Dayang Sumbi
dan Kartini
Asep Salahudin, Wakil
Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya,
Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat
SUMBER
: MEDIA INDONESIA, 21 April 2012
DALAM
konteks budaya Sunda, terdapat banyak cerita rakyat yang menahbiskan perempuan
sebagai sosok mulia dan agung, serupa Dayang Sumbi dalam cerita Sangkuriang.
Bahkan lebih dari itu, kosmologi Sunda menautkan keperempuanan dengan dimensi
transendensi metafisis, seperti Sunan Ambu dan para pohacinya. Sebut juga yang
lainnya, semisal Sanghyang Sri Rumbiyang Jati, Nyi Mas Gandasari, Nyi Dewi
Kembang Samboja, Nyai Rambut Kasih, Purbasari, Ratna Suminar, dan Nyai Puun
Purnamasari.
Dalam
nalar Sunda, kiprah perempuan tidak hanya bergerak di seputar dunia pancatengah
yang mengurus persoalan-persoalan fisik-kebendaan, sumur, kasur, dan dapur.
Namun juga bertalian secara dialektis dengan buana niskala dan jati niskala
yang memiliki interaksi simbolis dengan kegaiban, pewahyuan, dan isyaratisyarat
langit yang bersifat visioner lainnya.
Itu
menjadi satu bukti tak terbantahkan ihwal budaya Sunda yang memosisikan
perempuan dalam harkat yang tinggi. Arkeolog Ayatrohaedi (2002) menjelaskan,
“Di masyarakat Sunda, baik yang tradisional maupun masyarakat masa silam,
perempuan memiliki kedudukan dan peran yang cukup penting.“
Terbitlah Terang
Dalam
cerita rakyat yang sering kali dihubungkan dengan sasakala Gunung Tangkuban
Parahu itu, bahkan diungkap bagaimana seorang Dayang Sum bi dapat mengalahkan
Sangkuriang. Baik Sangkuriang dalam makna harfiah sebagai pria sakti lalaki
langit lalanang jagat (anaknya sendiri), maupun dalam arti simbolis, yakni
mampu memutuskan seluruh jerat hasrat primitif berupa sifat pongah, tinggi
hati, dan rasa percaya diri yang terlampau berlebihan (sang kuring/ keakuan).
Watak-watak
sang kuring yang dikelola dengan saksama dan diubah menjadi energi positif
kemudian menyebabkan gelap hilang dan terbitlah terang. Cahaya terang yang
dikibarkan dengan boeh larang (serupa
kain putih) dan ayam berkokok sesungguhnya merupakan simpul terbitnya kesadaran
baru, penanda terbenamnya kegelapan yang telah diraih Dayang Sumbi.
Karena
gelap habis dan terang telah terbit, `perkawinan' dua anak manusia yang sangat
tidak diperkenankan agama dan budaya serta dilarang kepercayaan dan akal sehat
itu tidak pernah terjadi dalam alur kosmologi Sunda.
Perkawinan
itu tentu tidak harus dimaknai sebagai ijab kabul tanda sahnya hubungan dua
jenis kelamin yang berbeda, tetapi bisa juga kita takwilkan sebagai perkawinan
kosmis yang apabila berlangsung dapat menyubordinasikan dunia perempuan.
Perkawinan yang dapat membuat marwah perempuan runtuh.
Inilah
yang dulu dengan sangat bagus diangkat filsuf H Hasan Mustapa dalam sebuah
guguritan-nya, Jangkarna jadi
walagri/Waluya kasampurnaan/Kapireng bawatna bohong/Disulukan
disindiran/Bukaeun di pawekasan/Mungguh pasulukan Bandung/Kacarita Sangkuriang.
`Haluan menjadi waras/Kesantunan
kesempurnaan/Tampak kabar kedustaan/Dipanggil ke jalan rohani diingatkan lewat
kiasan/Untuk dibuka di ujung kabar/Sungguh suluk Bandung/Syahdan kabar
Sangkuriang'.
Dapat
kita bayangkan, seandainya terang tidak terbit dan Sangkuriang jadi menikahi
Dayang Sumbi, tentu, sekali lagi, itu menjadi lambang status perempuan Sunda
menjadi tidak berbeda dengan masa jahiliah prakenabian. Jahiliah bukan hanya
tidak menghargai perempuan. Bahkan kehadir an nya pun sangat tidak diinginkan,
yang terbukti dengan dibunuhnya bayi-bayi berjenis kelamin perempuan. Itu
tampak dalam syair purba yang ditulis Tarafah, Antarah, Labid, Amru ibn Kulsum,
Umrul Qais, Nabighah, Zuhair, Al-Haris ibn Hilza, dan Abidul Abros.
Dayang
Sumbi dalam faktanya sangat tidak terpikat sedikit pun oleh fantasi kebendaan
yang ditawarkan: berlayar di danau. Tawaran itu hakikinya merupakan siasat
negasi dari ketidaksetujuan--tetapi tidak diungkapkan dalam bahasa verbal--dari
kemustahilan yang tidak mungkin diwujudkan, bahwa dalam semalam Sangkuriang
dapat membuat perahu dan membendung danau.
Bandingkan
dengan realitas perempuan hari ini, yang justru memburu kemegahan yang bersifat
benda, lebih senang mempertontonkan tubuhnya, seperti ditulis dengan baik oleh
Liesbet van Zoonen dalam Feminist Media
Studies (1994) atau juga dalam Sexuality
for Sale-nya Janice Winship. Jean Baudrillard, pemikir post-strukturalis,
meneguhkan bahwa hari ini haluan kebenaran perempuan (dan laki-laki) lebih
diacukan kepada spirit mendewakan `tubuh'.
Hukum Alam
Dayang
Sumbi paham betul ihwal horizon keterbatasan yang dimiliki Sangkuriang (dan
eksistensialisme sang kuring). Justru kesadaran itu yang kemudian
mengantarkannya kepada keyakinan yang bulat dan iman futuristis bahwa segala
sesuatu haruslah berjalan selaras dengan hukum alam, tidak mungkin danau dan
perahu dibuat semalaman walaupun yang membuatnya telah mencurahkan seluruh
kekuatan dan bermodalkan cinta yang sempurna.
Alam
telah memiliki hukumnya sendiri, Tuhan punya rencana yang sangat indah untuk
membangun relasi yang harmonis antara makhluk-Nya tanpa dibedakan oleh jenis
kelamin. Kemuliaan itu dalam teologi tidak dijangkarkan kepada gender , tapi
kepada kerja nyata dan akhlak mulia.
Kalau
kita renungkan, risalah kenabian secara substantif ada lah pesan pembebasan
(liberasi), perubahan (transformasi), dan pencerahan (iluminasi). Dalam konteks
ajaran Islam, misalnya, bagaimana posisi kaum hawa disetarakan dengan kaum adam
yang memiliki hak dan kewajiban sama di hadapan Tuhan. Diskriminasi atas
hubungan gender adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Semangat
teologis seperti itulah sebenarnya yang digemakan Dayang Sumbi. Secara
historis, itu disuarakan Raden Ajeng Kartini yang baru lahir 21 April 1879 di
Kota Jepara, Jawa Tengah. Juga oleh Raden Ayu Lasminingrat dan Dewi Sartika. Bedanya,
Dayang Sumbi dirumuskan dalam daya ungkap mistis-metaforis sehingga
memungkinkan untuk ditafsirkan secara kreatif dan dikontekstualisasikan
maknanya dengan semangat zaman hari ini.
Mitos
sebagai alegori dari proses-proses fisik. Malinowski menggambarkan mitos yang
ada di sebuah masyarakat bukan hanya suatu cerita lisan, apalagi dongeng tak
berfaedah, melainkan suatu fakta dan kekuatan yang hidup.
Justru
di sinilah kelebihan model riwayat Dayang Sumbi. Hikayat mistis-mitologis
kekuatannya menantang kita untuk menumbuhkan penafsiran emansipatif. Penafsiran
yang bisa menggerakkan relasi perempuan dan laki-laki dalam hubungan yang
egaliter. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar