Galau
Mengubah Jakarta
Soen’an Hadi Poernomo, Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (IISIP),
Penasihat Asosiasi Pedagang Kaki Lima
Indonesia (APKLI) Jakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 12 April 2012
Tiga
bulan lagi, tepatnya 11 Juli 2012, warga Jakarta memilih gubernurnya. Pemimpin
yang terpilih semoga sosok yang berkomitmen untuk mengabdi dan berjuang
mengubah Jakarta menjadi lebih baik.
Sampai
saat ini, harapan tersebut be lum tampak benderang, mengingat para calon yang
diusung partai dan perorangan belum mengajukan ide konkret dan nuansa yang
meyakinkan. Apalagi, semuanya paham bahwa permasalahan Jakarta tidak sederhana
dan sangat akut. Apabila diurai, paling tidak terdapat tiga jenis problem yang
dihadapi dan saling terkait, yakni permasalahan teknis pengelolaan, moral
kepemimpinan, dan konsep dasar perkotaan.
Setiap
hari warga Jakarta disuguhi permasalahan kemacetan lalu lintas yang sangat
menyiksa. Jalan layang, te rowongan, jalan tol, dan sistem busway tidak banyak
menolong. Malah problem transportasi tersebut diperparah oleh sistem setoran
pengemudi, sehingga ber dampak ngetem di sembarang tempat untuk mengejar
setoran.
Ada
yang berpendapat jalan pemecahan yang menjanjikan adalah peningkatan kualitas
kereta api, pembangunan monorel atau subway. Memang, mungkin alternatif
tersebut dapat menjawab kondisi Jakarta yang dihuni 10,2 juta penduduk, dengan
mobil sekitar 2,4 juta dan sepeda motor 4,3 juta.
Tetapi,
problem transportasi tidaklah berdiri sendiri, banyak variabel lain yang
memengaruhinya. Apalagi ditambah intensifnya perkembangan kota horizontal ke
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang berpenduduk sekitar 28 juta. Para ahli
transportasi memperkirakan Jakarta akan mengalami stagnan atau macet total pada
2014.
Permasalahan
lain adalah banjir, yang setiap musim penghujan senantiasa mengancam beberapa
wilayah Jakarta. Memang, pengendali banjir kanal timur dan beberapa waduk telah
dibangun, akan tetapi masih sulit mengejar memburuknya pembuangan sampah ke sungai
yang tidak berangsur baik, menyebabkan pendangkalan dan penyumbatan saluran
air, serta menjadikan Teluk Ja karta sebagai comberan raksasa di lepas muara.
Secara
topografi, permukaan laut pa da saat tertentu berada lebih tinggi dari sungai
yang mengalirinya. Menjamurnya gedung bertingkat dan rumah susun di samping
memperpadat populasi yang berada di Kota Jakarta, juga mengurangi daya serap
air tanah, serta secara signifikan menyedot konsumsi penyediaan air bersih bagi
warga. Penyedotan air tanah yang masif tentu mempercepat penurunan muka tanah
yang saat ini sudah berlangsung, dan terus meluasnya intrusi air laut.
Dua
problem besar tersebut masih ditambah lagi dengan masalah keamanan, premanisme,
narkoba, permukiman kumuh, dan penyediaan air bersih.
Moral Kepemimpinan
Dimensi
lain terkait langsung maupun tidak lansung dalam pembangunan Jakarta adalah
aspek moralitas kepemimpinan. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa pemilihan
kepala daerah senantiasa diwarnai dengan money
politic serta biaya politik yang sangat tinggi.
Moral
kepemimpinan yang demikian tentu besar pengaruhnya terhadap “nasib” Jakarta,
baik langsung maupun tidak langsung. Yang tampak sebagai komitmen dan upaya
calon untuk membangun Ibu Kota, bisa jadi hanyalah basa-basi atau penciptaan
peluang lahan korupsi guna menutup utang politik.
Apabila
pemimpin daerah sudah memiliki atau terjebak dalam kualitas moral yang tercela,
dapat dibayangkan betapa buruknya suasana tata kelola birokrasi yang ada di
bawahnya. Apalagi, Jakarta adalah lahan ekonomi dan bisnis terbesar di negeri
ini. Produk Domestik Regional Bruto nasional sekitar 25 per sen adalah berada
di Jabodetabek. Kekhawatiran pelestarian atau pengembangan tindak koruptif
tersebut lebih beralasan, dengan realitas belakangan ini adanya sandiwara
korupsi yang tersaji di depan publik tanpa malu oleh elite negeri ini.
Konsep Dasar Perkotaan
Sebuah
kota memang bisa memiliki multifungsi. Akan tetapi, sebagai Ibu Kota negara,
sebaiknya suatu kota memiliki fungsi utama yang khusus untuk penyelenggaraan
pemerintahan. Jakarta saat ini memiliki fungsi ganda, sebagai ibu kota sebuah
negara besar, sekaligus sebagai kota bisnis, kota budaya, kota wisata, dan kota
pendidikan.
Penduduk
miskin dari berbagai daerah mengais rezeki ke Jakarta, pencari kerja mengadu
nasib ke Ibu Kota. Tata kota menjadi ruwet, pengelolaan kota menjadi rumit dan
amburadul. Ibu Kota negara yang berposisi strategis dan vital dalam
ketatanegaraan, tentu memerlukan kondisi yang nyaman, aman, tertib, dan elegan.
Dengan
pertimbangan tersebut, Ibu Kota kita ini tidak mungkin dipaksakan atau dipertahankan
di Jakarta. Namun, lokasi pemindahannya juga sebaiknya diupayakan tidak terlalu
jauh, agar efisien dan efektif, serta pada kawasan yang masih memungkinkan
untuk ditata.
Sebagai
pembanding, beberapa negara telah berpengalaman membangun kota yang memang
diniatkan menjadi ibu kota negara, seperti New Delhi, Brasilia, Washington DC,
dan Canberra. Australia membuat Canberra sebagai ibu kota, yang dijuluki Garden
City dan sampai saat ini masih dipenuhi oleh taman yang rindang, nyaman, tenang,
dan elegan.
Jakarta
sulit untuk berubah menjadi ibu kota negara yang ideal. Maka, demi kebaikan di
masa depan dalam masa yang berkelanjutan, untuk kepentingan bangsa yang lebih
besar, sebaiknya ibu kota negara ini dipindah kan ke lokasi yang lebih tepat.
Bangsa ini harus berbuat sesuatu untuk kebaikan negaranya, tidak hanya pasrah
menerima nasib keruwetan kota yang menggalaukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar