Rabu, 11 April 2012

Narkoba di Rumah Tahanan


Narkoba di Rumah Tahanan
Adrianus Meliala, Kriminolog FISIP UI;
Mantan Ketua Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Kemenkumham
SUMBER : KOMPAS, 11 April 2012



Terkait heboh keberadaan narkoba di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan, sebenarnya banyak dari kita yang lupa dengan esensi mendasar dari masalah ini.
Esensi dasarnya adalah bahwa rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas) adalah institusi total yang memiliki sistem dan pola kehidupan sendiri yang amat khas. Demikian pula pihak-pihak yang menjadi pelakunya.

Sebagai sebuah institusi total, rutan dan lapas pada dasarnya tidak bisa dibandingkan dengan apa pun, bahkan juga dengan rumah detensi imigrasi (rudenim) yang cukup mirip. Walaupun memiliki aturan yang ketat bagi penghuni, yang kebanyakan adalah migran ilegal, rudenim secara filosofis tidak melakukan penyekapan sehingga penghuninya hilang sebagian kemampuannya selaku individu (inkapasitasi).

Sebaliknya, pada rutan/lapas, inkapasitasi dilakukan melalui penyekapan. Ini agak berbeda dengan masa dahulu di mana inkapasitasi dilakukan melalui penciptaan derita. Dewasa ini dan masa depan memang hanya inkapasitasi fisik yang menjadi modalitas rutan/lapas. Ini sesuai standar minimum perlakuan narapidana yang berlaku di dunia, juga di Indonesia. Sesuai standar itu, seorang tahanan dan narapidana tidak hilang sama sekali aksesnya dengan banyak hal, termasuk hubungan heteroseksual sekalipun.

Pembatasan Akses dari Luar

Selain penempatan tahanan atau narapidana dalam sel dan kewajiban mengikuti aturan rutan/lapas, penyekapan juga dilakukan melalui pembatasan akses dengan dunia luar, terutama terkait interaksi fisik dengan orang luar (termasuk dengan keluarga sekalipun).
Pembatasan interaksi fisik, di antaranya, melalui pengaturan jam dan tata cara besuk serta pengaturan terkait penerimaan kiriman dari luar. Ini sepenuhnya kewenangan petugas rutan/lapas. Jadi, amat tidak benar apabila ada retorika bahwa pengunjung bisa mendesak untuk masuk dan bertemu dengan salah seorang tahanan atau narapidana tanpa petugas mampu menghentikan.

Dalam hal ini, secara filosofi, penulis mendukung sikap petugas Lapas Pekanbaru yang tidak sembarangan membuka pintu lapas walau yang menggedor adalah seorang wakil menteri. Melalui cara berpikir bahwa lapas adalah institusi total yang memiliki pertimbangan-pertimbangan sendiri, adalah benar apabila untuk menerima tamu—bahkan sekelas wakil menteri pun—perlu melalui prosedur. Pemberian akses terbatas ini memang seyogianya berlaku tanpa pandang bulu.

Sejalan dengan itu, penulis juga mendukung keberatan jajaran pemasyarakatan terhadap kinerja Badan Narkotika Nasional (BNN) yang kerap melakukan penggerebekan secara mendadak di rutan dan lapas di seantero Indonesia. Namun, sebenarnya istilah penggerebekan ini pun tidaklah tepat mengingat pada dasarnya pihak BNN tidaklah membobol pintu rutan/lapas, tetapi meminta izin terlebih dahulu.

Pertanyaannya, mengapa jalan berpikir serupa tidak diterapkan terkait kehadiran narkoba di rutan/lapas? Bahwa, seyogianya pihak sipir-lah sebagai yang satu-satunya dan yang utama terkait pencegahan narkoba masuk rutan/lapas. Dengan kata lain pula, tidak ada pihak yang bisa disalahkan terkait kehadiran narkoba selain jajaran sipir itu sendiri.

Teori ”Tidak Tahu”

Terkait sinyalemen pihak sipir-lah yang paling bertanggung jawab terkait masuknya narkoba, teori yang rutin dikemukakan jajaran rutan/lapas adalah bahwa mereka tidak mengetahui. Konon, narkoba dimasukkan secara tersembunyi dalam barang bawaan pembesuk atau paket kiriman. Percayakah pada teori itu?

Seseorang yang bukan sipir tentu ada kemungkinan terkelabui. Namun, sebagai sipir dengan pengalaman bertahun-tahun, yang kerjanya hanya itu-itu saja dan yang diawasi pun hanya kalangan itu-itu saja, sebenarnya tidak butuh kecerdasan yang tinggi untuk menilainya. Kalau tidak sengaja dibiarkan, narkoba tentu tidak akan mudah lewat. Akan tetapi, cukup mengagumkan bahwa jajaran lapas secara konsisten ”bak paduan suara” mengatakan mereka tidak tahu bagaimana narkoba masuk ke dalam institusi mereka. Juga, boleh percaya atau tidak, jajaran rutan atau lapas yang warga binaannya sudah ketahuan menyimpan narkoba mengaku tidak tahu-menahu aktivitas tersebut.

Teori yang lebih realistis: sebenarnya telah terjadi situasi ”tahu sama tahu” antara sipir dan pengedar atau pengguna narkoba di dalam lembaga mereka. Itu menjadikan para sipir pura-pura tidak tahu saat melihat ada kiriman narkoba atau saat ada pembesuk menyelipkan sesuatu saat berinteraksi fisik dengan tahanan/narapidana.

Menyadari jajaran lapas telah membentuk kultur yang secara luas dikenal dengan ”budaya penjara”, sipir yang membiarkan kiriman tersebut tidaklah bisa dilihat sebagai tindakan perorangan. Tindakan itu harus dilihat sebagai mata rantai keterlibatan sipir pada umumnya.

Selanjutnya, masih mempergunakan teori ”budaya penjara”, juga tidak realistis memahami bahwa mata rantai itu hanya melibatkan sipir tingkat rendahan. Diduga kuat, yang terjadi adalah aliran uang dari bawah menuju atas. Singkatnya, pejabat tertinggi di rutan/lapas seyogianya tidak mempergunakan dalih atau kilah ”tidak tahu” terkait keberadaan narkoba.

Teman atau Lawan

Berpegang pada pemahaman tentang institusi total, yang bisa membersihkan rutan dan lapas dari narkoba pada dasarnya adalah para sipir itu sendiri. Segala intervensi dari luar, seperti halnya penggerebekan BNN, adalah kegiatan ad-hoc yang temporal. Sayangnya, situasi emas itu tidak dimanfaatkan pihak rutan/lapas. Alih-alih menjadi lembaga yang melakukan kegiatan pendisiplinan diri sendiri, minimal terkait narkoba, rutan/lapas malah menempatkan pengedar/pengguna dalam hubungan saling menguntungkan.

Diduga kuat, para pengedar, khususnya, memang dibiarkan bertransaksi dengan dunia luar. Begitu pula para pengguna, mereka dibiarkan bebas menggunakan narkoba. Tentu saja ada imbal jasa di balik pembiaran tersebut. Bagi sipir, pengedar dimanfaatkan sebagai ”mata air” finansial jika lembaga butuh dana untuk kegiatan yang tidak dianggarkan sebelumnya. Sama pula halnya dengan sesama tahanan/narapidana yang memperlihatkan pengedar/pengguna sebagai cukong yang memperhatikan ”kesejahteraan” mereka.

Situasi sama-sama senang pun terjadi. Keseimbangan terjaga. Pengedar dan pengguna narkoba lebih menjadi teman dibandingkan dengan lawan. Praktik konsumsi sekaligus transaksi narkoba pun bisa berlangsung dalam format dan jumlah gila-gilaan. Jika sudah demikian, memang harus pihak eksternal yang bisa mengintervensi. Sejauh ini, pihak BNN telah berkali-kali membuktikan bahwa dugaan itu bukan lagi sekadar dugaan.

Jika setelah MOU direvisi, di mana BNN kini harus lapor terlebih dahulu sebelum melakukan penggerebekan, hasil akhirnya sudah ketahuan. Rutan dan lapas diduga akan ”bersih” sebelum operasi BNN benar-benar berlangsung.

Guna mengimbangi kemungkinan itu, Kemenkumham perlu memberikan ketentuan bahwa apabila narkoba ditemukan di rutan/lapas, yang pertama-tama dicopot dari jabatan dan menghadapi sanksi pidana adalah karutan/kalapas. Sebab, tidak mungkin pejabat tertinggi di sana tidak mengetahui praktik tersebut. Hanya dengan begitu, semua sipir plus pejabatnya akan berpikir dua-tiga kali untuk membiarkan narkoba masuk ke lembaganya. ●

1 komentar:

  1. sabung ayam online Terbesar & Terpercaya Indonesia !
    Bonus Deposit Pertama 10% / Cashback 5% - 10%
    Minimal Deposit IDR 50.000,- Raih Kemenangan Anda Sekarang Juga
    Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www.bolavita88.com
    Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
    WA: +628122222995
    Telegram : @bolavitacc

    BalasHapus