Kamis, 12 April 2012

Titik Lemah dari Sang Pengadil


Titik Lemah dari Sang Pengadil
Bambang Soesatyo, Anggota Komisi III DPR, Fraksi Partai Golkar
SUMBER : SUARA MERDEKA, 12 April 2012
Artikel yang sama dimuat di MEDIA INDONESIA 12 April 2012
http://budisansblog.blogspot.com/2012/04/kesejahteraan-hakim-titik-lemah.html


"Menjadi menarik ketika hakim di daerah mengajukan pertanyaan: apakah status saya ini PNS atau pejabat negara?"

JIKA ribuan hakim meradang karena merasa gajinya tidak mencukupi, keluh-kesah itu menjadi bukti yang menjelaskan kelemahan strategi dalam agenda penegakan hukum. Rencana mogok massal korps hakim (SM, 10/04/12) merupakan peringatan kepada negara bahwa jika kesejahteraan komunitas pengadil itu tidak segera diperbaiki, pengadilan justru bisa menjadi titik lemah penegakan hukum.

Karena itu, jangan melarang, dan jangan juga menganggap remeh jika para hakim di daerah menyuarakan unek-unek mereka. Kalau Presiden SBY boleh curhat tentang 7 tahun tak pernah menikmati kenaikan gaji, mengapa para hakim tidak boleh mengeluhkan gaji mereka yang kecil?

Saat bekerja di ruang pengadilan, semua menyapa mereka dengan Yang Mulia. Tetapi, ketika kembali pada realitas kehidupan, mereka kesulitan merefleksikan makna Yang Mulia itu. Sebab, seperti orang kebanyakan, mereka juga harus bergulat dengan tantangan hidup. Dalam situasi tertentu, bisa saja mereka memilih meninggalkan tugas demi kepentingan anak istri.

Setinggi apa pun jabatan atau profesi yang disandang seseorang, jika kesejahteraan hidupnya di bawah standar rata-rata, akan muncul dorongan untuk memperbaiki kesejahteraan dengan cara lain. Misalnya mencari dan menekuni kerja sampingan. Bisa juga melakukan kerja haram dengan cara melanggar kode etik jabatan atau profesi alias mengkomersialkan jabatan.

Dalam sejumlah kasus tipikor yang melibatkan oknum penegak hukum, modus yang dipilih umumnya adalah komersialisasi jabatan. Dari tawar-menawar pasal-pasal dakwaan sampai jual beli rencana tuntutan (rentut). Berdasarkan kecenderungan itu, sudah barang tentu komunitas hakim daerah bisa menjadi sangat rentan mengingat mereka mudah menjadi sasaran empuk mafia peradilan.

Samakan Perlakuan


Sebagaimana lazimnya mafia bekerja, mereka akan sampai pada ranah tugas hakim setelah sebelumnya memasuki dulu hidup keseharian para oknum hakim yang serba pas-pasan. Kalau hal demikian sampai terjadi, hukum sulit ditegakkan karena akan menjadi komoditas yang diperdagangkan di balik pintu oknum hakim.

Kejaksaan Agung, Polri, dan KPK baru-baru ini memperbarui kesepakatan kerja sama demi optimalisasi pemberantasan korupsi. Pembaruan kerja sama itu tidak melibatkan institusi yang membawahi pengadilan tipikor. Apakah kerja sama yang diperbarui itu bisa efektif memberantas korupsi? Mudah-mudahan. Tetapi, belum lama ini, rakyat disuguhi fakta tentang keputusan beberapa pengadilan tipikor daerah yang menjatuhkan vonis bebas puluhan terdakwa koruptor.

Efektivitas penegakan hukum memang bergantung pada faktor kemauan politik pemerintah. Mogok massal para hakim bisa dicegah jika pemerintah menyikapi keluhan mereka dengan hati jernih. Sebagai isu, rencana mogok ribuan hakim di daerah memang kalah seksi ketimbang demonstrasi menentang rencana kenaikan harga BBM.  Namun, karena pihak yang berencana mogok massal itu korps pengadil, isu ini tak luput dari perhatian publik. Bahkan kelompok masyarakat tertentu baru tahu bahwa para hakim itu bukan PNS.

Maka, menjadi menarik ketika seorang hakim di daerah mengajukan pertanyaan: apakah status saya ini PNS atau pejabat negara? Jika pejabat negara, mengapa gaji saya lebih kecil dari PNS? Dari pertanyaan ini, boleh diterjemahkan bahwa para hakim pun tidak tahu dengan jelas posisi dan status mereka dalam struktur birokrasi negara.

Persoalan berikutnya, mengapa hanya hakim di daerah yang berkeluh-kesah, sementara hakim di perkotaan tidak ikut-ikutan mengeluhkan gaji kecil? Wajar jika muncul asumsi ada perbedaan perlakuan dari pemerintah. Mengapa harus ada perbedaan perlakuan jika tugas dan tanggung jawabnya sama?

Polri bahkan sudah menikmati remunerasi. Pemerintah pun mengalokasikan anggaran tidak kecil untuk membiayai gaji pegawai dan operasional KPK. Peran hakim sangat strategis, mengapa gaji mereka tidak segera dinaikkan? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar