Tanya pada
Rumput yang Bergoyang
Budiarto Shambazy, Wartawan
Senior Kompas
SUMBER
: KOMPAS, 21 April 2012
Ini cerita tentang praktik economic hit man yang merusak kebijakan
energi kita. EHM bekerja untuk korporatokrasi atau jaringan kerja sama multinational corporations dengan
lembaga internasional (Bank Dunia atau Dana Moneter Internasional), elite
negara maju, dan Orde Baru.
Salah seorang ikon korporatokrasi adalah
mantan Wakil Presiden AS Dick Cheney yang mantan CEO Halliburton—kontraktor terbesar
di dunia— dan sampai kini menjadi penasihat bisnis multinational corporations
(MNC) itu. Cheney penganjur serbuan ke Irak dan Halliburton menikmati
keuntungan dari ladang minyak Irak.
Penyingkiran Presiden Saddam Hussein memang
agenda korporatokrasi yang dulu membunuh Perdana Menteri Iran Mohammad Mosaddeq
(1951-1953) yang menasionalisasi industri pertambangan. EHM mengatur terjadinya
kecelakaan yang menewaskan Presiden Ekuador dan Panama.
Jaringan korporatokrasi dimulai saat Bank
Dunia atau IMF menyalurkan pinjaman untuk pembangunan megaproyek di negara
miskin atas rekomendasi fiktif buatan EHM. Kredit cair dengan syarat tender
pembangunan dihadiahkan kepada MNC atau mitra lokal atas restu korporatokrasi.
Maka, negara miskin itu terjebak utang luar
negeri yang tak akan bisa dilunasi sampai tujuh turunan. Sebaliknya, profit MNC
atau mitra lokal naik setiap tahun selama proyek dikerjakan.
Derita negara itu belum selesai. Selain gagal
menyejahterakan rakyat, negara miskin itu juga tidak mampu membayar utang
sehingga akhirnya ditekan korporatokrasi untuk menjual kekayaan alamnya,
misalnya ladang minyak.
Praktik EHM terjadi di megaproyek PLTU Paiton
I dan II yang nilai proyeknya 3,7 miliar dollar AS. Megaproyek ini tak
bermanfaat karena harga listrik yang dihasilkan 60 persen lebih mahal daripada
Filipina atau 20 kali lebih mahal daripada AS.
Dana pembangunan Paiton ngutang dari export credit agencies (ECA)
negara-negara maju. Korupsi dimulai ketika 15,75 persen saham megaproyek itu
disetor kepada kroni dan keluarga penguasa Orba.
Kontrak-kontrak Paiton, mulai dari pembebasan
lahan sampai monopoli suplai batubara, dihadiahkan tanpa tender kepada sejumlah
MNC atau mitra lokal. Setelah Pak Harto lengsering keprabon, baru ketahuan
nilai proyek itu terinflasi 72 persen.
Pemerintah menegosiasi ulang Paiton dengan
argumen megaproyek itu hasil KKN. Kita selama 30 tahun harus bayar ganti rugi
8,6 sen dollar AS per kWh, padahal kemampuan kita cuma 2 sen.
Supaya manut, eksekutif ECA itu mengancam
akan meminta G-7 menyatakan Indonesia tukang ngemplang yang tidak layak dapat
kredit lagi dari Bank Dunia atau IMF. Seperti biasa, kita manut.
Industri minyak kita juga diperdayai
korporatokrasi melalui perjanjian profit sharing agreement (PSA). Perjanjian
ini bertujuan menghindari nasionalisasi, seperti yang dilakukan PM Mosaddeq dan
Presiden Bolivia Evo Morales.
PSA seolah-olah menempatkan kita sebagai
pemilik sah ladang minyak, sementara MNC ”kontraktor” saja. Namun, praktiknya,
MNC mengontrol pengembangan ladang yang mendatangkan profit berlipat ganda,
mirip praktik kolonialisme.
Perjanjian ini ibarat pernikahan ideal antara
kontrak bagi hasil yang secara politis seolah penting bagi kita sebagai majikan
dan sistem kontrak berbasis konsesi/lisensi yang mendatangkan profit maksimal.
Pemerintah seakan memegang kendali, padahal MNC yang punya ”kedaulatan
nasional”.
”Klausul stabilisasi” PSA mengatakan, UU kita
tidak berlaku bagi setiap kegiatan MNC dalam rangka memetik profit. UU tidak
bisa jadi rujukan jika sengketa terjadi—yang berlaku hukum/arbitrase
internasional yang tak kenal UU kita.
”Cerita sukses” PSA ini yang dijual EHM
bernama Dan Witt yang bekerja untuk ECA di AS, International Tax and Investment Center. Witt, atas nama British
Petroleum, Chevron Texaco, Total, dan Eni SpA, ”menggarap” Irak.
IMF menyalurkan kredit untuk Irak sambil
menetapkan syarat, termasuk mengurangi subsidi yang membuat harga bahan bakar
minyak (BBM) meroket. Syarat lain, parlemen harus mengesahkan UU Perminyakan
akhir 2006 dan IMF wajib disertakan dalam proses perumusannya.
Witt yang bermodalkan best practices (senjata gombal Bank Dunia dan IMF) menjadi
negosiator antara para pejabat Irak yang korup, IMF, dan MNC. Dan, semua
untung, kecuali rakyat Irak.
Nasib rakyat kita sama dengan rakyat Irak. Mungkin
bukan hanya megaproyek Paiton yang menjebak kita pada ketergantungan energi.
Masih banyak megaproyek lain.
Ketergantungan tersebut semakin mencekam pada
saat dunia saat ini mungkin sedang mengalami krisis minyak. Dan, setiap negara
berupaya kuat dengan pertama-tama mempertahankan kepentingan nasional
masing-masing.
Presiden AS Barack Obama menaikkan pajak MNC
serta akan menindak makelar dan spekulan BBM. Presiden Argentina Cristina
Fernandez merenasionalisasi perusahaan minyak Spanyol, Repsol. Malaysia
mempertahankan subsidi BBM.
Bagaimana dengan kita? Kita bukan lagi
produsen/anggota OPEC karena belum mau/mampu mengeksplorasi ladang baru yang
bisa dijadikan cadangan, seperti yang dilakukan AS dan China.
Misteri impor BBM masih belum terkuak karena
Pansus DPR ”masuk angin”. Kini,
muncul berbagai argumen ilmiah dari berbagai pihak yang masuk akal yang ingin
mengakhiri dilema kebijakan energi kita yang sudah lama keliru.
Sambutan terhadap niat baik itu bertepuk
sebelah tangan, mengundang tanda tanya, dan belum tahu apa sebabnya. Kata Ebiet
G Ade, ”Tanyakan pada rumput yang
bergoyang.” ●
Mas ini artikel bagus, sangat mencerahkan kita semua. Ditunggu tulisan lainnya. GBU.
BalasHapus