Sabtu, 14 April 2012

Unjuk Rasa Anarkis dan Kekerasan


Unjuk Rasa Anarkis dan Kekerasan
Fachry Ali, Konsultan Komunikasi,
Wartawan, Dosen Komunikasi di Universitas Paramadina
SUMBER : JARING NEWS, 13 April 2012


JAKARTA, Jaringnews.com - Ada beberapa asumsi mengapa unjuk rasa cenderung menimbulkan kekerasan dan 'anarkisme' dewasa ini.

Pertama, asumsi bahwa dalam sistem demokrasi, sebagaimana terpraktikkan dewasa ini, dihayati sebagai 'kebebasan' bertindak. Karena itu, cara pengungkapan perasaan bisa dilakukan dengan bebas, tanpa halangan. Kedua, sistem demokrasi menjadikan seluruh hal bersifat publik menjadi transparan. Transparansi ini terutama terjadi karena karena kebebasan pers selalu menjadi penting di dalam sistem demokrasi. Pers yang bebas memerlukan berita yang marketable untuk menjaga daya kompetitif satu sama lain. Maka, berita unjuk rasa yang disertai kekerasan dan anarkisme jauh lebih 'menjual' dibandingkan dengan sebaliknya. Pemberitaan mencolok atas kekerasan dalam unjuk rasa secara psikologis 'merangsang' para demonstran melakukan tindakan yang laku dalam pasar berita.

Ketiga, berkaitan dengan poin di atas, dalam atau di atas setting demokrasi dan kebebasan pers, konsep hak-hak asasi manusia (HAM) wajib terperlakukan di dalam praktik. Dengan latar belakang HAM ini, ada dua kecenderungan psikologis terjadi: di satu sisi, para demonstran yakin bahwa mereka akan terlindungi dari tindak kekerasan aparat. Di sisi lain, aparat polisi, sebagai penegak hukum, merasa ragu menerapkan disiplin karena khawatir melanggar garis batas HAM.

Keempat, seperti dinyatakan para tokoh demonstrator dari kalangan buruh dan mahasiswa dalam wawancara kolektif di TV One akhir Maret lalu, kekerasan dan 'anarki' (mereka tidak mengakui adanya anarkisme dalam aksi-aksi yang digelar) tersebut adalah jalan terakhir. Sebab, dalam argumentasi mereka, pemerintah tidak bisa diajak berdialog atau, dalam istilah mereka, 'berdiplomasi'. Dalam arti kata lain, pemerintah tidak mau mendengar aspirasi mereka dengan baik-baik. Aksi-aksi kekerasan dan 'anarkisme' itu, dengan demikian, adalah alat terakhir yang digunakan agar mereka 'didengar'.

Kita bisa membahas asumsi-asumsi di atas satu persatu, karena masing-masing tegak pada fakta yang tersendiri. Akan tetapi, karena tempat dan waktu yang terbatas, elaborasi bisa ditekankan pada asumsi terakhir. Pada dasarnya, asumsi terakhir itu juga bisa merangkum tiga asumsi sebelumnya.

Bagi saya, fakta yang menjadi dasar asumsi keempat itu sangat menarik. Pertama, karena secara tiba-tiba, media massa (dalam hal ini TV One) sadar bahwa kontinuitas aksi-aksi mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya menentang rencana kenaikan harga BBM dengan melegitimasikan kekerasan dan 'anarkisme' tersebut cepat atau lambat akan merusak sistem aturan sosial. Karena itu, dengan cara bertanya yang menyinggung kesadaran sosial, mereka berusaha 'menyadarkan' tokoh-tokoh tersebut bahwa efek destruktif bisa menjadi lebih besar jika aksi-aksi itu berlangsung dengan cara-cara semacam itu.

Dalam hal ini kita patut mencatat bahwa media massa pada dasarnya adalah bagian integral dari stakeholders ketertiban dan keamanan. Situasi yang tidak stabil-?kendati menguntungkan dalam pasar berita?-dalam jangka panjang akan merugikan semua pihak, termasuk pemilik dan penggiat media massa itu sendiri. Kedua, struktur logika yang dibangun para tokoh demonstran di dalam percakapan di atas menunjukkan adanya usaha 'pembenaran' tindakan kekerasan dan 'anarkisme' sebagai alat mencapai tujuan. Mereka menyadari bahwa tindakan tersebut mengandung elemen destruktif. Akan tetapi, mereka tidak memiliki jalan lain yang efektif menyuarakan aspirasi selain dengan cara-cara tersebut.

Terhadap perihal ini, ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, apakah perkembangan logika tersebut merefleksikan gejala saling teralienasi antara mereka dengan pemerintah? Dalam arti bahwa ada rasa ketakberdayaan struktural yang menyebabkan sistem sosial yang normal tak mampu mengakomodasikan aspirasi mereka? Kedua, bukankah perasaan atau logika yang sama, walau dalam rumusan yang jauh lebih sederhana, juga menghinggapi Entong Gendut yang, pada 1919 melakukan aksi kekerasan di kawasan Condet dan Cililitan, ketika menyadari tanah tetangganya diambil alih Tuan Tanah keturunan Cina yang dikukuhkan Kantor Pengadilan Messter Cornelis (Jatinegara, sekarang), tanpa mengetahui sebab-musababnya? Ketiga, secara jauh lebih konseptual, apakah gejala ini merefleksikan apa yang pernah dirumuskan Edward Said sebagai victimizing the victims, ketika dunia pada 1970-an dan 1980-an tidak mendengar penderitaan Palestina yang menyebabkan sosiolog Pakistan Eqbal Ahmad pada awal 1980-an berkesimpulan bahwa aksi pembajakan pesawat yang dilakukan aktor-aktor PLO adalah cara suapaya mereka didengar?

Menurut saya, pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi strategis untuk direnungkan, terutama oleh pihak kepolisian yang oleh undang-undang, diberi otoritas untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri.

Jawaban sementara yang bisa saya tawarkan adalah bahwa para tokoh demonstran tersebut bukanlah Entong Gendut dan juga bukan rakyat Palestina. Walau studi mendalam perlu dilakukan, penampikan bahwa mereka bukanlah kedua golongan itu tegak pada alasan-alasan sebagai berikut. Pertama, karena Entong Gendut dan rakyat Palestina hidup di dalam masa sistem politik tertutup. Jika Entong Gendut hidup di masa kekuasaan kolonial yang tak menghargai otonomi manusia, rakyat Palestina berada di bawah penindasan Israel dan dunia kapitalisme Barat. Kedua, karena tokoh-tokoh demonstran tersebut tidak berasal dari kalangan subaltern. Yakni mereka yang, di samping tidak bisa merumuskan gagasan dan tujuan untuk bertindak, absen memiliki alat untuk menyuarakan aspirasi. Yang terjadi adalah sebaliknya. Gagasan dan tindakan mereka cukup expose dan bahkan (bersama dengan tindakan kekerasan dan 'anarkisme') menjadi bahan berita dalam pasar media massa.

Wawancara TV One, dan berbagai media massa lainnya, terhadap mereka sekaligus juga menunjukkan ada corong efektif untuk menyalurkan suara. Bahkan, sebagian karena kalkulasi pasar berita, justru suara-suara (dalam hal ini bisa dibaca 'aspirasi') para penegak ketertiban sosial dan pemerintah 'tenggelam' dalam hiruk-pikuk ungkapan rasa dan kritik para demonstran yang disalurkan media massa. Di dalam beberapa hal, walau pasti tidak persis benar, justru polisi dan pemerintah yang terhinggapi gejala atau 'penyakit' subaltern. Sebab, di dalam sistem pers bebas yang terus-menerus harus mempertahankan daya kompetitifnya, mengakomodasi 'aspirasi' polisi dan pemerintah bertentangan dengan 'arus' pasar berita.

Lalu, apa yang menjadi pokok pangkal keseluruhannya ini? Sistem demokrasi niscaya mengakomodasi sikap-sikap yang bersifat oposisi. Secara resmi, sikap oposisi ini harus diselenggarakan di parlemen secara kontinyu dan sistematis oleh partai-partai politik yang tidak berkuasa. Akan tetapi, sebagaimana kita ketahui, penyelenggaraan sikap oposisi tidak efektif dilakukan, bukan dari segi suara. Melainkan tindakan yang justru demonstratif. Di samping angka ketidakhadiran mereka yang mencolok di dalam sidang-sidang atau rapat-rapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hampir semua partai-partai politik terlibat di dalam korupsi. Mungkin, kecuali untuk kasus Misbakhun, hanya Partai Keadilan Sosial (PKS) saja--bersama tentunya dengan partai-partai baru seperti Gerindra dan Hanura--yang tidak 'mengirimkan' wakil-wakilnya ke dalam penjara karena korupsi. Kombinasi tidak efektifnya suara oposisi dari partai-partai tak berkuasa dan absennya disiplin kinerja wakil-wakil mereka di parlemen inilah, mungkin, merupakan pangkal persoalan keresahan masyarakat.

Lalu, jika masyarakat resah, mengapa justru tokoh-tokoh mahasiswa, buruh dan berbagai elemen lainnya yang turun ke jalan? Di sinilah letak logika 'parlemen jalanan'. Walau bukan kalangan yang dipilih secara demokratis (democratically elected), mereka mengganggap diri sebagai 'wakil rakyat' yang jauh lebih absah-?dibandingkan dengan anggota DPR. Dan karena tidak ada tempat atau gedung resmi yang mengakomodasikan artikulasi mereka, ruang publik menjadi alternatif satu-satunya yang mereka gunakan.
Dalam situasi semacam inilah retorika dan logika 'jalanan' harus dibangun untuk membenarkan tindakan kekerasan dan 'anarkisme' parlemen jalanan ini. Maka, jika mereka dengan garang menyatakan bahwa kekerasan dan 'anarkisme' adalah jalan terakhir yang dimiliki, secara teoritis dan psikologis bisa dibaca sebagai aspirasi kalangan pinggiran yang berada di luar sistem resmi. Walau mungkin mereka sendiri tidak meyakininya secara mendalam, retorika dan logika garang ini perlu dibangun, setidak-tidaknya untuk meyakinkan diri sendiri.

Di dalam perspektif inilah saya menawarkan jawaban kepada polisi, sebagai penegak ketertiban publik. Di satu pihak, kekerasan dan 'anarkisme' tersebut memang sama sekali tak berhubungan dengan dunia kepolisian, dalam arti asal-usul keresahan. Bahkan di dalam beberapa hal, menggunakan istilah Betawi, polisi 'kena getah' untuk sesuatu yang tidak diperbuatnya. Di pihak lain, karena telah menjadi tugas yang dikukuhkan undang-undang, ketertiban harus ditegakkan. Di sini, yang perlu digelar adalah penertiban yang arif, dengan mempertimbangkan faktor-faktor struktural di atas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar