Kamis, 12 April 2012

Naikkan Gaji Hakim, lalu?


Naikkan Gaji Hakim, lalu?
Reza Indragiri Amriel, Dosen Psikologi Forensik Universitas Bina Nusantara
SUMBER : JAWA POS, 12 April 2012


RENCANA mogok kerja para hakim serta merta mengundang reaksi luas. Sebagian kalangan mengernyitkan dahi. Pertanyaan yang diajukan, bagaimana mungkin pemangku jabatan yang diidentikkan dengan keluhuran budi pekerti serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan kini ikut-ikutan merisaukan masalah uang. Gugatan tersebut bertitik tolak dari status hakim sebagai ''wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan di muka bumi".

Mereka berasumsi bahwa bekerja sebagai hakim merupakan pilihan rasional masing-masing orang. Pilihan untuk menjadi hakim seharusnya ditetapkan setelah si pemilih tahu persis besarnya tanggung jawab yang dibebankan kepadanya serta kecilnya apresiasi yang diberikan kepadanya. Hakim boleh bertahan di profesinya. Demikian pula, hakim dipersilakan alih profesi jika ia tidak bahagia dengan realita tidak berimbangnya antara apa yang ia berikan dan apa yang ia terima.

Semua pekerjaan, sesuai asas profesionalisme, sesungguhnya berlandasan kepada prinsip yang sama. Tidak terke-cuali hakim. Alhasil, jika kelak ada hakim yang mengeluhkan jumlah penghasilan yang diterima, itu dinilai sebagai cermin sikap yang jauh dari profesionalisme, bahkan -lebih mendasar lagi-sifat kekanak-kanakan yang tidak serasional orang dewasa.

Ujungnya Bisa Kecewa

Pihak lain menaruh empati terhadap keluhan para hakim. Mereka memandang perbaikan kesejahteraan hakim merupakan agenda penting yang perlu direalisasikan, meng-ingat para penegak hukum semacam polisi dan jaksa juga telah berkali-kali mengalami revisi besaran gaji. Kalangan pro-hakim ini juga menetapkan prasyarat, bahwa kenaikan gaji harus disertai dengan peningkatan produktivitas hakim. Poin inilah yang ingin saya soroti.

Pertama, apa sebenarnya indikator produktivitas hakim? Menumpuknya berkas perkara di meja hakim merupakan isu serius. Setiap terjadi pergantian otoritas yudisial, salah satu agenda kerja yang dituntut untuk dapat diatasi oleh pemangku jabatan baru adalah bekerja lebih giat dalam rangka tunggakan perkara. Kecepatan penuntasan perkara itu pula yang, tampaknya, melatari salah satu butir kode etik hakim (sebelum dihapus belum lama ini) bahwa hakim harus berupaya menyelenggarakan persidangan yang cepat, hemat, dan sederhana.

Disimpulkan, produktivitas hakim diukur berdasar jumlah putusan yang dihasilkannya dalam periode tertentu. Semakin banyak naskah putusan yang diselesaikan dalam kurun tersebut, semakin tinggi pula produktivitas hakim.

Pandangan itu layak dikritisi dari sudut psikologi yudisial. Katakanlah jumlah putusan yang berhasil dituntaskan seorang hakim sangat tinggi. Namun, mutu putusan-putusan tersebut tergolong rendah, maka tidak tepat untuk disimpulkan bahwa hakim itu mempunyai kinerja yang lebih baik ketimbang hakim-hakim lain.

Sebaliknya, hakim yang menyelesaikan putusan dalam jumlah lebih sedikit, tetapi putusan-putusannya berkualitas, sesungguhnya jauh lebih sesuai dengan ekspektasi para pencari keadilan. Dengan demikian, kualitas -bukan kuantitas- putusan yang dihasilkan hakim yang patut dijadikan sebagai tolok ukur kinerja hakim.

Kedua, berangkat dari uraian di atas, muncul pertanyaan terkait dengan metode pe-ngukuran kualitas putusan hakim. Sejauh ini terdapat lima model yang dapat diterapkan untuk menakar mutu putusan hakim, yakni legal model, moral model, social model, efficacy model, dan coherence model.

Legal model meninjau putusan hakim berdasar dalil-dalil hukum positif yang tercantum di putusan. Moral model melihat kesesuaian antara putusan hakim de-ngan standar moral. Social model membandingkan putusan seorang hakim de-ngan putusan dalam perkara serupa yang dihasilkan hakim-hakim lain. Efficacy model mengukur seberapa jauh putusan hakim didukung pertimbangan-pertimbangan yang terbenarkan hasil-hasil studi ilmiah. Coherence model mencermati utuh tidaknya putusan hakim sebagai sebuah unit produk kognitif.

Keberadaan model-model tersebut dapat berimplikasi kepada variasi penilaian. Ilustrasinya, model tertentu ketika di-terapkan ke putusan hakim menghasilkan simpulan bahwa putusan tersebut berkualitas baik, sementara saat diolah dengan model lain justru menghasilkan penilaian berbeda. Ini jelas problematis, terlebih ketika dikaitkan ke isu ketiga di bawah ini.

Ketiga, spesifik dikaitkan dengan rencana mogok hakim, apakah kualitas putusan hakim akan meningkat seiring de-ngan membaiknya taraf kesejahteraan hakim? Kajian-kajian psikologi yudisial tidak memperlihatkan tali-temali antara kedua hal tersebut. Hampir seluruh -untuk tidak menulis ''seluruhnya"- riset di ranah ini mengaitkan mutu putusan hakim dengan bias kognitif hakim.

Ringkasnya, hakim akan dapat menghasilkan putusan yang sebaik-baiknya apabila ia mampu sesegera mungkin menyadari unsur-unsur bias serta mempunyai daya tangkal terhadap intervensi sumber-sumber bias tersebut. Jadi, semakin kecil bias kognitif merecoki putusan hakim, sehingga berujung kepada putusan yang bebas bias, inilah penentu tinggi rendahnya mutu putusan yudisial.

Menurut saya, publik selama ini telah keliru persepsi dengan memandang bahwa kesejahteraan dan kualitas putusan hakim berjalan paralel. Membingkai keduanya sebagai elemen-elemen yang saling berhubungan, apalagi memosisikan kualitas (produktivitas) sebagai target perbaikan kesejahteraan hakim, dikhawatirkan nanti hanya akan mengecewakan masyarakat sendiri.

Jalur Pembenahan

Jadi, ke manakah pembenahan penghasilan hakim patut ditautkan?

Keempat, selain menjalankan tugas yudisial, para hakim pada kenyataannya juga melaksanakan tugas-tugas administratif. Sebagian di antara mereka bahkan juga memperoleh penugasan struktural. Pada area administratif dan struktural inilah agenda pembenahan gaji hakim paling realistis untuk disematkan. Logikanya lebih sederhana; pembenahan level kesejahteraan hakim diselenggarakan semata-mata sebagai kewajiban negara yang memang sudah seharusnya memberikan apresiasi sepantasnya kepada pekerja profesional. Hakim adalah salah satu kelompok pekerja profesional itu.

Membaiknya penghasilan para hakim berimbas positif terhadap kian giatnya mereka melaksanakan kerja-kerja non-yudisial. Hanya di situlah harapan publik realistis untuk dibangun.

Tulisan ini dilatari bacaan saya tentang riset-riset perilaku yudisial di lembaga peradilan Barat. Pada penelitian-penelitian tersebut, proses pengambilan putusan yudisial tidak lagi dianggap sebagai produk kerja lurus maupun koruptifnya hakim.

Tak terelakkan, bias kognitif bisa jadi masih jauh dari pengetahuan kita tentang psikologi hakim. Di situ pula terpampang fakta, seluruh diskursus tentang pembenahan perilaku-kerja hakim di Indonesia masih tetap hidup di lapis paling mendasar, yaitu moralitas hakim. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar