Rabu, 11 April 2012

Tantangan Pelayanan Kesehatan


Tantangan Pelayanan Kesehatan
Dinna Wisnu, Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina
SUMBER : SINDO, 11 April 2012



Sejak 2004 telah disepakati oleh pimpinan negara- negara ASEAN bahwa integrasi pelayanan sektor kesehatan merupakan prioritas integrasi menuju komunitas ekonomi ASEAN.
Artinya bahwa ke depan ada agenda bagi 10 negara-negara Asia Tenggara untuk melakukan harmonisasi dalam hal (1) standar pelayanan kesehatan, (2) kebijakan terhadap perusahaan farmasi, (3) standar manajemen industri bisnis di sektor kesehatan (yang mayoritas merupakan industri kecil dan mikro), (4) model tata kelola oleh pejabat berwenang, serta (5) standar keamanan produk- produk farmasinya (termasuk untuk produk herbal).

Harmonisasi tersebut berarti dua hal.Pertama,keahlian yang dimiliki Indonesia akan berhadapan dengan keahlian serupa dari negara-negara tetangga. Para pelaku dunia kesehatan, baik itu pengusaha farmasi, dokter, perawat, rumah sakit, maupun pembuat jamu akan dinilai kualitasnya oleh konsumen di kawasan Asia Tenggara.Kompetisinya justru bukan di tataran domestik, melainkan di tingkat regional.

Kedua,masyarakat Indonesia harus sudah bisa memanfaatkan pelayanan kesehatan secara optimal. Idealnya dengan akses asuransi kesehatan yang menyeluruh bagi semua warga negara. Jika tidak, penduduk Indonesia akan termangu saja sementara penduduk negara lain di ASEAN menikmati akses asuransi kesehatan yang memadai. Apakah Indonesia sudah siap? Pertama, dari segi keahlian, standar mutu pelayanan dari rumah sakit, apotek, sampai keamanan produk obat dan layanan masih perlu ditingkatkan.

Hal ini tentu dimaksudkan tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga di pelosok-pelosok Tanah Air. Kita bahkan belum bicara tentang standar kenyamanan dalam mengakses pelayanan kesehatan (kenyamanan fasilitas, antrean, digitalisasi data, dan lainnya), termasuk pelayanan yang bebas rasa sakit. Kompetitor kita adalah Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Filipina dan Thailand termasuk yang gigih mengejar ketertinggalan mereka di bidang ini.

Kedua, ketika menyoroti cakupan penduduk yang menikmati asuransi kesehatan, akan jelas tergambar betapa menyedihkan kondisi Indonesia. Katakanlah seluruh pegawai negeri, Polri, dan TNI punya asuransi kesehatan,maka jumlahnya sekitar 6 juta orang. Ditambah dengan pegawai swasta yang ikut program asuransi kesehatan Jamsostek, katakanlah 15 juta orang dan yang ikut program swasta 20 juta orang,maka total hanya sekitar 56 juta orang yang punya akses jaminan kesehatan.

Wakil Menteri Kesehatan Prof Dr Ali Ghufron Mukti lebih optimistis. Ia menghitung ada sekitar 117 juta penduduk Indonesia yang punya akses asuransi kesehatan, termasuk 76 juta penduduk yang menerima kartu Jamkesmas. Catatannya tentu bahwa para penerima kartu Jamkesmas ini bersifat temporer saja. Kartu ini hanya berlaku jika ada alokasi dana yang memadai dari pemerintah pusat.

Artinya, lebih dari separuh penduduk Indonesia belum punya akses jaminan kesehatan. Kita bisa belajar dari pengalaman Amerika Serikat,yang relatif lebih kaya dan besar dibandingkan Indonesia. Amerika Serikat sekarang sedang pusing karena sistem jaminan kesehatannya terancam ambruk akibat harga pelayanan kesehatan yang sangat mahal, padahal jumlah orang yang tidak punya asuransi kesehatan makin banyak. Amerika Serikat berangkat dari sudut pandang bahwa negara hanya fokus memikirkan yang miskin.

Mereka yang dianggap tidak miskin diutamakan untuk punya pilihan sendiri dalam membeli asuransi kesehatan pribadi. Problemnya,ketika perekonomian negara secara makro memburuk,jumlah orang yang tidak sanggup membeli asuransi kesehatan otomatis bertambah. Padahal negara terpaksa mengetatkan anggaran belanja di bidang kesejahteraan. Akibatnya, sistem jaminan kesehatannya menjadi tidak sehat lantaran jumlah yang mengklaim sakit menjadi lebih banyak daripada yang membayar iuran.

Pada waktu yang sama, perusahaan-perusahaan asuransi memainkan harga premi dan cakupan tunjangan karena persaingan antarmereka pun meningkat pada saat krisis. Negara juga tak punya kendali atas harga pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh dokter dan harga obat. Harga pendidikan kedokteran juga telanjur membubung tinggi. Akibatnya, ketika negara mewajibkan pembelian asuransi agar sistemnya rasio yang membayar iuran dan pengklaim sehat lagi (yakni lewat program Obamacare), yang muncul adalah protes yang meluas.

Presiden Obama yang demikian gigih mengawal reformasi sistem jaminan kesehatan sekarang terpaksa tertekan terus. Popularitasnya menurun terus hingga di bawah 50%. Padahal prestasi Obama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan pada masa resesi di Amerika Serikat tergolong baik. Itu semua sirna, tenggelam dalam protes massa yang bersumber dari kesalahan pemerintah yang sejak awal tidak punya kendali atas harga pelayanan kesehatan dan tidak menjamin akses pelayanan kesehatan bagi seluruh warganya.

Kini, ketika hal itu mau diperbaiki, buntutnya sudah terlalu panjang dan rumit untuk dibenahi. Apakah Indonesia mau membiarkan problem semacam ini merongrong di dalam negeri? Saat ini harga pelayanan kesehatan secara umum tergolong mahal dan meningkat terus. Yang sakit harus merogoh kocek paling tidak 80% dari harga pelayanan kesehatan. Untuk penerima kartu Jamkesmas atau kartu Askes, bahkan tidak ada jaminan akan dilayani jika mereka tidak membayarkan uang muka ke rumah sakit tempatnya berobat.

Sudah ada sejumlah kasus getir di mana akhirnya pasien meninggal tanpa ditemui dokter meskipun ia sudah mengantre di ruang tunggu rumah sakit. Kalaupun pemerintah menambah jumlah kartu Jamkesmas, kapasitas tempat tidur di rumah sakit dan jumlah dokter yang bisa menangani kasuskasus penyakit tidaklah memadai. Ada daerah-daerah tertentu yang tidak punya fasilitas kesehatan yang memadai.

Di Jakarta saja kasus-kasus penyakit berat akhirnya menumpuk pelayanannya di RS Cipto Mangunkusumo. Tambahan lagi, jika di Amerika Serikat ada Partai Demokrat dan Presiden Obama yang berani memperjuangkan inisiatif reformasi itu secara matimatian, siapakah di Indonesia ini yang terbuka mendorong perubahan itu di antara kalangan eksekutif? Tidak jelas pembagian kewenangannya untuk membenahi hal-hal yang tadi disebut di atas karena jelas itu bukan hanya pekerjaan rumah Kementerian Kesehatan.

Suka ataupun tidak negara bertanggung jawab atas derajat kesehatan penduduknya. Ketika rata-rata penduduknya kekurangan gizi, tidak sanggup membayar biaya kesehatan, atau meninggal tanpa sempat merasakan perawatan medis, indikator pelayanan publik khususnya bidang kesehatan di negara tersebut akan disorot oleh negara lain. Pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan atau pendapatan per kapita yang tinggi akan sia-sia jika banyak penduduk yang tidak sanggup menikmati pelayanan kesehatan yang layak.

Jika Indonesia tidak ingin telanjur babak belur memperbaiki sistem jaminan kesehatannya padahal dari tatanan regional “dipaksa pula” untuk menyesuaikan diri dengan standar regional, pekerjaan rumah itu harus dikerjakan dari sekarang.

1 komentar:

  1. sudah sepantasnya, pelayanan kesehatan ditujukan ke seluruh warga bukan ke orang" tertentu saja...

    BalasHapus