Nasib
Kartini Kini
Lies Marcoes, Direktur
Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab)
SUMBER
: KOMPAS, 21 April 2012
Ada empat isu yang membuat peringatan Kartini
menjadi relevan saat ini: pendidikan perempuan, perkawinan poligami, perkawinan
di bawah umur, dan kesehatan reproduksi. Keempat isu tersebut pada kenyataannya
masih menjadi persoalan besar dalam pembangunan manusia Indonesia.
Data terpilah survei pendidikan yang
dilakukan Mayling Oey baru-baru ini menunjukkan kecenderungan yang menggugurkan
teori tentang rendahnya partisipasi anak perempuan. Pada semua jenjang
pendidikan dasar 15 tahun, partisipasi murid perempuan naik melampai
partisipasi murid laki-laki. Demikian pula halnya untuk pendidikan madrasah
sebagaimana hasil penelitian Rumah Kitab.
Bukan hanya itu. Pada hampir setiap
tingkatan, murid perempuan selalu menunjukkan prestasi gemilang. Mereka
menduduki tiga besar murid berprestasi untuk semua jurusan. Namun, jangan
bergembira dulu dengan data itu. Studi-studi antropologis memberi makna yang
berbeda atas data statistik tersebut.
Jaminan Orangtua
Pada keluarga-keluarga miskin di daerah
transisi dari agraris ke industri Tangerang, Bogor, Serang, Sukabumi, ataupun
Bandung dan sekitarnya, menyekolahkan anak perempuan sampai tingkat SMP
merupakan satu-satunya jalan untuk bertahan hidup. Tanah garapan telah berubah
menjadi pabrik atau perumahan.
Dalam situasi itu, ijazah SMP anak perempuan
menjadi jaminan masa depan bagi orangtua tanpa pekerjaan tetap. Dengan ijazah
SMP, anak mereka bisa bekerja di pabrik garmen atau menjadi buruh migran. Di
wilayah Serang, misalnya, kelahiran bayi perempuan akan disambut gembira karena
menjadi harapan untuk membawa keluarganya keluar dari jerat kemiskinan.
Merekalah yang nantinya akan mengirim dollar dan riyal ke rumah.
Ini artinya, meningkatnya partisipasi
perempuan dalam pendidikan tak secara otomatis meningkatkan otonomi mereka.
Bahkan, sebaliknya, beban ekonomi keluarga diletakkan pada pundak anak-anak
perempuan berpendidikan pas-pasan.
Jangan tanya soal aktualisasi diri atau
kemandirian. Anak-anak perempuan itu tetap saja terikat oleh nilai-nilai
kultural yang membatasi mereka untuk menentukan hidup dan pilihannya. Perubahan
budaya ke arah manusia modern pada dasarnya tidak sungguh-sungguh terjadi.
Sampai batas umur tertentu, orangtua akan
risau jika anak-anak perempuannya belum berjodoh. Maka perjodohan paksa pun
masih sering dipraktikkan sebagaimana nasib Kartini seabad silam.
Kawin Muda
Kartini memang tak mengalami kawin muda.
Namun, pada zamannya budaya itulah yang ia gugat. Kini, setelah lebih dari 100
tahun, persoalan ternyata belum juga berhasil dihapus meski di tingkat legal
formal sudah selesai.
Hasil penelitian PP Aisyiyah di Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta, membuktikan mengapa praktik kawin muda perlu
diwaspadai. Dalam penelitian tentang remaja dan seksualitas mereka yang baru
saja selesai ini, disebarkan 717 angket ke sejumlah sekolah di Bantul kepada
murid-murid yang berusia 14-21 tahun. Hasil survei sejalan dengan kesimpulan
diskusi kelompok terbatas (FGD) yang menunjukkan rendahnya pengetahuan remaja
tentang tubuh dan seksualitas mereka. Hal ini tentu saja berkorelasi dengan
tingginya perkawinan di bawah umur.
Penelitian itu mencatat bahwa banyak remaja
percaya pada mitos-mitos reproduksi, terutama soal menstruasi, penyebab
kehamilan, dan cara-cara pencegahan kehamilan. Di Kecamatan Dlingo, sebagian
besar peserta FGD belum pernah mendapatkan informasi secara formal tentang
kesehatan reproduksi. Pengetahuan mereka peroleh dari teman-teman sebaya dan
internet. Di Kecamatan Banguntapan, Dlingo, dan Kasihan tampak adanya praktik
perkawinan usia dini yang cukup tinggi dan kehamilan di bawah usia 20 tahun.
Data itu dapat dibaca dari banyaknya
permohonan untuk mendapatkan dispensasi pernikahan yang diputus Pengadilan
Agama Kabupaten Bantul. Dispensasi diperlukan karena perkawinan usia dini pada
dasarnya melanggar batas usia kawin sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Perkawinan.
Penelitian Aisyiyah menunjukkan bahwa pada
2000 permohonan dispensasi pernikahan hanya ada 10 perkara. Namun, pada 2010
angka tersebut meningkat menjadi 115 perkara. Meskipun hal ini bisa diartikan
munculnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya dokumentasi perkawinan,
secara faktual data itu menunjukkan tingginya angka perkawinan di bawah umur.
Dari FGD dengan kelompok remaja di Kecamatan
Kasihan dan Dlingo, tercatat bahwa praktik kawin usia dini umumnya didorong
oleh keinginan meringankan beban ekonomi orangtua, takut dianggap perawan tua,
dan kehamilan yang tidak diinginkan. Alasan terakhir itu bahkan menjadi faktor
paling menonjol penyebab pernikahan usia dini. Maka, penelitian ini
menggarisbawahi bahwa kehamilan tak dikehendaki terkait dengan rendahnya
pengetahuan mereka dan orangtuanya tentang kesehatan reproduksi.
Salah satu risiko perkawinan dan kehamilan
pada usia dini adalah angka kematian ibu melahirkan (AKI). Seabad lalu, Kartini
meninggal pasca-melahirkan. Maka, ia masuk kategori penyumbang AKI.
Indonesia hingga kini masih terus berkutat
dengan AKI. BKKBN mengeluarkan angka AKI yang masih 228/100.000 kelahiran
hidup, yang masih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain.
Banyak hal yang dapat didaftar sebagai
penyebab situasi itu. Namun, yang paling utama adalah pada ketidakpekaan dan
ketidakberpihakan para pengambil kebijakan sejak adanya otonomi daerah.
Perkawinan Poligami
Kegagalan Kartini meraih pendidikan tinggi
adalah dampak kungkungan adat yang memaksanya masuk ke dalam dunia perkawinan
poligami. Inilah salah satu isu yang terus-menerus masuk dalam agenda
perjuangan gerakan perempuan sejak 1928, tetapi malah marak sekarang.
Pejabat publik bahkan tidak malu-malu lagi
mempraktikkannya, termasuk melanggar UU Perkawinan soal perizinan. Saat ini UU
Perkawinan sebagai hukum positif dikalahkan oleh aturan primordial yang
bersifat parsial. Adanya dualisme hukum jelas menjadi penyulit dalam penegakan
hak-hak kaum perempuan sebagaimana diperjuangkan Kartini.
Memperingati hari kelahiran Kartini, hari
ini, justru membuat kita prihatin. Hal-hal yang dirisaukan Kartini ternyata
masih kita temukan saat ini. Ia, misalnya, menggugat, ”Agama harus menjaga kita dari berbuat dosa. Akan tetapi, berapa banyak
dosa diperbuat orang atas nama agama itu.” Seabad lalu, Kartini sudah
mempertanyakan agama yang kini menjadi pembenaran oleh sebagian kaum laki-laki
untuk menindas perempuan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar