Gerakan
Sosial Kaum Tani dalam Politik
M. Sobary, Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SUMBER : SINDO, 16 April 2012
Kajian-kajian
sejarah melalui arsip yang disimpan di negeri Belanda, yang memuat gerakan-gerakan
protes kaum tani pada abad 19, memberi kesaksian kepada kita bahwa sejak dulu
yang namanya kaum tani,yang kelihatannya lugu dan kurang pengalaman––di masa
itu memang lugu dan kurang pengalaman––, memiliki satu hal yang kini tak lagi
ada pada kita: militansi.
Kita
sekarang menjadi lembek. Cenderung menyerah dan tak berdaya? Sejarawan Sartono
Kartodirdjo meraih gengsi dan nama besar dari kajian-kajiannya. Protest
Movement in Rural Java yang berisi kajian mendalam kasus demi kasus gerakan
protes kaum tani,yang militan dan berani tadi, juga menggambarkan situasi
politik yang jelas: zaman resah, zaman penuh ketidakpastian, dengan hanya satu
hal yang pasti, keterancaman.
Hidup petani terancam. Pajak makin berat. Bahkan barang siapa punya kepala—dan tiap orang pasti punya—harus juga dipajaki. Petani tak berdaya sama sekali. Karena itu mereka melakukan gerakan-gerakan protes tadi. Dan sifatnya sporadis, tak berani terlalu terangterangan. Tapi melawan adalah melawan.Mereka antipenjajah yang kelewat menindas.
Buku kedua, hasil kajian yang ditulis sebagai disertasi doktornya, Peasant Revolt of Banten, 1888 mengidentifikasi watak nativistis dan anti asing dengan sangat jelas. Selain membela kepentingan mereka yang tertindas oleh beban pajak yang berat, mereka juga menggunakan ideologi keagamaan yang nyata. Maka,para kiai tarekat,yang dianggap terpandang, berpengaruh luas, dan memiliki kesaktian luar biasa, terlibat di dalamnya dan mereka memegang tampuk pimpinan.
Mereka menggalakkan kaum tani yang sudah militan itu dengan memberi jimat-jimat dan kekuatan besar. Dan perlawanan revolusioner itu menyebar ke seluruh wilayah Banten sambil berharap munculnya kembali kedaulatan Kesultanan Banten yang bisa mereka harapkan menjadi pelindung yang membawa rasa tenteram dan damai. Kebutuhan akan perlindungan itu penting. Rasa tenteram dan damai sangat penting. Dan itu yang tak mereka miliki.
Dan mereka yang berjuang hanya dengan militansi itu kalah.Dan diremehkan. Di luar kajian sejarawan Sartono Kartodirdjo masih muncul gerakan kaum tani di bawah Partai Komunis Indonesia yang menjanjikan kepada para petani pembagian tanah agar tiap petani punya tanah dan bisa menikmati hidup adil. Ini berbeda jauh dari corak gerakan yang dikaji dari sudut sejarah tersebut.
Tapi ini pun mengangkat kembali kaum tani ke permukaan politik.Dengan sikap lebih keras.Lebih politis. Dan Partai Komunis Indonesia (PKI) memberi pemerintah kekuatan politis, yang digunakan secara curang dan seenaknya sendiri: tiap kekuatan mengkritik dianggap melawan pemerintah dan dianggap subversif. Orangnya atau kelompoknya lalu dicap PKI.Dengan cap PKI itu, orang atau kelompok langsung mati. Di masa Orde Baru pun masih tetap ada gerakan protes kaum tani yang mempertahankan hak atas tanah mereka.Protes petani Jenggawah, Jember,merupakan contoh kekuatan politik rakyat yang tak mau dibungkam begitu saja oleh sepatu tentara.
Tapi ini gerakan berbasis hak dan tidak merupakan gerakan ideologis-politis seperti gerakan kaum tani sebelumnya. Dalam perkembangan lebih lanjut,sejak1980-an,adayangdisebut sebagai “Gerakan Sosial Baru”. Modus lama yang merupakan “gerakan kaum tani” dianggap sudah tertinggal oleh zaman. Isi gerakan baru lebih merupakan usaha merebut hakhak rakyat yang sudah dijamin di dalam konstitusi. Tapi juga dirasuki oleh pencerahan pemikiran kaum feminis.
Gerakan perlindungan terhadap kaum perempuan, yang juga memiliki hak-hak sosial, ekonomi, dan kultural, tak boleh berhenti hanya pada kalimat-kalimat jaminan. Gerakan itu justru muncul dari bawah untuk memastikan bahwa yang berkuasa sungguhsungguh melaksanakan konstitusi yang menjanjikan perlindungan hak-hak mereka. Dengan kata lain, gerakan mereka terutama menuntut hak yang sudah dijanjikan.
Namun di sana sini terkadang tampil ideologi yang oleh pemerintah dicemooh secara apriori sebagai ideologi Barat tanpa memerinci apa maknanya Barat dan di mana kelemahan ideologi itu jika harus dipraktikkan di negeri yang bukan Barat ini. Selain feminisme, gerakan penghutanan kembali dan pemeliharaan hutan berbasis masyarakat, gerakan perempuan untuk mengontrol jalannya pemerintahan yang harus berbasis good governance,
gerakan parlemen bersih,dan berbagai macam gerakan memperjuangkan kepentingan rakyat agar mereka meraih hak-hak mereka tadi patut dicatat sebagai pembawa angin segar dalam kehidupan politik rakyat yang enggan menjadi korban politik terus menerus. Tapi ketika muncul lagi gerakan petani tembakau memprotes ketidakadilan tata kelola pemerintahan yang lebih memojokkan dan mempersulit kaum tani itu, kita diingatkan kembalinya corak gerakan petani abad ke-19 seperti disebut di atas.
Mereka petani, terorganisasi, dengan militansi, tapi sifat gerakannya juga menuntut hak seperti corak gerakan sosial baru tersebut. Bentukgerakanmerekakhas cara baru: demo, mengajukan judicial review, menuntut ke pengadilan atas peraturan perundangan yang dibuat secara sepihak, dan lebih mengadopsi kepentinganasing. Bahkan,harus dicatat, peraturan perundangan itu memang dibuat karena desakan lobi-lobi asing untuk kepentingan asing sambil dengan sendirinya menyengsarakan rakyat,kaum tani itu sendiri.
Desakan pemerintah agar petani tembakau beralih ke tanaman lain, bahkan Gubernur Jawa Tengah merangsang dengan iming-iming: petani yang beralih dari tanaman tembakau ke tanaman lain didukung dan diberi uang. Ini mirip peraturan tanam paksa dulu. Kepentingannya jelas: buat bangsa asing. Tak peduli gubernurnya orang kampung di situ-situ juga. Kaum tani bergerak.
Kaum tani di bawah NU bahkan telah merencanakan bakal melakukan gerakan menuntut peninjauan semua jenis perundangan yang lebih memihak bangsa asing. Ini bakal “meriah” karena perasaan ketertindasan petani sudah memuncak. Kalau pemerintah tak sesensitif terhadap ini, repot mereka.
Menang atau kalah, mereka dicap terkutuk,karena melindungi bangsa asing. Juga terutama oleh petani tembakau yang hingga kini tetap gigih menuntut dan menuntut agar pemerintah mau belajar lebih adil, lebih nasionalistis. Pemerintah hendaknya melindungi bangsanya sendiri,bukan mengabdi kepentingan asing. ●
Hidup petani terancam. Pajak makin berat. Bahkan barang siapa punya kepala—dan tiap orang pasti punya—harus juga dipajaki. Petani tak berdaya sama sekali. Karena itu mereka melakukan gerakan-gerakan protes tadi. Dan sifatnya sporadis, tak berani terlalu terangterangan. Tapi melawan adalah melawan.Mereka antipenjajah yang kelewat menindas.
Buku kedua, hasil kajian yang ditulis sebagai disertasi doktornya, Peasant Revolt of Banten, 1888 mengidentifikasi watak nativistis dan anti asing dengan sangat jelas. Selain membela kepentingan mereka yang tertindas oleh beban pajak yang berat, mereka juga menggunakan ideologi keagamaan yang nyata. Maka,para kiai tarekat,yang dianggap terpandang, berpengaruh luas, dan memiliki kesaktian luar biasa, terlibat di dalamnya dan mereka memegang tampuk pimpinan.
Mereka menggalakkan kaum tani yang sudah militan itu dengan memberi jimat-jimat dan kekuatan besar. Dan perlawanan revolusioner itu menyebar ke seluruh wilayah Banten sambil berharap munculnya kembali kedaulatan Kesultanan Banten yang bisa mereka harapkan menjadi pelindung yang membawa rasa tenteram dan damai. Kebutuhan akan perlindungan itu penting. Rasa tenteram dan damai sangat penting. Dan itu yang tak mereka miliki.
Dan mereka yang berjuang hanya dengan militansi itu kalah.Dan diremehkan. Di luar kajian sejarawan Sartono Kartodirdjo masih muncul gerakan kaum tani di bawah Partai Komunis Indonesia yang menjanjikan kepada para petani pembagian tanah agar tiap petani punya tanah dan bisa menikmati hidup adil. Ini berbeda jauh dari corak gerakan yang dikaji dari sudut sejarah tersebut.
Tapi ini pun mengangkat kembali kaum tani ke permukaan politik.Dengan sikap lebih keras.Lebih politis. Dan Partai Komunis Indonesia (PKI) memberi pemerintah kekuatan politis, yang digunakan secara curang dan seenaknya sendiri: tiap kekuatan mengkritik dianggap melawan pemerintah dan dianggap subversif. Orangnya atau kelompoknya lalu dicap PKI.Dengan cap PKI itu, orang atau kelompok langsung mati. Di masa Orde Baru pun masih tetap ada gerakan protes kaum tani yang mempertahankan hak atas tanah mereka.Protes petani Jenggawah, Jember,merupakan contoh kekuatan politik rakyat yang tak mau dibungkam begitu saja oleh sepatu tentara.
Tapi ini gerakan berbasis hak dan tidak merupakan gerakan ideologis-politis seperti gerakan kaum tani sebelumnya. Dalam perkembangan lebih lanjut,sejak1980-an,adayangdisebut sebagai “Gerakan Sosial Baru”. Modus lama yang merupakan “gerakan kaum tani” dianggap sudah tertinggal oleh zaman. Isi gerakan baru lebih merupakan usaha merebut hakhak rakyat yang sudah dijamin di dalam konstitusi. Tapi juga dirasuki oleh pencerahan pemikiran kaum feminis.
Gerakan perlindungan terhadap kaum perempuan, yang juga memiliki hak-hak sosial, ekonomi, dan kultural, tak boleh berhenti hanya pada kalimat-kalimat jaminan. Gerakan itu justru muncul dari bawah untuk memastikan bahwa yang berkuasa sungguhsungguh melaksanakan konstitusi yang menjanjikan perlindungan hak-hak mereka. Dengan kata lain, gerakan mereka terutama menuntut hak yang sudah dijanjikan.
Namun di sana sini terkadang tampil ideologi yang oleh pemerintah dicemooh secara apriori sebagai ideologi Barat tanpa memerinci apa maknanya Barat dan di mana kelemahan ideologi itu jika harus dipraktikkan di negeri yang bukan Barat ini. Selain feminisme, gerakan penghutanan kembali dan pemeliharaan hutan berbasis masyarakat, gerakan perempuan untuk mengontrol jalannya pemerintahan yang harus berbasis good governance,
gerakan parlemen bersih,dan berbagai macam gerakan memperjuangkan kepentingan rakyat agar mereka meraih hak-hak mereka tadi patut dicatat sebagai pembawa angin segar dalam kehidupan politik rakyat yang enggan menjadi korban politik terus menerus. Tapi ketika muncul lagi gerakan petani tembakau memprotes ketidakadilan tata kelola pemerintahan yang lebih memojokkan dan mempersulit kaum tani itu, kita diingatkan kembalinya corak gerakan petani abad ke-19 seperti disebut di atas.
Mereka petani, terorganisasi, dengan militansi, tapi sifat gerakannya juga menuntut hak seperti corak gerakan sosial baru tersebut. Bentukgerakanmerekakhas cara baru: demo, mengajukan judicial review, menuntut ke pengadilan atas peraturan perundangan yang dibuat secara sepihak, dan lebih mengadopsi kepentinganasing. Bahkan,harus dicatat, peraturan perundangan itu memang dibuat karena desakan lobi-lobi asing untuk kepentingan asing sambil dengan sendirinya menyengsarakan rakyat,kaum tani itu sendiri.
Desakan pemerintah agar petani tembakau beralih ke tanaman lain, bahkan Gubernur Jawa Tengah merangsang dengan iming-iming: petani yang beralih dari tanaman tembakau ke tanaman lain didukung dan diberi uang. Ini mirip peraturan tanam paksa dulu. Kepentingannya jelas: buat bangsa asing. Tak peduli gubernurnya orang kampung di situ-situ juga. Kaum tani bergerak.
Kaum tani di bawah NU bahkan telah merencanakan bakal melakukan gerakan menuntut peninjauan semua jenis perundangan yang lebih memihak bangsa asing. Ini bakal “meriah” karena perasaan ketertindasan petani sudah memuncak. Kalau pemerintah tak sesensitif terhadap ini, repot mereka.
Menang atau kalah, mereka dicap terkutuk,karena melindungi bangsa asing. Juga terutama oleh petani tembakau yang hingga kini tetap gigih menuntut dan menuntut agar pemerintah mau belajar lebih adil, lebih nasionalistis. Pemerintah hendaknya melindungi bangsanya sendiri,bukan mengabdi kepentingan asing. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar