egaliter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar