Kamis, 12 April 2012

Galau Mengubah Jakarta


Galau Mengubah Jakarta
Soen’an Hadi Poernomo, Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), 
Penasihat Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Jakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 12 April 2012


Tiga bulan lagi, tepatnya 11 Juli 2012, warga Jakarta memilih gubernurnya. Pemimpin yang terpilih semoga sosok yang berkomitmen untuk mengabdi dan berjuang mengubah Jakarta menjadi lebih baik.

Sampai saat ini, harapan tersebut be lum tampak benderang, mengingat para calon yang diusung partai dan perorangan belum mengajukan ide konkret dan nuansa yang meyakinkan. Apalagi, semuanya paham bahwa permasalahan Jakarta tidak sederhana dan sangat akut. Apabila diurai, paling tidak terdapat tiga jenis problem yang dihadapi dan saling terkait, yakni permasalahan teknis pengelolaan, moral kepemimpinan, dan konsep dasar perkotaan.

Setiap hari warga Jakarta disuguhi permasalahan kemacetan lalu lintas yang sangat menyiksa. Jalan layang, te rowongan, jalan tol, dan sistem busway tidak banyak menolong. Malah problem transportasi tersebut diperparah oleh sistem setoran pengemudi, sehingga ber dampak ngetem di sembarang tempat untuk mengejar setoran.

Ada yang berpendapat jalan pemecahan yang menjanjikan adalah peningkatan kualitas kereta api, pembangunan monorel atau subway. Memang, mungkin alternatif tersebut dapat menjawab kondisi Jakarta yang dihuni 10,2 juta penduduk, dengan mobil sekitar 2,4 juta dan sepeda motor 4,3 juta.

Tetapi, problem transportasi tidaklah berdiri sendiri, banyak variabel lain yang memengaruhinya. Apalagi ditambah intensifnya perkembangan kota horizontal ke Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang berpenduduk sekitar 28 juta. Para ahli transportasi memperkirakan Jakarta akan mengalami stagnan atau macet total pada 2014.

Permasalahan lain adalah banjir, yang setiap musim penghujan senantiasa mengancam beberapa wilayah Jakarta. Memang, pengendali banjir kanal timur dan beberapa waduk telah dibangun, akan tetapi masih sulit mengejar memburuknya pembuangan sampah ke sungai yang tidak berangsur baik, menyebabkan pendangkalan dan penyumbatan saluran air, serta menjadikan Teluk Ja karta sebagai comberan raksasa di lepas muara.

Secara topografi, permukaan laut pa da saat tertentu berada lebih tinggi dari sungai yang mengalirinya. Menjamurnya gedung bertingkat dan rumah susun di samping memperpadat populasi yang berada di Kota Jakarta, juga mengurangi daya serap air tanah, serta secara signifikan menyedot konsumsi penyediaan air bersih bagi warga. Penyedotan air tanah yang masif tentu mempercepat penurunan muka tanah yang saat ini sudah berlangsung, dan terus meluasnya intrusi air laut.

Dua problem besar tersebut masih ditambah lagi dengan masalah keamanan, premanisme, narkoba, permukiman kumuh, dan penyediaan air bersih.

Moral Kepemimpinan

Dimensi lain terkait langsung maupun tidak lansung dalam pembangunan Jakarta adalah aspek moralitas kepemimpinan. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa pemilihan kepala daerah senantiasa diwarnai dengan money politic serta biaya politik yang sangat tinggi.

Moral kepemimpinan yang demikian tentu besar pengaruhnya terhadap “nasib” Jakarta, baik langsung maupun tidak langsung. Yang tampak sebagai komitmen dan upaya calon untuk membangun Ibu Kota, bisa jadi hanyalah basa-basi atau penciptaan peluang lahan korupsi guna menutup utang politik.

Apabila pemimpin daerah sudah memiliki atau terjebak dalam kualitas moral yang tercela, dapat dibayangkan betapa buruknya suasana tata kelola birokrasi yang ada di bawahnya. Apalagi, Jakarta adalah lahan ekonomi dan bisnis terbesar di negeri ini. Produk Domestik Regional Bruto nasional sekitar 25 per sen adalah berada di Jabodetabek. Kekhawatiran pelestarian atau pengembangan tindak koruptif tersebut lebih beralasan, dengan realitas belakangan ini adanya sandiwara korupsi yang tersaji di depan publik tanpa malu oleh elite negeri ini.

Konsep Dasar Perkotaan

Sebuah kota memang bisa memiliki multifungsi. Akan tetapi, sebagai Ibu Kota negara, sebaiknya suatu kota memiliki fungsi utama yang khusus untuk penyelenggaraan pemerintahan. Jakarta saat ini memiliki fungsi ganda, sebagai ibu kota sebuah negara besar, sekaligus sebagai kota bisnis, kota budaya, kota wisata, dan kota pendidikan.

Penduduk miskin dari berbagai daerah mengais rezeki ke Jakarta, pencari kerja mengadu nasib ke Ibu Kota. Tata kota menjadi ruwet, pengelolaan kota menjadi rumit dan amburadul. Ibu Kota negara yang berposisi strategis dan vital dalam ketatanegaraan, tentu memerlukan kondisi yang nyaman, aman, tertib, dan elegan.

Dengan pertimbangan tersebut, Ibu Kota kita ini tidak mungkin dipaksakan atau dipertahankan di Jakarta. Namun, lokasi pemindahannya juga sebaiknya diupayakan tidak terlalu jauh, agar efisien dan efektif, serta pada kawasan yang masih memungkinkan untuk ditata.

Sebagai pembanding, beberapa negara telah berpengalaman membangun kota yang memang diniatkan menjadi ibu kota negara, seperti New Delhi, Brasilia, Washington DC, dan Canberra. Australia membuat Canberra sebagai ibu kota, yang dijuluki Garden City dan sampai saat ini masih dipenuhi oleh taman yang rindang, nyaman, tenang, dan elegan.

Jakarta sulit untuk berubah menjadi ibu kota negara yang ideal. Maka, demi kebaikan di masa depan dalam masa yang berkelanjutan, untuk kepentingan bangsa yang lebih besar, sebaiknya ibu kota negara ini dipindah kan ke lokasi yang lebih tepat. Bangsa ini harus berbuat sesuatu untuk kebaikan negaranya, tidak hanya pasrah menerima nasib keruwetan kota yang menggalaukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar