Kesejahteraan
Hakim
Titik Lemah
Penegakan Hukum
Bambang Soesatyo, Anggota Komisi III DPR RI
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 11 April 2012
Artikel yang sama dimuat di SUARA MERDEKA 12 April 2012
http://budisansblog.blogspot.com/2012/04/titik-lemah-dari-sang-pengadil.html
http://budisansblog.blogspot.com/2012/04/titik-lemah-dari-sang-pengadil.html
“Pemerintah pun mengalokasikan anggaran yang tidak
kecil untuk membiayai gaji pegawai dan operasional KPK. Peran hakim pun sangat
strategis. Mengapa gaji para hakim tidak segera dinaikkan?"
JIKA
ribuan hakim meradang karena gaji mereka tidak mencukupi, keluh kesah itu
menjadi bukti yang menjelaskan kelemahan strategi dalam agenda penegakan hukum.
Rencana mogok massal korps hakim daerah merupakan peringatan kepada negara
bahwa jika kesejahteraan komunitas pengadil tidak segera diperbaiki, pengadilan
justru bisa menjadi titik lemah penegakan hukum.
Karena
itu, jangan melarang, dan jangan juga menganggap remeh jika para hakim di
daerah menyuarakan unek-unek mereka. Kalau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
boleh curhat karena tujuh tahun tak pernah menikmati penaikan gaji, mengapa
juga para hakim di daerah tidak boleh mengeluhkan gaji mereka yang kecil?
Hormati saja karena itu memang hak mereka.
Maka,
kalau masih konsisten dengan agenda penegakan hukum, keluh kesah para hakim itu
justru harus diapresiasi karena mereka mengungkap sekaligus menunjukkan adanya
sebuah kelemahan mendasar dalam agenda penegakan hukum di negara ini.
Secara
tidak langsung, para hakim di daerah ingin mengatakan, kalau pemerintah terus
lalai atau tidak peduli kepada kesejahteraan para hakim di daerah, eksistensi,
peran, dan tanggung jawab mereka justru bisa menjadi titik lemah sekaligus
perusak agenda penegakan hukum di negara ini. Sekarang ini, agenda penegakan
hukum memang sudah mengalami sedikit kerusakan di sana-sini. Sekadar contoh
kasus, sebut saja kasus vonis bebas pengadilan tipikor terhadap puluhan
terdakwa koruptor yang mengundang kemarahan publik. Atau, kasus oknum hakim
yang tertangkap tangan karena diduga menerima uang suap.
Maka,
sebelum kerusakan agenda penegakan hukum bertambah parah, inisiatif korps hakim
daerah patut ditanggapi dengan sikap dan pemikiran positif. Jika jernih
menyikapinya, akan terbaca bahwa dalam keluh kesah para hakim itu terkandung
maksud dan tujuan besar yang jauh lebih strategis, yakni sebuah dorongan baru
bagi terwujudnya sinergi penegakan hukum antara Polri dan kejaksaan di satu
sisi, serta para hakim dan institusi peradilan di sisi lain.
Samakan Perlakuan
Baru-baru ini Kejaksaan Agung, Polri, dan
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) memperbarui kesepakatankerja sama demi
mengoptimalkan pemberantasan korupsi. Pembaruan kerja sama itu tidak melibatkan
institusi yang membawahkan pengadilan tindak pidana korupsi. Apakah kerja sama
yang diperbarui itu bisa efektif memberantas korupsi? Mudah-mudahan. Akan
tetapi, belum lama ini rakyat disuguhi fakta tentang keputusan beberapa
pengadilan tipikor daerah yang menjatuhkan vonis bebas terhadap puluhan
terdakwa koruptor.
Kalau pemerintah dan institusi penegak
hukum mau belajar dari kasus vonis bebas terdakwa
koruptor itu, korps hakim dan institusi peradilan mestinya tidak dijadikan
bagian terpisah. Polri, kejaksaan, KPK, bersama korps hakim dan institusi
peradilan merupakan komponen-komponen utama dalam upaya menegakkan hukum. Agar
agenda penegakan hukum mencapai tujuan besarnya, tidak ada pilihan lain kecuali
mewujudkan sinergi semua komponen utama itu.
Karena
itu, inisiatif serupa perlu diperluas oleh Polri dan kejaksaan untuk mewujudkan
penegakan hukum dalam skala lebih luas, yang tidak hanya fokus pada kejahatan
tipikor. Artinya, Polri dan kejaksaan pun perlu mengambil inisiatif bagi
optimalisasi penegakan hukum. Agar optimalisasi itu efektif mencapai tujuannya,
komponen korps hakim dan institusi pengadilan harus dilibatkan dalam tahap
optimalisasi itu. Salah satu prasyarat untuk kebersamaan melakukan optimalisasi
itu ialah persamaan perlakuan dari negara cq pemerintah terhadap semua komponen
utama penegakan hukum di negara ini.
Efektivitas
penegakan hukum memang bergantung pada faktor kemauan politik pemerintah. Mogok
massal para hakim daerah bisa dicegah jika pemerintah menyikapi keluhan para
hakim dengan hati jernih. Dalam praktiknya, optimalisasi penegakan hukum tidak
bisa dipisahkan dari fungsi dan peran pengadilan serta komitmen para hakim.
Artinya, tanpa bermaksud mengintervensi kewenangan pengadilan dan korps hakim,
langkah-langkah penyeragam an persepsi antara Polri, Kejagung, dan institusi
pengadilan masih sangat diperlukan. Untuk kepentingan penyeragam an persepsi
tentang optimalisasi dalam penegakan hukum itu, tidak ada salahnya jika
Kejagung dan Polri bersama-sama melakukan pendekatan kepada Mahkamah Agung
(MA). Agar mendapatkan dukungan politik, agenda optimalisasi penegakan hukum
itu harus pula dilaporkan kepada presiden dan DPR.
Kalau
alasan di balik rencana mogok itu tidak dikemukakan, sebagian besar publik
tidak pernah tahu, bahkan sulit untuk percaya, bahwa para hakim di daerah
menerima gaji kecil. Bahkan sebaliknya, sudah terbentuk persepsi bahwa
kesejahteraan para hakim berada di atas standar rata-rata warga kebanyakan
karena semua kebutuhan mereka disediakan negara. Karena anggapan bahwa para
hakim merupakan bagian tak terpisahkan dari aparatur negara, banyak orang tidak
percaya bahwa gaji hakim di daerah kecil. Bukankah hampir setiap tahun
pemerintah selalu mengumumkan penaikan gaji aparatur negara saat membacakan
APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) di DPR?
Dengan
demikian, menjadi menarik ketika seorang hakim di daerah mengajukan pertanyaan
ini; apakah status hakim pegawai negeri sipil (PNS) atau pejabat negara? Jika
status hakim pejabat negara, mengapa gaji hakim lebih kecil daripada PNS?
Pertanyaan itu boleh diterjemahkan bahwa para hakim pun tidak tahu dengan jelas
posisi dan status mereka dalam struktur birokrasi negara.
Persoalan
berikutnya, mengapa hanya hakim di daerah yang berkeluh kesah, sedangkan hakim
di wilayah perkotaan tidak ikut-ikutan mengeluhkan gaji kecil? Wajar jika
muncul asumsi ada perbedaan perlakuan dari pemerintah terhadap hakim wilayah
perkotaan dan hakim di daerah. Mengapa harus ada perbedaan perlakuan jika tugas
dan tanggung jawab mereka sama? Betapa malang nasib seorang hakim yang semula
bertugas di Jakarta-dengan gaji yang lumayan besar--lalu dipindahkan ke daerah
karena alasan-alasan tertentu, dengan konsekuensi harus menerima gaji kecil.
Kalau
seperti itu fakta persoalannya, bisa ditafsirkan bahwa pemerintah meremehkan peran
dan tanggung jawab para hakim di daerah dalam agenda penegakan hukum. Argumentasi
ini mengacu pada upaya pemerintah yang sudah dan terus memperkuat peran serta
fungsi Polri, kejaksaan, dan juga KPK. Seluruh jajaran Polri bahkan sudah
menikmati remunerasi. Pemerintah pun mengalokasikan anggaran yang tidak kecil
untuk membiayai gaji pegawai dan operasional KPK. Peran hakim pun sangat
strategis. Mengapa gaji para hakim tidak segera dinaikkan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar