Sabtu, 07 April 2012

Oposisi dalam Koalisi


Oposisi dalam Koalisi
A Kusnaedi, Alumnus Magister Administrasi Publik Undip Semarang
SUMBER : SUARA MERDEKA, 07 April 2012



PARPOL pada era reformasi masih berorientasi kuat pada kekuasaan, dan kurang gigih memperjuangkan aspirasi rakyat. Dalam pandangan pakar politik UGM Prof Dr Budi Winarno MA (2008) kondisi itu menggambarkan partai yang masih kental dengan oportunisme dan pragmatisme sehingga langkah politiknya menyesuaikan situasi dan kondisi politik. Target utamanya jelas, yakni demi memperoleh keuntungan dan kekuasaan politik.

Adapun pandangan Sigmund Neumann (dalam Budiardjo, 1982) menyatakan bahwa partai merupakan organisasi dari aktivitas-aktivitas politik yang berusaha menguasai pemerintah dan merebut atas dukungan rakyat yang mempunyai pandangan berbeda. Apakah pandangan itu sesuai dengan yang kini diperankan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)? PKS yang tergabung dalam Setgab Parpol Pendukung Koalisi Pemerintah, bersama Partai Demokrat, PAN, Partai Golkar, PPP, dan PKB yang merupakan partai pendukung pemerintahan, dalam sidang paripurna DPR Sabtu pekan lalu, menolak rencana kenaikan harga BBM. Sebelumnya, PKS mengambil sikap berlawanan dalam kasus Bank Century dan angket mafia pajak.

Sikap politik PKS, pada satu sisi tetap ingin menempatkan diri sebagai anggota Setgab tetapi di sisi lain sekaligus ingin meraih dukungan lebih kuat rakyat. Artinya, dalam format itu ia memilih beroposisi di dalam koalisi. Terkait sikapnya dalam rapat paripurna DPR, ia seperti ingin menghadirkan citra sebagai partai yang memperjuangkan aspirasi rakyat. Hal itu tidak lepas niat memperkuat citra bersih sekaligus memperoleh dukungan lebih kuat untuk Pemilu 2014.
Tapi sikap itu menuai kecaman dari anggota koalisi. Bahkan kader PKS yang duduk di kabinet, yaitu Tifatul Sembiring (Menkominfo), Salim Segaf Al Jufrie (Mensos), dan Suswono (Mentan) terancam diganti (SM, 05/04/ 12). Pimpinan parpol koalisi, minus PKS pun sudah mengadakan pertemuan di kediaman Ketua Umum Setgab SBY.
Menantang SBY
Langkah politik PKS bukan tidak disengaja. Kendati dalam pilpres SBY-Boediono memperoleh kemenangan 60 persen lebih, SBY tidak bisa mengabaikan dukungan partai-partai lain. Dukungan banyak parpol akan memperlancar kinerja pemerintahannya. PKS tahu dan memanfaatkan kondisi itu apalagi punya suara cukup signifikan, yaitu 57 kursi di DPR.  Risiko dari penentangan PKS atas rencana kenaikan harga BBM memang menghadirkan kesan menantang. Misalnya seperti disampaikan Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin, yang menyatakan partainya tidak khawatir dikeluarkan dari koalisi setelah menolak kenaikan harga BBM, sebab sikap itu merujuk pada penolakan masyarakat.
Dikatakan, meskipun berada dalam koalisi, partainya tetap independen dalam memutuskan kebijakan pemerintah, terutama yang menyangkut kepentingan masyarakat. Karena itu mereka siap jika harus berada di luar. Hal senada disampaikan Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, yang menyilakan SBY mengevaluasi menteri dari partai itu (SM, 02/04/12).

Sebenarnya, lebih elegan kalau PKS tidak menunggu evaluasi karena sikap itu mengesankan masih ingin kadernya tetap di kabinet.  Terlebih anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hayono Isman sudah meminta PKS segera mundur dari koalisi (detik.com, 05/04/12). Partai itu seharusnya berani melakukan terobosan politik dengan menarik diri dari anggota koalisi atau kabinet, tidak harus menunggu dievaluasi. Tak perlu menunggu Presiden SBY berpidato mengenai sikap Setgab yang sudah jelas. Langkah itu justru menunjukkan moral politik yang tinggi dan tidak membingungkan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar