Selasa, 17 April 2012

Adilkah UN, Adilkah Kita?


Adilkah UN, Adilkah Kita?
Qaimah Umar, Guru SDN Harapan Baru IV, Bekasi
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 16 April 2012



DALAM hitungan hari, anak-anak kita yang saat ini sedang duduk di kelas 12, kelas 9, dan kelas 6 akan mengikuti ujian nasional (UN). Ada yang menarik dari UN kali ini, paling tidak dari statement Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh. Pak Menteri mengakui, meski UN masih diliputi praktik kecurangan dan tak jarang membuat siswa dan orangtua dihinggapi rasa takut berlebih karena khawatir tak lulus, secara tulus ia telah meminta maaf terlebih dahulu.

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, praktik UN seperti praktik gaib dan penuh daya magis yang menyebabkan orangtua, siswa, dan tokoh masyarakat berbondong-bondong melakukan istigasah, atau apa pun namanya, seraya memanjatkan doa kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, agar diberi kemudahan dan kelulusan.

Tahun lalu, di sekitar Makam Mbah Priok yang kontroversial itu, seminggu menjelang ujian terlihat begitu banyak orang datang hanya untuk membeli air di botol kemasan dengan harga cukup fantastis, sekitar Rp30 ribu-Rp40 ribu per botol. Untuk apa? Sebagian anak dan orangtua yang datang ke sana percaya, dengan meminum air dari Makam Mbah Priok, mereka akan terbantu dan lulus UN.

Kemasan sosial, budaya, ekonomi, dan balutan kelam politik pendidikan kita seakan belum bergerak ke arah yang lebih positif. UN seperti perayaan hari raya, kental dan sarat dengan hipnosis agung seakan manusia harus kalah dari yang namanya kelulusan. Dari yang rasional hingga irasional, dari orang awam hingga para ahli pendidikan, seakan kalah dan senyap dalam kekelaman dan kekalutan masalah UN. UN sepertinya ditakdirkan untuk siap memakan korban, dari korban perasaan hingga fisik. Bila melihat karut-marut persoalan UN yang seakan tak pernah ada habisnya, adilkah kita terhadap masa depan anak-anak kita?

Performance Assessment

Saya yakin, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), saat ini ada begitu banyak pakar lulusan luar negeri yang mengerti bagaimana sebaiknya sebuah proses pendidikan harus dijalankan. Ide tentang pembaruan pendidikan bahkan sudah lama diwacanakan, tetapi seperti berjalan di tempat. Banyak ahli pendidikan di Indonesia bilang bahwa sebuah assessment, sebuah pengertian yang lebih luas dari sekadar evaluasi. Itu sangat dibutuhkan untuk melihat sekaligus menguji kompetensi anak didik terutama dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh di sekolah untuk mengatasi masalahmasalah faktual yang ada di sekitar mereka.

Pada periode 1980-an, sebuah studi tentang aspek pengukuran (measurement) dan daya pikir siswa (student cognition) menunjukkan setiap siswa memang unik dan memiliki perbedaan dalam menangkap sebuah informasi. Karena itu, cara mengukur dan mengujinya juga harus beragam alias tidak seragam seperti pola UN. Itu sebabnya performance assessment yang didasari keragaman cara berpikir dan berperilaku siswa menjadi penting dalam rangka melihat aspek-aspek yang paling kuat dan berguna dalam diri seorang siswa (Suzanne Lane and Sean T Tierney: 2009).

Dalam performance assessment, baik siswa maupun guru, bahkan jika ditambah dengan sedikit kreativitas guru dan siswa juga bisa melibatkan orangtua, memiliki kesempatan yang sama untuk terus mengeksplorasi sebuah konsep, gagasan, dan informasi secara berkesinambungan berdasarkan kondisi faktual siswa. Bentuk penugasannya memang lebih banyak pada aspek menulis, sesuatu yang kurang dilatih sekolah terhadap anak-anak kita saat ini. Jangankan kemampuan siswa, kemampuan para guru sekalipun dalam menulis sangat rendah. Bahkan ketika para guru diminta menulis rencana riset sejenis action research, yang terjadi malah perilaku copy paste yang menjengkelkan.

Ciri yang juga unik dari sebuah performance assessment ialah kita akan dengan mudah menemukan kesalahan jika siswa melakukan kesalahan dalam mengaplikasikan konsep, gagasan, atau informasi yang mereka peroleh. Tentu saja itu tidak hanya membutuhkan kerja keras para siswa, tetapi yang lebih utama ialah keseriusan dan kerja keras para guru itu sendiri dalam melakukan proses penilaian dan evaluasi terhadap siswa-siswi mereka. Misalnya mengombinasikan kemampuan menulis siswa dengan daya nalarnya (thinking skills) dalam bentuk yang sederhana, yakni menguji keberanian anak-anak untuk sekadar menulis di majalah sekolah. Atau, jika sudah SMP dan SMA, mereka dapat dilatih untuk menulis surat pembaca ke media cetak.

Performance assessment, dalam aplikasinya yang paling sederhana, dapat dilakukan para siswa ketika bekerja di dalam laboratorium sekolah, kelas musik, dan seni lainnya. Itu menjelaskan solusi matematis untuk sebuah peristiwa ketika semuanya melalui pendekatan yang sederhana: menuliskannya secara kritis dan berdasarkan eksperimen serta pengalaman yang mereka peroleh pada setiap mata pelajaran sebagai sarana refleksi personal (self-reflection), bisa juga dengan cara bekerja dalam kelompok (collaborate with peers).

Salah satu kesulitan yang bakal muncul dalam skema performance assessment ialah bagaimana memberi penilaiannya. Jika dinilai dengan skor tertentu, pola awal seperti hanya menilai aspek kognitif siswa pasti akan terus berulang. Namun jika kemampuan menulis siswa dan guru ber gerak secara bersama, penilaian rasanya bukan hal yang sulit juga untuk dilakukan. Yang penting ialah kebijakan dan kebajikan guru dalam melakukan judgement. Karena itu, guru diharapkan bisa memasuk memasukkan aspek subjektivitas penilaian berdasarkan adjusment yang memadai.

Mulai dari awal kelas

Menurut pengalaman penulis, mengawali sebuah penilaian yang komprehensif dapat dilakukan pada saat kelas baru dimulai. Seorang guru yang sadar akan adanya distingsi antara assessment dan evaluation pasti akan memercayai bahwa assessment for learning sangat dibutuhkan ketika mulai mengajar di kelas yang baru, di tahun ajaran baru. Di awal kelas, kita bisa menanyakan kebiasaan mereka membaca, menulis, dan siapa saja yang biasa membantu mereka belajar ketika di rumah. Buatlah catatan satu halaman berbentuk kontrak belajar, yang jika memungkinkan ditandata ngani tiga pihak, yaitu siswa, guru, dan orangtua/wali.

Praktik kecil itu akan menjadikan proses komunikasi antara siswa dan guru mulai cair sedari awal. Jika proses komunikasi tersebut sudah cair, proses belajar-mengajar biasanya juga akan berjalan dengan lancar karena baik guru maupun siswa biasa mengomunikasikan gagasan soal belajar secara bersamasama. Itu berarti dalam pola performance assessment, guru memiliki logika dan rencana langkah pengajaran yang panjang melalui sebuah mekanisme kesepakatan tiga pihak. Langkah itu seyogianya juga disepakati para kepala sekolah dan tidak dikejar-kejar para pengawas yang terkadang tak mengerti apa pentingnya performance assessment dalam sebuah proses belajar-mengajar.

Beberapa keuntungan yang secara praktis akan diperoleh guru dalam melaksanakan proses dan pendekatan performance assessment adalah: 1) menjadikan guru sebagai motivator ulung dalam meningkatkan prestasi anak didik dan cara mereka belajar (serve as motivators in improving student achievement and learning); 2) menjadikan hubungan antara praktik performance assessment yang dilakukan guru dan kurikulum yang digunakan sekolah menjadi lebih baik (allow for better connections between assessment practices and curriculum); 3) dapat menyemangati guru untuk selalu kreatif dalam memikirkan serta menggunakan metode-metode dan instructional strategies dalam proses belajar-mengajar. 

Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa secara kritis, mampu memecahkan masalah, dan mampu berkomunikasi baik lisan maupun tulisan.
Jika kita mau berlaku adil terhadap masa depan anak-anak kita dan kualitas pendidikan bangsa, kesadaran akan pentingnya penggunaan pola performance assessment sangat dibutuhkan dalam sistem pendidikan nasional kita.

Praktik dalam pola performance assessment pasti akan lebih adil untuk menilai para siswa ketimbang praktik UN yang saat ini masih diberlakukan. Berdasarkan beberapa studi, praktik evaluasi sejenis UN memang sering memunculkan segregasi budaya, etnik, dan latar belakang sosio-ekonomi yang lebih tajam. Sebaliknya, perfomance assessment justru dapat menekan segregasi dan polarisasi di tingkat masyarakat karena memang pendekatannya yang lebih melihat konteks bakat dan minat siswa secara adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar