Jumat, 13 April 2012

Reformiskah PTUN?


Reformiskah PTUN?
W Riawan Tjandra, Direktur Program Pascasarjana dan Dosen Hukum Acara PTUN FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
SUMBER : SINDO, 13 April 2012


Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang mengabulkan gugatan tujuh narapidana korupsi yaitu Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby Satrio Hardiwibowo Suhardiman, Mulyono Subroto,Hesti Andi Tjahyanto, Agus Wijayanto Legowo, Ibrahim, dan Hengky Baramuli menimbulkan kontroversi publik.

Pengabulan gugatan tujuh narapidana korupsi tersebut berarti PTUN telah membenarkan dalil-dalil dari tujuh terpidana korupsi yang menggugat keputusan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat menkum dan HAM karena dinilai tidak sesuai dengan UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Isu tersebut dan kontroversi terhadap penanganan kasuskasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh elite partai penguasa di negeri ini kian larut di antara ingar-bingar isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Peradilan tata usaha negara dalam sistem negara hukum yang bercorak Eropa Kontinental dinisbatkan sebagai salah satu pilar utama yang menopang eksistensi negara hukum, di samping perlindungan HAM, pembagian kekuasaan negara (separation of power), dan pemerintahan yang dilaksanakan menurut hukum.

Berbagai putusan PTUN selama ini terlihat belum banyak menjadi rujukan dalam membangun sistem pemerintahan yang baik sehingga PTUN di negeri ini belum mampu mengikuti jejak PTUN pendahulunya yang menjadi faktor sangat penting dalam menegakkan prinsip-prinsip negara hukum di berbagai negara di Eropa seperti di Prancis, Jerman, Belanda, dan sebagainya.

Dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara (UU No 5 Tahun 1986 jis UU No 9 Tahun 2004 dan UU No 51 Tahun 2009),dua alasan bagi PTUN untuk menilai sah atau tidaknya sebuah keputusan pemerintah adalah: Pertama,keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dikeluarkan pemerintah bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kedua, keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dikeluarkan pemerintah bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (the principles of good administration).

 Jika mencermati alasan pembatalan yang digunakan oleh PTUN Jakarta terhadap keputusan pengetatan remisi menteri hukum dan HAM sekilas memang seakan-akan dapat diterima berdasarkan alasan pertama bagi pengujian suatu KTUN oleh hakim tata usaha negara. KTUN yang dikeluarkan oleh menteri hukum dan HAM dinilai bertentangan dengan UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Namun, jika ditinjau dari alasan penilaian keabsahan KTUN kedua yaitu bahwa pertimbangan putusan/vonis di PTUN harus didasarkan dan senantiasa diorientasikan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good administration), putusan PTUN tersebut bermasalah secara etis, moral, dan sosial.

PTUN tidak mampu menangkap rasa keadilan masyarakat dan secara kaku (rigid) tidak mempertimbangkan ada kesenjangan konsiderasi dan materi muatan UU No 12 Tahun 1995 dengan kebutuhan sosial saat ini untuk mengefektifkan langkah-langkah pemberantasan korupsi dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (the principles of good administration).

Salah satu dari prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang selama ini cukup banyak dianut oleh banyak peradilan administrasi di Eropa maupun putusan-putusan PTUN di Indonesia sebelumnya adalah asas kecermatan (the principle of carefulness) dan asas menanggapi pengharapan yang wajar (the principle of meeting raised expectation). PTUN Jakarta telah gagal menangkap ruh dari keputusan menteri hukum dan HAM terkait pengetatan remisi bagi terpidana koruptor.

Keputusan menteri hukum dan HAM sebenarnya telah memenuhi kedua asas tersebut jika dikaitkan dengan berbagai produk legislasi yang merepresentasi harapan rakyat pascareformasi untuk semakin mengefektifkan langkahlangkah pemberantasan korupsi. Ini pada hakikatnya sejalan dengan alasan pengujian kedua, yaitu untuk mewujudkan pemerintahan yang baik melalui implementasi asasasas umum pemerintahan yang baik (the principles of good administration).

Acuan dalam menilai keabsahan suatu KTUN seharusnya dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan juga rasa keadilan sosial yang menjadi tugas hakim dalam sistem peradilan apa pun. Digunakannya the principles of good administration—yang merupakan norma hukum tak tertulis— sebagai salah satu dasar pengujian legalitas suatu KTUN, sebenarnya dimaksudkan agar PTUN tidak hanya secara kaku mendasarkan pertimbangan- pertimbangan putusannya semata-mata pada peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) saja.

Apalagi jika norma hukum tertulis tersebut bertentangan dengan semangat jaman atau rasa keadilan sosial. Riset yang telah banyak dilakukan masih memperlihatkan bahwa PTUN di negeri ini masih cenderung bersifat legalistik dan formalistik dalam mempertimbangkan keabsahan (legality) suatu produk keputusan tata usaha negara (administrative decision). Hakimhakim di PTUN cenderung untuk menilai secara kaku keabsahan suatu keputusan pemerintah dengan mendasarkan pada hukum-hukum tertulis atau peraturan perundangundangan.

The principles of good administration yang merupakan norma hukum tak tertulis sangat jarang atau bahkan tak pernah menjadi rujukan hakim dalam memutuskan suatu sengketa tata usaha negara.Padahal UU Peradilan Tata Usaha Negara menggariskan bahwa penilaian hakim di PTUN harus didasarkan atas konsiderasi hukum untuk mewujudkan kebenaran materiil, bukan sekadar kebenaran formal yang hanya didasarkan atas teksteks aturan hukum tertulis.

UU No 12 Tahun 1995 dan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya yang digunakan hakim sebagai konsiderasi hukum untuk menganulir keputusan Menteri Hukum dan HAM terkait pengetatan pemberian remisi bagi para koruptor merupakan peraturan perundang-undangan produk prareformasi.

Seharusnya hakim menyelaraskan penerapan aturan hukum tersebut dengan hasil amendemen UUD Negara RI 1945 dan perkembangan politik perundang- undangan yang kini nuansanya berupaya untuk mengefektifkan perwujudan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good government).

Masyarakat kini masih menanti peran reformis peradilan tata usaha negara (di tingkat banding dan kasasi) yang diharapkan mampu mencontoh putusan hakim Benjamin Mangkoedilaga yang monumental di era Orde Baru dulu. Peradilan tata usaha negara tak boleh kehilangan jati diri sebagai penjaga negara (the guardian of the state), bukan pelindung para koruptor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar