Adilkah UN,
Adilkah Kita?
Qaimah Umar, Guru SDN Harapan Baru IV, Bekasi
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 16 April 2012
DALAM
hitungan hari, anak-anak kita yang saat ini sedang duduk di kelas 12, kelas 9,
dan kelas 6 akan mengikuti ujian nasional (UN). Ada yang menarik dari UN kali
ini, paling tidak dari statement Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Mohammad Nuh. Pak Menteri mengakui, meski UN masih diliputi praktik kecurangan
dan tak jarang membuat siswa dan orangtua dihinggapi rasa takut berlebih karena
khawatir tak lulus, secara tulus ia telah meminta maaf terlebih dahulu.
Seperti
pada tahun-tahun sebelumnya, praktik UN seperti praktik gaib dan penuh daya
magis yang menyebabkan orangtua, siswa, dan tokoh masyarakat berbondong-bondong
melakukan istigasah, atau apa pun namanya, seraya memanjatkan doa kepada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa, agar diberi kemudahan dan kelulusan.
Tahun
lalu, di sekitar Makam Mbah Priok yang kontroversial itu, seminggu menjelang
ujian terlihat begitu banyak orang datang hanya untuk membeli air di botol
kemasan dengan harga cukup fantastis, sekitar Rp30 ribu-Rp40 ribu per botol. Untuk
apa? Sebagian anak dan orangtua yang datang ke sana percaya, dengan meminum air
dari Makam Mbah Priok, mereka akan terbantu dan lulus UN.
Kemasan
sosial, budaya, ekonomi, dan balutan kelam politik pendidikan kita seakan belum
bergerak ke arah yang lebih positif. UN seperti perayaan hari raya, kental dan
sarat dengan hipnosis agung seakan manusia harus kalah dari yang namanya
kelulusan. Dari yang rasional hingga irasional, dari orang awam hingga para
ahli pendidikan, seakan kalah dan senyap dalam kekelaman dan kekalutan masalah
UN. UN sepertinya ditakdirkan untuk siap memakan korban, dari korban perasaan
hingga fisik. Bila melihat karut-marut persoalan UN yang seakan tak pernah ada
habisnya, adilkah kita terhadap masa depan anak-anak kita?
Performance Assessment
Saya
yakin, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), saat ini ada
begitu banyak pakar lulusan luar negeri yang mengerti bagaimana sebaiknya
sebuah proses pendidikan harus dijalankan. Ide tentang pembaruan pendidikan
bahkan sudah lama diwacanakan, tetapi seperti berjalan di tempat. Banyak ahli
pendidikan di Indonesia bilang bahwa sebuah assessment, sebuah pengertian yang lebih
luas dari sekadar evaluasi. Itu sangat dibutuhkan untuk melihat sekaligus
menguji kompetensi anak didik terutama dalam mengaplikasikan pengetahuan dan
keterampilan yang mereka peroleh di sekolah untuk mengatasi masalahmasalah
faktual yang ada di sekitar mereka.
Pada
periode 1980-an, sebuah studi tentang aspek pengukuran (measurement) dan daya pikir siswa (student cognition) menunjukkan setiap siswa memang unik dan
memiliki perbedaan dalam menangkap sebuah informasi. Karena itu, cara mengukur
dan mengujinya juga harus beragam alias tidak seragam seperti pola UN. Itu
sebabnya performance assessment yang
didasari keragaman cara berpikir dan berperilaku siswa menjadi penting dalam
rangka melihat aspek-aspek yang paling kuat dan berguna dalam diri seorang
siswa (Suzanne Lane and Sean T Tierney: 2009).
Dalam
performance assessment, baik siswa
maupun guru, bahkan jika ditambah dengan sedikit kreativitas guru dan siswa
juga bisa melibatkan orangtua, memiliki kesempatan yang sama untuk terus
mengeksplorasi sebuah konsep, gagasan, dan informasi secara berkesinambungan
berdasarkan kondisi faktual siswa. Bentuk penugasannya memang lebih banyak pada
aspek menulis, sesuatu yang kurang dilatih sekolah terhadap anak-anak kita saat
ini. Jangankan kemampuan siswa, kemampuan para guru sekalipun dalam menulis
sangat rendah. Bahkan ketika para guru diminta menulis rencana riset sejenis action research, yang terjadi malah
perilaku copy paste yang
menjengkelkan.
Ciri
yang juga unik dari sebuah performance
assessment ialah kita akan dengan mudah menemukan kesalahan jika siswa
melakukan kesalahan dalam mengaplikasikan konsep, gagasan, atau informasi yang
mereka peroleh. Tentu saja itu tidak hanya membutuhkan kerja keras para siswa,
tetapi yang lebih utama ialah keseriusan dan kerja keras para guru itu sendiri
dalam melakukan proses penilaian dan evaluasi terhadap siswa-siswi mereka.
Misalnya mengombinasikan kemampuan menulis siswa dengan daya nalarnya (thinking skills) dalam bentuk yang
sederhana, yakni menguji keberanian anak-anak untuk sekadar menulis di majalah
sekolah. Atau, jika sudah SMP dan SMA, mereka dapat dilatih untuk menulis surat
pembaca ke media cetak.
Performance assessment, dalam aplikasinya yang paling
sederhana, dapat dilakukan para siswa ketika bekerja di dalam laboratorium
sekolah, kelas musik, dan seni lainnya. Itu menjelaskan solusi matematis untuk
sebuah peristiwa ketika semuanya melalui pendekatan yang sederhana:
menuliskannya secara kritis dan berdasarkan eksperimen serta pengalaman yang
mereka peroleh pada setiap mata pelajaran sebagai sarana refleksi personal (self-reflection), bisa juga dengan cara
bekerja dalam kelompok (collaborate with
peers).
Salah
satu kesulitan yang bakal muncul dalam skema performance assessment ialah bagaimana memberi penilaiannya. Jika
dinilai dengan skor tertentu, pola awal seperti hanya menilai aspek kognitif
siswa pasti akan terus berulang. Namun jika kemampuan menulis siswa dan guru
ber gerak secara bersama, penilaian rasanya bukan hal yang sulit juga untuk
dilakukan. Yang penting ialah kebijakan dan kebajikan guru dalam melakukan judgement. Karena itu, guru diharapkan
bisa memasuk memasukkan
aspek subjektivitas penilaian berdasarkan adjusment yang memadai.
Mulai dari awal kelas
Menurut
pengalaman penulis, mengawali sebuah penilaian yang komprehensif dapat
dilakukan pada saat kelas baru dimulai. Seorang guru yang sadar akan adanya
distingsi antara assessment dan evaluation pasti akan memercayai bahwa assessment for learning sangat
dibutuhkan ketika mulai mengajar di kelas yang baru, di tahun ajaran baru. Di
awal kelas, kita bisa menanyakan kebiasaan mereka membaca, menulis, dan siapa
saja yang biasa membantu mereka belajar ketika di rumah. Buatlah catatan satu
halaman berbentuk kontrak belajar, yang jika memungkinkan ditandata ngani tiga
pihak, yaitu siswa, guru, dan orangtua/wali.
Praktik
kecil itu akan menjadikan proses komunikasi antara siswa dan guru mulai cair
sedari awal. Jika proses komunikasi tersebut sudah cair, proses
belajar-mengajar biasanya juga akan berjalan dengan lancar karena baik guru
maupun siswa biasa mengomunikasikan gagasan soal belajar secara bersamasama.
Itu berarti dalam pola performance
assessment, guru memiliki logika dan rencana langkah pengajaran yang
panjang melalui sebuah mekanisme kesepakatan tiga pihak. Langkah itu seyogianya
juga disepakati para kepala sekolah dan tidak dikejar-kejar para pengawas yang
terkadang tak mengerti apa pentingnya performance
assessment dalam sebuah proses belajar-mengajar.
Beberapa
keuntungan yang secara praktis akan diperoleh guru dalam melaksanakan proses
dan pendekatan performance assessment
adalah: 1) menjadikan guru sebagai motivator ulung dalam meningkatkan prestasi
anak didik dan cara mereka belajar (serve
as motivators in improving student achievement and learning); 2) menjadikan
hubungan antara praktik performance
assessment yang dilakukan guru dan kurikulum yang digunakan sekolah menjadi
lebih baik (allow for better connections
between assessment practices and curriculum); 3) dapat menyemangati guru
untuk selalu kreatif dalam memikirkan serta menggunakan metode-metode dan instructional strategies dalam proses
belajar-mengajar.
Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan berpikir siswa secara
kritis, mampu memecahkan masalah, dan mampu berkomunikasi baik lisan maupun
tulisan.
Jika
kita mau berlaku adil terhadap masa depan anak-anak kita dan kualitas
pendidikan bangsa, kesadaran akan pentingnya penggunaan pola performance
assessment sangat dibutuhkan dalam sistem pendidikan nasional kita.
Praktik
dalam pola performance assessment
pasti akan lebih adil untuk menilai para siswa ketimbang praktik UN yang saat
ini masih diberlakukan. Berdasarkan beberapa studi, praktik evaluasi sejenis UN
memang sering memunculkan segregasi budaya, etnik, dan latar belakang
sosio-ekonomi yang lebih tajam. Sebaliknya, perfomance
assessment justru dapat menekan segregasi dan polarisasi di tingkat
masyarakat karena memang pendekatannya yang lebih melihat konteks bakat dan
minat siswa secara adil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar