UN yang
Menyedihkan
Robert Bala, Alumnus
Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol;
Guru
Bahasa Spanyol pada Lembaga Bahasa Trisakti
SUMBER : KOMPAS, 17 April 2012
Ritual zikir dan istigasah yang cukup ramai
dilaksanakan menjelang pelaksanaan ujian nasional cukup menarik untuk disimak.
Terlihat tak sedikit anak yang menangis saat
pemimpin doa menyentuh mereka dengan kata- kata menggugah. Apalagi, jika
disertai ritus membasuh kaki orangtua, suara tangis jadi tidak terbendung.
Ritual seperti ini tentu saja positif. Dengan
doa diharapkan siswa memiliki ketenangan dan kesiapan batin untuk menghadapi
ujian nasional (UN). Hal ini juga sebuah momen yang menguatkan siswa. Mereka
disadarkan, segala persiapan tak akan sia-sia. Tuhan tidak akan tutup mata
terhadap pengorbanan yang sudah dilaksanakan.
Akan tetapi, apakah kesedihan itu sekadar
konsekuensi dari doa yang mendalam atau punya arti lain? Ada apa dengan UN
sehingga pelaksanaannya membuat siswa kita sedih?
Kesedihan, demikian Santo Thomas dalam Suma
Teologica I-II, bisa muncul karena empat hal. Ia bisa hadir sebagai bentuk
kasih sayang. Orang bersedih karena tidak tega melihat penderitaan orang lain.
Dalam konteks UN, tangisan siswa bisa disebabkan rasa prihatin atas teman lain
yang—karena alasan internal atau eksternal—tidak cukup siap menghadapi UN.
Kesedihan juga bisa muncul akibat iri hati.
Orang merasa sedih melihat kebaikan yang dibuat orang lain. Siswa yang belum
siap iri kepada teman lain yang sudah lebih siap. Ia pun menangis karena telah
menyia-nyiakan waktu untuk belajar. Rasa jengkel pun bisa muncul dari anak yang
berasal dari kalangan bawah yang tidak punya keberuntungan seperti temannya
yang lain.
Lebih jauh, kesedihan bisa berubah jadi
kegelisahan mendalam karena secara pribadi merasa sudah tak berdaya untuk
keluar dari kungkungan masalah. Ia hanya pasrah pada nasib; merataplah dia.
Variasi lima paket soal dalam satu ruang justru membuatnya kian panik dan
sedih.
Otonomi Sekolah
Sepintas, kesedihan siswa itu dianggap
sesuatu yang normal. Pada masa remaja yang notabene penuh gejolak, rasa sedih
perlu dibangkitkan. Ini jadi satu bentuk evaluasi diri demi menyentuh batin dan
diharapkan terjadi perubahan berarti. Petinggi negeri ini pun akan bersyukur
karena berkat zikir, keributan di jalan, tawuran, dan aneka kenakalan lain akan
berkurang secara drastis, paling tidak menjelang UN.
Namun, sesederhana itukah arti kesedihan?
Mengutip Victor Frankl, kesedihan bisa dimaknai lebih jauh sebagai ekspresi
frustrasi dan depresi eksistensial, malah sebuah ekspresi pesimisme radikal.
Jenis kesedihan seperti ini tentu tidak hadir secara kebetulan, tetapi akibat
dari kesalahan eksistensial pula.
UN, misalnya, secara yuridis sudah dibatalkan
Mahkamah Agung. Tuntutan itu memang dilayangkan lebih dari enam tahun yang lalu
dan dalam perjalanan telah terjadi perubahan yang signifikan. Namun, pembatalan
itu (minimal untuk sementara waktu) perlu ditaati. Di sini kita pun paham,
teguran dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Kementerian Pendidikan
(10/4/2012) bisa saja membuat siswa gelisah dan sedih. Mereka ”ditakdi rkan”
mengikuti UN yang notabene sudah dibatalkan.
Ada hal lain yang lebih fundamental. Secara
pedagogis-edukatif, ujian—bersama dua komponen lainnya: pemahaman konseptual
dan penerapan metodologi pengajaran—merupakan bagian tak terpisahkan dari
sebuah proses pendidikan. Sekolah bertanggung jawab memungkinkan agar para
pengajarnya memiliki pemahaman konseptual yang tepat dan punya metode
pengajaran kreatif yang memampukan siswa memahami materi secara tepat. Pada
akhirnya, sekolah juga yang menguji demi mengetahui kadar penyerapan materi
yang sudah diajarkan.
Tentu kita harus realistis. Agar setiap
sekolah tak jadi pulau sendiri di tengah lautan pendidikan, Musyawarah Guru
Mata Pelajaran mesti lebih diberi otonomi dan diberdayakan. Di sana para guru
pada gugus tertentu sepakat mempertajam pemahaman konsep, berbagi metode
pembelajaran, dan pada akhirnya dapat menyusun bersama ujian yang bisa
diterapkan di gugusnya.
Sudah pasti kerja seperti ini meletihkan.
Pemerintah pusat perlu beralih dari UN yang dilaksanakan secara ”pukul rata”.
Mereka harus bergerilya dari daerah ke daerah, memantau apakah semua standar
pendidikan sudah dipenuhi sebagai jaminan pasti akan menuai hasil pada ujian
yang notabene diselenggarakan sendiri oleh sekolah.
Peran seperti ini juga tentu jauh untuk disebut
proyek yang menelan biaya tak sedikit, seperti yang didapat dari pelaksanaan
UN. Namun, yang pasti, ujian semacam ini akan bersih dari aneka kongkalikong;
hal yang sudah jadi rahasia umum dalam UN. Di sini, instansi vertikal tak lagi
melakukan manipulasi berjemaah untuk meluluskan sebanyak mungkin siswa karena
di sanalah kredibilitas murahan tercipta. Jika kekeliruan ini dipahami, ujian
yang dilaksanakan di setiap sekolah atau gugus akan jadi momen menggembirakan
dan bukan menyedihkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar