Rabu, 11 April 2012

UU Pemilu untuk Penguatan Demokrasi


UU Pemilu untuk Penguatan Demokrasi
Anas Urbaningrum, Ketua Umum DPP Partai Demokrat
SUMBER : SINDO, 11 April 2012



Kita memasuki hari-hari yang menentukan wajah demokrasi kita karena pembahasan RUU Pemilu kini memasuki tahap finalisasi. Dari proses legislasi ini kita mengharapkan hadirnya UU Pemilu sebagai aturan main berdemokrasi yang makin lengkap, rinci,dan memadai.UU Pemilu merupakan modal penting bagi penyelenggaraan pemilu yang makin demokratis, jujur, dan adil.

Representasi dan Akuntabilitas

Salah satu faktor yang menyumbang kompleksnya pemilu di Indonesia adalah jumlah peserta pemilu yang besar. Penyederhanaan sistem kepartaian kita masih membutuhkan waktu agar terwujud komposisi dan jumlah partai yang pas dari segi keterwakilan berbagai aspirasi sehingga menghasilkan sistem politik yang efektif. RUU Pemilu yang sekarang dibahas harus mengedepankan dua prinsip demokrasi seraya melahirkan sistem politik yang efektif. Prinsip penting itu adalah representasi dan akuntabilitas.

Indonesia yang majemuk ini membutuhkan sistem pemilu yang menghadirkan keterwakilan berbagai kelompok dan aspirasi untuk tetap menjaga benang-benang persatuan bangsa.Prinsip keterwakilan ini yang diakomodasi dengan menerapkan sistem proporsional. Sistem proporsional tidak berprinsip ”the winner takes all” yang serta-merta menihilkan yang kalah.Sistem proporsional menghidupkan meritokrasi dengan memberi imbalan kursi sesuai dengan keberhasilan elektoral partai politik di dalam pemilu.

Perimbangan ini pula yang pada gilirannya menghidupkan ”checks and balances” di lembaga legislatif. Prinsip akuntabilitas memastikan para wakil rakyat yang terpilih bertanggung jawab kepada konstituennya. Prinsip akuntabilitas ini akan terwujud dalam sistem terbuka, di mana pemilih mengetahui siapa yang dipilihnya.Tanpa akuntabilitas, hasil pemilu akan ”mengapung” dan tidak terkoneksi dengan aspirasi rakyat. Sistem proporsional terbuka menjamin suara rakyat punya posisi penting.

Dalam sistem ini pula partai dipacu dan dikontrol untuk mengajukan calon-calon anggota legislatif terbaik yang dapat diterima oleh pemilih.Partai tidak kehilangan otoritas, tapi juga tidak akan menggelembung menjadi raksasa oligarki yang meminggirkan suara rakyat. Kita pernah punya pengalaman dengan sistem proporsional tertutup pada masa Orde Baru.

Jangan memutar jarum jam ke belakang dengan menerapkan kembali sistem proporsional tertutup. Sudah waktunya suara pemilih ditempatkan lebih mulia dibanding nomor urut. Dengan sistem proporsional terbuka,apalagi dengan suara terbanyak,akan lahir politisi- politisi pekerja keras, mengakar, dan turun langsung kepada konstituen.

Dimensi Implementasi

Dua dari sejumlah dimensi implementasi yang penting dalam suatu sistem pemilu adalah penentuan daerah pemilihan (dapil) dan ambang batas parlementer (parliamentary threshold/ PT). Dimensi-dimensi ini relevan dengan prinsip representasi dan akuntabilitas yang kita bahas di atas. Dapil itu ibarat lapangan pertandingan. Di dapil itulah, yang jelas batas-batas fisiknya, para kontestan bertanding memperebutkan dukungan.

Ukuran utama dapil adalah berapa banyak kursi yang diperebutkan. Pada pemilu pertama 1955, Indonesia dibagi ke dalam beberapa dapil.Pada jaman Orde Baru, dapilnya menjadi lebih kecil karena dibagi berdasarkan provinsi.Daftar calon disusun berbasis dapil provinsi. Namun, pemilu Orde Baru menjadi lebih sederhana karena kontestannya sedikit. Memasuki era Reformasi, sistem pemilu diperbaiki dan disempurnakan.

Dapilnya juga ditata untuk mengedepankan sisi akuntabilitas politik. Pada Pemilu 1999 dapil untuk DPR masih provinsi, tetapi penetapan pemenang sudah mempertimbangkan representasi kabupaten/kota. Pada Pemilu 2004 dapil menjadi lebih kecil ukurannya yakni 3–12 kursi. Dapil DPR menjadi provinsi atau bagian-bagian dari provinsi, di mana provinsi yang besar jumlah penduduknya dibagi menjadi beberapa dapil agar cocok dan setara dengan ukuran dapil yang 3–12 kursi tadi.

Makin kecil dapil, wilayah kerja dan wilayah pertanggungjawaban anggota legislatif akan makin jelas dan fokus. Konstituen juga makin jelas. Makin kecil dapil diharapkan komunikasi politik anggota legislatif dengan konstituen juga akan makin intensif dan dekat.Kedekatan dengan konstituen, kerja yang lebih fokus dan berkonsentrasi,serta ketelatenan mengurus konstituen inilah yang diharapkan bisa mendongkrak akuntabilitas anggota legislatif.

Pada Pemilu 2009 ukuran dapil DPR kembali makin diperkecil menjadi 3–10 kursi. Hanya, DPRD masih tetap berjumlah 3–12 kursi. Ditambah dengan PT 2,5%, ukuran dapil 3-10 itulah yang menghasilkan sembilan parpol yang memiliki wakil di DPR sekarang. Untuk Pemilu 2012, alokasi kursi untuk setiap dapil masih bisa menggunakan yang lama yakni 3–10 kursi. Ukuran ini akomodatif dan moderat.

Sebetulnya, ukuran dapil lebih bagus adalah 3–8 kursi.Tetapi untuk semangat kebersamaan, dapil 3–10 kursi juga pilihan yang relatif kokoh argumentasinya. Jika pengaturan dapil bertujuan memunculkan politisi organik yang bertanggung jawab, pengaturan PT memiliki spirit naik kelas dalam membangun partai politik modern. Filosofi PT adalah kristalisasi gagasan politik ke dalam beberapa partai politik yang memiliki visi yang jelas dan jati diri pembeda antara satu partai dan partai yang lain.

Rakyat tidak dibuat bingung dengan identitas dan platform partai yang mirip-mirip. Sebaliknya, pengaturan PT akan menghasilkan partai politik yang distingtif dan memudahkan rakyat menentukan pilihannya. Identifikasi partai (party ID) di kalangan masyarakat juga akan meningkat sehingga mampu menjadi bahan bakar bagi penguatan partai lebih lanjut.

Sebagai proses pembelajaran berdemokrasi,PT sebaiknya naik secara moderat hingga 3,5–4%. Angka PT ini paling sesuai dengan situasi kita sekarang. Angka tersebut juga mengakomodasi berbagai aspirasi dan tidak bertendensi menjadi ”algojo” bagi partaipartai. Kita berharap pembahasan RUU ini bisa diselesaikan pada akhir masa sidang sekarang ini sehingga semua pihak dapat menyiapkan diri untuk menyongsong pemilu yang lebih baik secara substansial.

Semua itu tentu saja harus dibarengi dengan penyusunan daftar calon yang makin berkualitas, pendidikan politik kepada pemilih yang memadai, serta penyelenggaraan pemilu yang profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar