Sampah
Kristanto Hartadi, Redaktur Senior SINAR HARAPAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 10 April 2012
Pekan ini, para calon gubernur dan wakil
gubernur DKI Jakarta yang berjumlah enam pasang menjalani pengecekan kesehatan
(check up) guna memastikan mereka
memang cukup layak dari sisi kesehatan untuk memimpin Jakarta, kota berpenduduk
lebih 10 juta manusia, dengan berbagai persoalannya yang memusingkan kepala.
Bila mengamati tema-tema kampanye yang
dilontarkan para calon pemimpin Jakarta itu, kebanyakan hanya berkutat pada dua
soal, macet dan banjir. Tidak banyak disinggung mengenai bagaimana mengelola
sampah Jakarta, misalnya, atau bagaimana mengelola sanitasi di Jakarta.
Ini karena selama hampir lima tahun
kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo (2007-2012), atau dua periode sebelumnya di
masa kepemimpinan Gubernur Sutiyoso (dan wakilnya Fauzi Bowo) alias lima belas
tahun terakhir ini, tidak banyak kemajuan yang dicapai Jakarta dalam hal
pengelolaan sampah dan limbah.
Sampai hari ini, sampah-sampah rumah tangga
maupun industri, baik basah ataupun kering, organik ataupun anorganik, ditumpuk
jadi satu dan dikirim (terutama) ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar
Gebang. Sebagian kecil lagi ditimbun di tanah-tanah kosong atau rawa di seputar
kota, atau dibuang ke selokan atau sungai. Sementara itu, kita juga hidup
“mengapung” di atas jutaan septic tank yang dimiliki hampir setiap rumah
tangga, dan tinjanya mencemari tanah maupun air.
Tak Peduli
Soal sampah ini sangatlah penting diperhatikan,
karena kita orang Indonesia cenderung tidak peduli dan tidak bertanggung jawab
terhadap pelestarian lingkungan, bahkan terhadap sesamanya.
Suatu pagi dalam obrolan kecil sebelum mulai
bekerja, seorang rekan yang tinggal di Jakarta Timur bertutur dia baru
bertengkar kecil dengan tetangganya karena soal sampah. Di depan rumahnya dia
membuat bak sampah, guna memudahkan petugas sampah di RW-nya mengumpulkan
sampah dengan gerobaknya.
Namun, ternyata para tetangga kanan dan
kirinya diam-diam juga membuang sampah mereka ke bak sampah miliknya itu
sehingga sangat cepat penuh. Walhasil, petugas sampah mengeluh dan memintanya
bak sampah itu dihancurkan saja, diganti dengan tong sampah biasa.
Atau, kalau Anda pergi ke arah Taman Bunga
Nusantara di Cileungsi, Kabupaten Bogor, dari arah Cibubur, Anda akan melewati
dua sungai. Terakhir ketika lewat di situ, saya perhatikan pagar jembatan di
kedua sungai itu ditutup dengan seng dan ada tulisan: dilarang buang sampah ke
sungai.
Ternyata, banyak pengendara kendaraan (roda dua atau empat) setiap pagi ketika melintasi kedua jembatan itu punya ritual membuang kantong-kantong plastik berisi sampah rumah tangga mereka ke sungai.
Ternyata, banyak pengendara kendaraan (roda dua atau empat) setiap pagi ketika melintasi kedua jembatan itu punya ritual membuang kantong-kantong plastik berisi sampah rumah tangga mereka ke sungai.
Jadi, dalam hal sampah ini, tidak pernah ada
upaya serius untuk mendidik warga agar mengelola limbah mereka secara baik dan
lestari. Di sisi lain memang ada pihak-pihak tertentu yang memetik keuntungan
ekonomi dari pengelolaan buruk sampah itu, ketimbang menciptakan kesejahteraan
bersama.
Memang ada beberapa RW di Jakarta yang atas
prakarsa satu atau dua orang berhasil menciptakan lingkungan yang lumayan
bersih melalui penghijauan, pembuatan kompos, tetapi upaya itu pun tidak pernah
ditularkan menjadi sebuah gerakan besar ke ratusan RW yang lainnya.
Seoul Bisa
Seoul Bisa
Bandingkan dengan Kota Seoul, ibu kota Korea
Selatan, yang berpenduduk 20 juta, yang mengembangkan manajemen sampah secara
luar biasa bagus. Sampah Metropolitan Seoul dikelola oleh sebuah BUMN yang
khusus menangani sampah dan limbah. Perusahaan itu punya lahan TPA seluas 2.067
hektare, di Incheon, 25 km barat Seoul.
Tapi, jangan samakan dengan TPA Bantar
Gebang, di sana TPA itu sangat bersih karena dijadikan taman yang indah, dan gas
metan yang dihasilkan mampu menggerakkan pembangkit tenaga listrik sebesar 50
MW (memasok listrik untuk 180.000 rumah tangga).
Buat perusahaan itu, semakin banyak sampah
semakin baik dan menguntungkan. Kuncinya adalah: masyarakat diajarkan memilah
sampah mereka sendiri sejak dari rumah, jadi sampah organik dan anorganik tidak
dijadikan satu.
TPA modern seperti di Incheon itu sangat sulit dikembangkan di TPA Bantar Gebang karena terlalu banyak pemulung (lebih dari 5.000 pemulung ada di Bantar Gebang) yang menjadi “pengurai”, akses jalan yang sempit untuk armada angkutan sampah, air lindi (cairan dari sampah) dibiarkan mengalir ke sungai di dekatnya, padahal itu sangat berbahaya.
TPA modern seperti di Incheon itu sangat sulit dikembangkan di TPA Bantar Gebang karena terlalu banyak pemulung (lebih dari 5.000 pemulung ada di Bantar Gebang) yang menjadi “pengurai”, akses jalan yang sempit untuk armada angkutan sampah, air lindi (cairan dari sampah) dibiarkan mengalir ke sungai di dekatnya, padahal itu sangat berbahaya.
Selain itu, luas TPA Bantar Gebang hanya
sekitar 100 hektare (bandingkan dengan 2.067 hektare TPA di Seoul yang dipecah
dalam empat blok). Saya berani bertaruh, kalau ada tanah seluas itu di seputar
Jakarta pastilah sudah dikuasai pengembang, dan bukannya dikelola oleh
pemerintah untuk dijadikan TPA bagi 10 juta warganya.
Kalau saya bepergian ke luar negeri, dan menyaksikan banyak orang Jepang, Korea Selatan dan China yang bepergian ke negeri-negeri lain, itu menunjukkan ekonomi mereka maju. Kenapa mereka bisa maju sementara kita tidak maju-maju? Padahal kita sama-sama bangsa Asia, sama-sama makan nasi?
Kalau saya bepergian ke luar negeri, dan menyaksikan banyak orang Jepang, Korea Selatan dan China yang bepergian ke negeri-negeri lain, itu menunjukkan ekonomi mereka maju. Kenapa mereka bisa maju sementara kita tidak maju-maju? Padahal kita sama-sama bangsa Asia, sama-sama makan nasi?
Jawabannya sederhana: pendidikan, pembangunan
jati diri bangsa, mempertahankan nilai-nilai luhur, dan itulah gunanya kita
punya pemerintah, punya pemimpin seperti gubernur. Kalau dari masalah sampah
dan kebersihan saja kita tidak bisa mengurusnya, bagaimana dengan soal-soal
lain? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar