Kekerasan
Politik terhadap Rakyat
Siti Siamah, Peneliti
Global Data Reform
SUMBER : KOMPAS, 17 April 2012
Keputusan politik untuk menaikkan harga BBM
kemudian menunda atau membatalkan dengan syarat dan waktu tertentu harus
disebut kekerasan politik terhadap rakyat. Rakyatlah yang menjadi korban
berbagai gejolak.
Rakyat mulai menjadi korban gejolak harga
sejak isu menaikkan harga BBM diembuskan. Jika kemudian rencana menaikkan harga
BBM ditunda, harga-harga sudah telanjur melambung.
Cobalah mengumpulkan nota belanja kebutuhan
hidup mulai dari isu rencana kenaikan harga BBM muncul beberapa bulan lalu.
Tampaklah bahwa setiap bulan, bahkan setiap pekan, terjadi kenaikan harga.
Rakyat harus disebut juga sebagai korban dari
gejolak harga-harga karena penghasilan mereka tidak ikut naik. Maka, rencana
menaikkan harga BBM itu ibarat merampok uang rakyat. Hasil keringat mereka
langsung hilang dalam kegiatan jual-beli yang masif setiap hari, tanpa bisa
dihentikan atau dikendalikan oleh DPR dan pemerintah.
Siapa Diuntungkan?
Lantas, pertanyaannya, siapa sebenarnya yang
diuntungkan saat rakyat jadi korban? Jawabannya simpel: ternyata ada elite
politik dan pejabat yang diam-diam menjadi pemegang saham di sejumlah kegiatan
perdagangan domestik, seperti waralaba bahan kebutuhan pokok dan barang
kebutuhan rakyat lain. Konkretnya, yang paling diuntungkan adalah mereka yang
menguasai bahan kebutuhan pokok.
Begitulah, kekerasan politik terhadap rakyat
harus diakui sebagai bagian dari kongkalikong para pemilik usaha (sampingan),
yaitu para elite politik kita yang sangat kapitalistik.
Bagi pedagang bahan kebutuhan pokok dan
barang-barang kebutuhan lain, gejolak harga tentu saja selalu menguntungkan
karena sistem pasar bebas memungkinkan mereka untuk menaikkan harga jual di tingkat
eceran meski harga grosir tidak naik. Pedagang kecil pun lazim menaikkan harga
jual eceran kepada rakyat karena sebagai pembeli, rakyat tidak memiliki posisi
tawar. Berapa pun harga beras dan gula eceran di pasar, pasti akan dibeli.
Yang juga tak kalah kejam terhadap rakyat
adalah kebiasaan kaum pedagang (juga elite politik dan pejabat) yang suka
membandingkan harga bahan kebutuhan pokok di dalam negeri dengan harga bahan
kebutuhan pokok di negeri lain. Dalam hal ini, jika ada rakyat yang memprotes harga
beras eceran yang tinggi, kaum pedagang akan bilang bahwa harga beras di
negara-negara lain jauh lebih tinggi.
Begitu juga soal harga BBM, banyak elite
politik dan pejabat pemerintah yang suka membandingkan harga premium di dalam
negeri dengan harga premium di luar negeri. Hal ini juga harus disebut sebagai
kekerasan terhadap rakyat kita karena penghasilan rakyat kita tidak setinggi
penghasilan rakyat negara lain.
Rezim Kejam
Kini, sistem pasar bebas sering menjadi dalih
untuk menaikkan harga yang menindas rakyat. Misalnya, rakyat sering dipaksa
untuk memaklumi naiknya harga-harga karena harga-harga di negara lain jauh
lebih mahal.
Terkait rencana menaikkan harga BBM yang
isunya diembuskan jauh-jauh hari dan menimbulkan gejolak harga ataupun berbagai
demonstrasi, tak ayal lagi rezim sekarang memang layak disebut sebagai rezim
yang kejam terhadap rakyat.
Ciri-ciri rezim yang kejam terhadap rakyat
bisa dirumuskan lebih jelas. Misalnya, pemerintah mengutamakan pertumbuhan
ekonomi nasional, padahal kenyataannya banyak rakyat yang semakin miskin dan
menderita. Atau, pertumbuhan ekonomi nasional yang mendapat banyak pujian,
sementara rakyat ingin menyekolahkan anaknya susah.
Pada era otonomi sekarang, rezim kejam
terhadap rakyat juga berlangsung di banyak daerah. Contohnya, banyak rumah
sakit milik pemerintah daerah yang dijadikan sumber pendapatan asli daerah
sehingga rakyatnya yang sakit dan dirawat di rumah sakit bernasib seperti ayam.
Dicabuti bulu-bulunya sampai habis sebelum kemudian mati. Kalaupun sembuh, hidupnya
lebih menderita karena semua sumber daya sudah dikuras.
Banyak rakyat yang sudah tak sanggup lagi
menghadapi kekerasan politik ini. Sungguh malang menjadi rakyat Indonesia kalau
para elite masih tidak peduli. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar