Sabtu, 21 April 2012

Kartini dan Emansipasi, Sebuah Kecelakaan Sejarah


Kartini dan Emansipasi,
Sebuah Kecelakaan Sejarah
Saharuddin Daming, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)   
SUMBER : SINDO, 21 April 2012



Kelahiran RA Kartini diperingati setiap 21 April sebagai tokoh nasional yang dikenal sangat getol memperjuangkan gerakan emansipasi wanita di Indonesia. 

Dalam refleksi, sepintas lalu Kartini merupakan dogma yang nyaris tanpa kritik sejak memoar beliau tertuang dengan tinta emas dalam lembaran sejarah kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya wanita, pria bahkan waria pun sampai detik ini meyakini derap kemajuan emansipasi wanita Indonesia dicapai berkat gerakan emansipasi wanita Indonesia yang dipelopori RA Kartini.

Hal ini merupakan momentum historik yang menegaskan bahwa kita memang tidak dapat menerima dengan argumentasi apa pun segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi. Apalagi praktik pelecehan, peremehan, dan penganiayaan hak kelompok masyarakat rentan seperti kaum wanita.

Jika perlu, kita harus menghilangkan, termasuk melakukan upaya projusticia kepada siapa pun yang telah atau mencoba melanggar hak serta merendahkan harkat dan martabat kaum wanita.Terlebih di saat kita di kekinian telah memiliki konstitusi baru dan sejumlah paket peraturan perundang- undangan yang telah menjamin pemenuhan HAM dalam segala aspek.

Mitra Sejajar

Tanpa mengurangi rasa penghargaan dan penghormatan penulis terhadap sosok Kartini maupun setiap perjuangan menentang ketidakadilan dan diskriminasi pada masanya, penulis merasa perlu untuk mengkritisi konfigurasi sejarah pergerakan emansipasi wanita Indonesia dengan Kartini sebagai tokoh sentralnya.

Betapa tidak, karena histori pergerakanwanita Indonesia cenderung terdistorsi oleh paradigma pemahaman yang terbangun dalam proses dialektika dengan tesis supremasi pria/patriarki berakibat subordinasi wanita dengan emansipasi sebagai antitesisnya. Relasi pria dan wanita yang ditakdirkan ilahi sebagai mitra sejajar dengan pola hubungan simbiosis mutualisme, justru dikonfrontasikan sebagai dua sosok yang saling berhadapan dengan pola hubungan rivalitas dan simbiosis parasitisme.

Dalam hal ini,wanita dicitrakan sebagai korban dominasi pria seperti penggalan lirik sebuah lagu legendaris “Sabda Alam”, karangan Ismail Marzuki yang menyebutkan: “Sejak dulu wanita dijajah pria”.Tak ayal lagi genderang perlawanan kaum wanita atas dominasi pria pun ditabuh dengan konstalasi isu patriarkisme, yang dituding sebagai biang kerok terjadinya konstruksi sosial yang bias gender.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879 dan wafat 17 September 1904. Dalam berbagai manuskrip tentang Kartini, antara lain dikisahkan tentang idenya membebaskan kaum wanita dari belenggu tradisi dan konstruksi sosial yang sangat melecehkan serta merendahkan martabat wanita pada masanya.

Sejak itulah,konon merebak pemahaman yang memicu gerakan emansipasi wanita di Nusantara, yang kemudian menjelma menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti sekarang. Jika kita telusuri relung-relung sejarah emansipasi yang dikonstruksikan sebagai konsep penyetaraan hak dan kedudukan antara pria dan wanita untuk berperan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan di Nusantara, maka sesungguhnya hal seperti itu sudah terjadi dan melembaga jauh sebelum era Kartini.

Kita tentu masih ingat Majapahit sebagai kerajaan yang pernah menguasai hampir seluruh kawasan Asia Tenggara hingga Formosa di bagian utara dan Madagaskar di barat, ternyata pernah diperintah dua dua wanita yaitu: Tribhuwanatunggadewi (1328–1350 M) dan Kusuma Wardhani (1389–1429 M). Bukan hanya itu, dalam abad ke-7 masehi tercatat pula nama seorang wanita yaitu Ratu Sima, yang memerintah Kerajaan Kalingga.

Demikian juga Putri Ta’dampali, pendiri Kerajaan Wajo di Sulsel.Mereka sukses memimpin negeri dan masyarakat yang bercurah kemakmuran dan keadilan meski hanya seorang wanita. Sejak tujuh abad lalu, wanita Aceh telah menikmati hak-haknya sebagai manusia yang setara bahkan lebih tinggi kedudukannya dengan pria.

Betapa tidak, karena meski syariat Islam kerap dituding diskriminatif terhadap wanita, Kerajaan Samudera Pasai di Aceh yang sangat dipengaruhi tradisi Islam, justru memosisikan wanita pada kedudukan strategis. Dalam catatan sejarah Kerajaan Samudera Pasai, sekurang-kurangnya empat wanita pernah menduduki jabatan sebagai ratu/sultanah, yaitu Ilah Nur, Sultanah Safiatuddin Syah,Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah, dan Ratu Nahrasiyah.

Masih di Kerajaan Aceh Besar, tercatat lima wanita pernah menduduki jabatan tertinggi dalam angkatan perang, yaitu Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia,Pocut Baren,dan Pocut Meurah Intan.Prestasi mereka ini belum pernah terulang di negara yang paling modern sekalipun. Bahkan dalam berbagai literatur menggambarkan Laksamana Malahayati yang menjadi panglima perang pada masa pemerintahan Sultan Al Mukammil (1589-1604), dapat disetarakan prestasi dan kedudukannya dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilon, dan Katherina II Kaisar Rusia.

Berdasarkan deskripsi yang dikemukakan di atas membuktikan bahwa ketokohan wanita untuk tampil mengambil peran sentral dalam masyarakat, ternyata selalu hadir di setiap zaman. Hampir setiap wilayah di Nusantara sebenarnya memiliki tokoh wanita atau setidaknya nilai tradisi yang mendudukkan wanita dalam posisi sentral.

Nyi Ageng Serang (1752–1828), Martha Christina Tiahahu dan Herlina Efendi, semuanya adalah wanita yang terlibat langsung sebagai pemimpin perlawanan rakyat terhadap kolonial Belanda. Malah, Herlina Efendi dianugerahi pending Cendrawasih Emas dari pemerintah RI atas jasanya membebaskan Irian Barat dari pendudukan kolonial Belanda.

Popularitas

Dengan fakta sejarah sebagaimana yang dikemukakan di atas, terkuaklah bukti bahwa jauh sebelum era Kartini, kaum wanita di Nusantara sesungguhnya telah mendulang kesetaraan dengan kaum pria bahkan dengan nyata telah menunjukkan kepiawaiannya dalam mengambil peran sentralnya jauh melebihi peran Kartini. Namun, mengapa prestasi spektakuler mereka tak pernah diperingati maupun disebut-sebut dalam setiap episode pergerakan emansipasi wanita di Indonesia?

Penulis sendiri menengarai kepopuleran Kartini sebagai penggerak emansipasi wanita Indonesia,mungkin sebagian besar bersumber dari kontribusi propaganda kolonial Belanda. Hipotesis ini lahir dari analisis terhadap fakta sejarah Kartini, terutama aktivitas korespondensinya dengan sejumlah tokoh wanita di negeri penjajah itu, yang kemudian diekspos melalui media dan buku-buku.

Semua ini mungkin sengaja dilakukan Belanda untuk menebar pertentangan dan perpecahan (divide et impera) sebagai taktik menghancurkan dan melemahkan semangat pemberontakan nasional. Ditengarai pula sebagai ajang akulturasi budaya dan sistem nilai yang dianut masyarakat di Belanda untuk menjamah struktur nilai dan budaya Indonesia, agar dapat tunduk dan simpati kepada kolonial Belanda.

Sampai di sini popularitas Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita di Nusantara, terindikasi kepentingan politik dan menafikan silsilah perjuangan wanita yang jauh lebih prestisius sebelumnya. Karena itu, kita perlu mengkritisi platform perjuangan wanita Indonesia dengan starting point pada image Kartini yang selalu diidentikkan sebagai sosok yang lemah dan teraniaya.

Akan lebih baik jika gerakan emansipasi wanita Indonesia memunculkan figur yang menjadi simbol wanita Indonesia yang kuat, piawai, elegan, dengan menghilangkan anasir konfrontatif dan rivalitas antara pria dan wanita. Wanita Indonesia harus optimistis bahwa kemajuan dan kemunduran mereka bukan bersumber dari patriarki, melainkan dari komitmen dan kerja keras wanita itu sendiri.

Jadi sudah saatnya wanita Indonesia menghilangkan kecurigaan terhadap ancaman patriarki, karena sesungguhnya hal tersebut tak lebih merupakan paranoid terhadap sesuatu yang tidak pernah ada. Bukankah mayoritas pria di MPR pada 1999 dan 2001 telah membuktikan hal itu dengan menetapkan seorang wanita yaitu Megawati sebagai wakil presiden dan presiden sekaligus. Sosok Kartini dan konsep emansipasinya yang bertumpu pada affirmative action sudah saatnya ditinjau kembali, karena hal tersebut justru merendahkan harkat dan martabat wanita itu sendiri.

2 komentar:

  1. Ini pasti tulisan odong2 negatif tingking, bukannya bersyukur adanya RA Kartini, tanpa beliau wanita Indonesia tak ubahnya seperti wanita2 di Arab.

    BalasHapus
  2. hmmhhh.... yah.. setuju deh sama anonim

    BalasHapus