Rabu, 11 April 2012

Politik Hukum Pemilu


Politik Hukum Pemilu
Janedjri M Gaffar, Kandidat Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Diponegoro,
Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK)
SUMBER : SINDO, 11 April 2012


Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu saat ini memasuki tahapan akhir yang menyisakan tiga persoalan, yaitu sistem pemilihan antara proporsional terbuka dan proporsional tertutup, besaran parliamentary threshold (PT),dan alokasi kursi DPR untuk setiap daerah pemilihan.

Awal minggu ini rapat konsultasi pimpinan Pansus RUU Pemilu telah berhasil menyepakati alokasi kursi DPR di tiap daerah pemilihan yaitu 3–10 kursi, sama dengan ketentuan UU Pemilu sebelumnya. Dua persoalan yang tersisa adalah terkait sistem pemilihan dan besaran PT. Untuk memilih dan menentukan sistem pemilihan serta besaran PT, pembentuk undang-undang tentu harus menjadikan politik hukum pemilu yang terdapat dalam UUD 1945 serta desain jangka panjang sistem politik nasional sebagai acuan utama.

Kini sudah saatnya pematangan sistem politik melalui penerapan dan pengembangan hukum pemilu secara konsisten. Ketentuan mengenai pemilu diatur di dalam Pasal 22E UUD 1945.Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa ketentuan UUD 1945 memberikan rambu-rambu mengenai pemilu yang meliputi; a) Pemilu dilaksanakan secara periodik lima tahun sekali, b) Dianutnya asas pemilu luber dan jurdil, c) Tujuan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden, dan wakil presiden, d) Peserta pemilu yang meliputi partai politik dan perseorangan, dan e) Penyelenggara pemilu.

Prinsip kedaulatan rakyat dalam Putusan MK Nomor 22- 24/PUU-VI/2008 dinyatakan sebagai prinsip yang sangat mendasar dan dipandang sebagai moralitas konstitusi yang memberi warna dan sifat pada keseluruhan undang-undang di bidang politik. Terkait dengan peran partai politik dan pemilih dalam sistem pemilihan, putusan tersebut menyatakan bahwa peran rekrutmen partai politik tidak boleh melanggar prinsip kedaulatan rakyat.Ketentuan lain dalam UUD 1945 yang harus dijadikan acuan politik hukum pemilu adalah arah penyederhanaan partai politik.

Walaupun secara tegas tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa sistem kepartaian yang dianut adalah sistem multipartai sederhana,hal itu dapat dilihat dari latar belakang pembahasan Perubahan UUD 1945 yang melahirkan ketentuan Pasal 6A ayat (2) yang menentukan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.Frasa ”gabungan partai politik” lahir dari maksud perumus perubahan UUD 1945 untuk mengarahkan pada sistem multipartai sederhana.

Sistem Pemilihan

Sejak masa Reformasi, kita telah secara konsisten memilih sistem pemilu proporsional dengan argumentasi sistem inilah yang menghasilkan indeks proporsionalitas paling tinggi. Pilihan yang masih tersisa adalah apakah menggunakan sistem daftar terbuka atau sistem daftar tertutup. Untuk menentukan pilihan sistem pemilihan tentu harus merujuk kembali kepada politik hukum konstitusi,terutama prinsip kedaulatan rakyat.

Walaupun UUD 1945 tidak menentukan sistem pemilihan apa yang harus diterapkan, berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat yang telah ditafsirkan melalui putusan MK, sistem yang harus dipilih adalah sistem yang memberikan penghargaan dan penilaian tertinggi terhadap suara pemilih yang tidak boleh didistorsi oleh peran partai politik. Karena itu, sistem yang sesuai dengan politik hukum konstitusi adalah sistem pemilihan daftar terbuka.

Sistem ini tentu saja tidak sama sekali meniadakan peran partai karena partai tetap memiliki peran penting menentukan calon-calon yang hendak dipilih rakyat. Jika semua nama yang ditetapkan sebagai calon oleh partai merupakan calon yang berkualitas, tidak ada persoalan lagi apakah pilihan rakyat berdasarkan kualitas atau popularitas. Hal terakhir yang harus dipertimbangkan dalam menentukan sistem pemilihan adalah konsistensi.

Kita berharap konsolidasi demokrasi dan politik nasional dapat dilakukan menuju sistem yang lebih mapan. Hal itu harus didukung dengan desain sistem pemilu yang jelas dan dijalankan secara konsisten, tidak berubah-ubah. Sistem proporsional daftar terbuka telah dianut dalam Pemilu 2009 melalui UU Nomor 10 Tahun 2008.

Dalam persidangan pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008,perkara Nomor 22- 24/PUU-VI/2008, pemerintah dan DPR memberikan keterangan tertulis yang menyatakan bahwa sistem yang dianut saat itu adalah sistem proporsional terbuka terbatas sebagai bentuk politik hukum transisional menuju sistem proporsional terbuka murni.Transisi dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada partai guna mengambil langkah yang diperlukan untuk menerapkan suara terbanyak.

Parliamentary Threshold

Kebijakan hukum parliamentary threshold (PT) merupakan cara untuk mewujudkan politik hukum menuju sistem multipartai sederhana. PT diterapkan sejak Pemilu 2009 menggantikan electoral threshold( ET).Penerapan PT dinilai oleh MK dalam Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 sebagai kebijakan yang lebih demokratis karena tidak mengancam eksistensi partai politik dan keikutsertaannya pada pemilu berikutnya.

PT tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak menegasikan prinsip kedaulatan rakyat serta tidak bersifat diskriminatif karena berlaku untuk semua partai politik. Karena itu, tidak ada pertanyaan tentang konstitusionalitas PT. Hal ini juga tercermin dari pandangan semua fraksi DPR saat ini yang telah menyetujui ada PT, perbedaannya hanya pada besaran PT.

Di dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 3/PUUVII/ 2009 MK menyatakan bahwa mengenai besaran angka PT menjadi kewenangan pembentuk undang-undang dengan rambu-rambu tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.

Karena itu, hal yang perlu diperhatikan sesuai dengan prinsip demokrasi adalah penentuan besaran PT tidak boleh merugikan kelompok masyarakat tertentu, terutama minoritas. Penentuan PT perlu dilakukan secara proporsional, antara politik hukum penyederhanaan kepartaian dan perlindungan terhadap keragaman politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar