Problematika
Haji
HM Hudi Asrori, Kepala Pusat Studi Ekonomi Islam
LPPM-UNS
SUMBER : REPUBLIKA, 12 April 2012
Tujuan
utama ibadah haji adalah mabrur. Derajat mabrur tidak hanya di ukur dari
pelaksanaan ibadah oleh jamaah haji, tetapi juga fasilitas penyelenggaraannya.
Ibadah haji tidak hanya menyangkut ritualnya, tetapi berbagai kepentingan yang
membentuk satu komunitas antara penyelenggara haji dan jamaah haji. Timbulnya
permasalahan karena tidak semua kepentingan dapat dipenuhi untuk mencapai tujuannya.
Benturan
kepentingan di antara stakeholders
perhajian dapat berakibat merugikan jamaah haji. Misalnya, BPIH yang selalu
naik, antrean panjang, hitung-hitungan setoran awal pendaftaran haji, dan
fasilitas di Tanah Suci.
UU
No 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji diharapkan menciptakan
keteraturan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan ibadah haji. Namun, hal
itu belum dapat menjamin terselenggaranya ibadah haji seperti yang diharapkan.
Letak permasalahan berakar pada sistem hukum yang menempatkan pemerintah
sebagai regulator sekaligus operator, sehingga hegemoninya kuat.
Sejarah
panjang pengaturan penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia di mulai sejak Pelgrims Ordonnantie 1922 dan 1938,
serta UU Nomor 13 Tahun 2008. Secara substansial regulasi dalam UU No 13/2008
terdapat ketentuan yang tidak sesuai de ngan perlindungan hukum kepentingan
jamaah haji.
Pertama,
fungsi regulator dan operator. Silang pendapat mengenai lembaga penyelenggara
ibadah haji di Indonesia masih terjadi. Satu sisi menghendaki agar penyelenggaraan
dilakukan oleh badan khusus di luar Kementerian Agama (Kemenag), pada sisi lain
menghendaki agar penyelenggaraan tetap di tangani Kemenag.
Sistem
hukum Indonesia menghendaki fungsi regulator berada dalam kewenangan DPR dan
pemerintah. Secara konstitusional, kewenangan ini untuk me menuhi kebutuhan
legalitas yaitu mempunyai kekuatan mengikat.
Secara
substansial masing-masing mempunyai kewenangan, DPR berwenang mengajukan
inisiatif, sedangkan pemerintah berwenang mengajukan usul.
Selanjutnya,
dibahas bersama dan ditetapkan. Selama ini kebijakan penyeleng garaan ibadah
haji lebih didominasi usul dari pemerintah.
Seyogianya
fungsi regulator dan operator dipisah. Caranya, penyelenggaraan ibaah haji
tetap berada di bawah Kemenag dengan mengubah status Direktorat Jenderal Urusan
Haji menjadi Badan Penyelenggara Haji Indonesia. Konstruksi ini lebih
proporsional, yaitu Kemenag bersama DPR sebagai regulator, Badan Penyelenggara
Haji Indonesia sebagai operator dan Komisi Pengawas Haji Indonesia sebagai
monitor.
Kedua,
sistem pendaftaran haji sepanjang tahun. Sejak pemerintah menerapkan kebijakan
sistem pendaftaran sepanjang tahun telah menimbulkan beberapa dampak negatif,
baik bagi penyelenggara haji maupun bagi calhaj.
Misalnya,
sebagai akibat panjangnya daftar tunggu keberangkatan (sekitar 7-10 tahun),
menimbulkan kecemasan ke pastian berhaji, terutama bagi calon jamaah yang
berusia lanjut ataupun penderita penyakit risiko tinggi (risti).
Problem
lainnya, calhaj menjadi komoditas bisnis perbankan dengan tawaran ‘talangan’
haji. Calhaj diberi pinjaman dana sebesar Rp 25 juta untuk mendaftarkan
kepastian pergi dan memperoleh porsi haji. Kiranya perlu mendapat perhatian,
kemungkinan adanya pengaruh dari fasilitas talangan haji terhadap peningkatan
pendaftaran calon haji sehingga menimbulkan antrian panjang.
Masalah
lebih mendasar dapat dilihat dari syarat utama ‘kemampuan’ dalam melaksanakan
ibadah haji, yaitu apakah talangan pada saat mendaftar dapat di kategorikan
‘mampu’. Padahal, dengan talangan tersebut dapat menghambat setiap calhaj yang
betul-betul mampu, dalam artian mempunyai dana cukup tanpa talangan.
Selain
itu, bagi penyelenggara haji dihadapkan pada masalah akuntabilitas pengelolaan
dana awal pendaftaran calhaj sebesar Rp 25 juta per orang untuk rentang waktu
sejak masuk porsi haji di Siskohat sampai waktu keberangkat an. Dana yang
disetorkan itu apakah mi lik calhaj atau pemerintah. Kemudian, kemanfaatannya
digunakan untuk apa?
Persoalan
lainnya mengenai dana aba di umat (DAU). Masalah hukum di dalam DAU adalah atas
dasar kebijaksanaan apa sehingga dikeluarkan kebijakan dapat dilakukannya
efisiensi biaya penyelenggaraan haji. Secara legal formal melakukan efisiensi
merupakan pelaksanaan undang-undang, artinya sah menurut hukum. Namun, secara
sosio legal, patut diduga, ketentuan undang-undang itu berpengaruh terhadap
kepentingan jamaah haji.
Selain
itu, soal pengelolaan dana haji dilakukan menurut syariah yang di dalamnya
berlaku hukum haram dan halal. Seandainya diberdayakan, apa pun caranya, tidak
akan lepas dari faktor kepemilikannya yang menjadi dasar hukum terhadap hak-hak
yang melekat di dalam dana tersebut. Seandainya tidak diberdayakan, mengandung
arti ‘sia-sia’ terhadap rezeki dari Allah SWT.
Ketiga
adalah layanan kesempurnaan ibadah. Umat Islam yang menunaikan ibadah haji
tentu menghendaki terpenuhi kesempurnaan ibadahnya, yaitu dapat melaksanakan
manasik haji sebagaimana dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW meliputi syarat,
rukun, wajib, dan sunah. Kesempurnaan pelaksanaan ibadah haji sangat
dipengaruhi oleh fasilitas dan program manasik haji yang ditentukan oleh
pemerintah.
Terdapat
perbedaan antara sunah Rasul dan kebijakan Pemerintah Indonesia, yaitu dalam
melaksanakan Tarwiyah. Kebijakan Pemerintah Indonesia tidak melaksanakan sunah
Tarwiyah. Dalam hal ini, pemahaman mengenai sunah tentu saja beragam sesuai
dengan ilmu yang dimilikinya. Negara Indonesia yang menjamin terlaksananya
ibadah, harus memberikan layanan umum sesuai kebutuhan
ibadahnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar