Narkoba di
Rumah Tahanan
Adrianus Meliala, Kriminolog FISIP UI;
Mantan
Ketua Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Kemenkumham
SUMBER : KOMPAS, 11 April 2012
Terkait heboh keberadaan narkoba di rumah
tahanan atau lembaga pemasyarakatan, sebenarnya banyak dari kita yang lupa
dengan esensi mendasar dari masalah ini.
Esensi dasarnya adalah bahwa rumah tahanan
(rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas) adalah institusi total yang
memiliki sistem dan pola kehidupan sendiri yang amat khas. Demikian pula pihak-pihak
yang menjadi pelakunya.
Sebagai sebuah institusi total, rutan dan
lapas pada dasarnya tidak bisa dibandingkan dengan apa pun, bahkan juga dengan
rumah detensi imigrasi (rudenim) yang cukup mirip. Walaupun memiliki aturan
yang ketat bagi penghuni, yang kebanyakan adalah migran ilegal, rudenim secara
filosofis tidak melakukan penyekapan sehingga penghuninya hilang sebagian
kemampuannya selaku individu (inkapasitasi).
Sebaliknya, pada rutan/lapas, inkapasitasi
dilakukan melalui penyekapan. Ini agak berbeda dengan masa dahulu di mana
inkapasitasi dilakukan melalui penciptaan derita. Dewasa ini dan masa depan
memang hanya inkapasitasi fisik yang menjadi modalitas rutan/lapas. Ini sesuai
standar minimum perlakuan narapidana yang berlaku di dunia, juga di Indonesia.
Sesuai standar itu, seorang tahanan dan narapidana tidak hilang sama sekali
aksesnya dengan banyak hal, termasuk hubungan heteroseksual sekalipun.
Pembatasan Akses dari Luar
Selain penempatan tahanan atau narapidana
dalam sel dan kewajiban mengikuti aturan rutan/lapas, penyekapan juga dilakukan
melalui pembatasan akses dengan dunia luar, terutama terkait interaksi fisik
dengan orang luar (termasuk dengan keluarga sekalipun).
Pembatasan interaksi fisik, di antaranya,
melalui pengaturan jam dan tata cara besuk serta pengaturan terkait penerimaan
kiriman dari luar. Ini sepenuhnya kewenangan petugas rutan/lapas. Jadi, amat
tidak benar apabila ada retorika bahwa pengunjung bisa mendesak untuk masuk dan
bertemu dengan salah seorang tahanan atau narapidana tanpa petugas mampu
menghentikan.
Dalam hal ini, secara filosofi, penulis
mendukung sikap petugas Lapas Pekanbaru yang tidak sembarangan membuka pintu
lapas walau yang menggedor adalah seorang wakil menteri. Melalui cara berpikir
bahwa lapas adalah institusi total yang memiliki pertimbangan-pertimbangan
sendiri, adalah benar apabila untuk menerima tamu—bahkan sekelas wakil menteri
pun—perlu melalui prosedur. Pemberian akses terbatas ini memang seyogianya
berlaku tanpa pandang bulu.
Sejalan dengan itu, penulis juga mendukung
keberatan jajaran pemasyarakatan terhadap kinerja Badan Narkotika Nasional
(BNN) yang kerap melakukan penggerebekan secara mendadak di rutan dan lapas di
seantero Indonesia. Namun, sebenarnya istilah penggerebekan ini pun tidaklah
tepat mengingat pada dasarnya pihak BNN tidaklah membobol pintu rutan/lapas,
tetapi meminta izin terlebih dahulu.
Pertanyaannya, mengapa jalan berpikir serupa
tidak diterapkan terkait kehadiran narkoba di rutan/lapas? Bahwa, seyogianya
pihak sipir-lah sebagai yang satu-satunya dan yang utama terkait pencegahan
narkoba masuk rutan/lapas. Dengan kata lain pula, tidak ada pihak yang bisa
disalahkan terkait kehadiran narkoba selain jajaran sipir itu sendiri.
Teori ”Tidak Tahu”
Terkait sinyalemen pihak sipir-lah yang paling
bertanggung jawab terkait masuknya narkoba, teori yang rutin dikemukakan
jajaran rutan/lapas adalah bahwa mereka tidak mengetahui. Konon, narkoba
dimasukkan secara tersembunyi dalam barang bawaan pembesuk atau paket kiriman.
Percayakah pada teori itu?
Seseorang yang bukan sipir tentu ada
kemungkinan terkelabui. Namun, sebagai sipir dengan pengalaman bertahun-tahun,
yang kerjanya hanya itu-itu saja dan yang diawasi pun hanya kalangan itu-itu
saja, sebenarnya tidak butuh kecerdasan yang tinggi untuk menilainya. Kalau
tidak sengaja dibiarkan, narkoba tentu tidak akan mudah lewat. Akan tetapi,
cukup mengagumkan bahwa jajaran lapas secara konsisten ”bak paduan suara”
mengatakan mereka tidak tahu bagaimana narkoba masuk ke dalam institusi mereka.
Juga, boleh percaya atau tidak, jajaran rutan atau lapas yang warga binaannya
sudah ketahuan menyimpan narkoba mengaku tidak tahu-menahu aktivitas tersebut.
Teori yang lebih realistis: sebenarnya telah
terjadi situasi ”tahu sama tahu” antara sipir dan pengedar atau pengguna
narkoba di dalam lembaga mereka. Itu menjadikan para sipir pura-pura tidak tahu
saat melihat ada kiriman narkoba atau saat ada pembesuk menyelipkan sesuatu
saat berinteraksi fisik dengan tahanan/narapidana.
Menyadari jajaran lapas telah membentuk kultur
yang secara luas dikenal dengan ”budaya penjara”, sipir yang membiarkan kiriman
tersebut tidaklah bisa dilihat sebagai tindakan perorangan. Tindakan itu harus
dilihat sebagai mata rantai keterlibatan sipir pada umumnya.
Selanjutnya, masih mempergunakan teori
”budaya penjara”, juga tidak realistis memahami bahwa mata rantai itu hanya
melibatkan sipir tingkat rendahan. Diduga kuat, yang terjadi adalah aliran uang
dari bawah menuju atas. Singkatnya, pejabat tertinggi di rutan/lapas seyogianya
tidak mempergunakan dalih atau kilah ”tidak tahu” terkait keberadaan narkoba.
Teman atau Lawan
Berpegang pada pemahaman tentang institusi
total, yang bisa membersihkan rutan dan lapas dari narkoba pada dasarnya adalah
para sipir itu sendiri. Segala intervensi dari luar, seperti halnya
penggerebekan BNN, adalah kegiatan ad-hoc
yang temporal. Sayangnya, situasi emas itu tidak dimanfaatkan pihak
rutan/lapas. Alih-alih menjadi lembaga yang melakukan kegiatan pendisiplinan
diri sendiri, minimal terkait narkoba, rutan/lapas malah menempatkan
pengedar/pengguna dalam hubungan saling menguntungkan.
Diduga kuat, para pengedar, khususnya, memang
dibiarkan bertransaksi dengan dunia luar. Begitu pula para pengguna, mereka
dibiarkan bebas menggunakan narkoba. Tentu saja ada imbal jasa di balik
pembiaran tersebut. Bagi sipir, pengedar dimanfaatkan sebagai ”mata air”
finansial jika lembaga butuh dana untuk kegiatan yang tidak dianggarkan
sebelumnya. Sama pula halnya dengan sesama tahanan/narapidana yang
memperlihatkan pengedar/pengguna sebagai cukong yang memperhatikan
”kesejahteraan” mereka.
Situasi sama-sama senang pun terjadi.
Keseimbangan terjaga. Pengedar dan pengguna narkoba lebih menjadi teman
dibandingkan dengan lawan. Praktik konsumsi sekaligus transaksi narkoba pun
bisa berlangsung dalam format dan jumlah gila-gilaan. Jika sudah demikian,
memang harus pihak eksternal yang bisa mengintervensi. Sejauh ini, pihak BNN
telah berkali-kali membuktikan bahwa dugaan itu bukan lagi sekadar dugaan.
Jika setelah MOU direvisi, di mana BNN kini
harus lapor terlebih dahulu sebelum melakukan penggerebekan, hasil akhirnya
sudah ketahuan. Rutan dan lapas diduga akan ”bersih” sebelum operasi BNN
benar-benar berlangsung.
Guna mengimbangi kemungkinan itu, Kemenkumham
perlu memberikan ketentuan bahwa apabila narkoba ditemukan di rutan/lapas, yang
pertama-tama dicopot dari jabatan dan menghadapi sanksi pidana adalah
karutan/kalapas. Sebab, tidak mungkin pejabat tertinggi di sana tidak
mengetahui praktik tersebut. Hanya dengan begitu, semua sipir plus pejabatnya
akan berpikir dua-tiga kali untuk membiarkan narkoba masuk ke lembaganya. ●
sabung ayam online Terbesar & Terpercaya Indonesia !
BalasHapusBonus Deposit Pertama 10% / Cashback 5% - 10%
Minimal Deposit IDR 50.000,- Raih Kemenangan Anda Sekarang Juga
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www.bolavita88.com
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
WA: +628122222995
Telegram : @bolavitacc