Presiden
Tersandera
Jack Yanda Zaihifni Ishak, Alumnus
Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia;
PhD Kebijakan Publik
SUMBER : REPUBLIKA, 16 April 2012
APBN-P
2012 tentang BBM telah disahkan dalam rapat Paripurna DPR 31 Maret dini hari,
namun tetap saja putusan rapat paripurna yang terhormat tersebut diperma salahkan
sampai ke MK. Memang tragis. Ternyata bagi elite politik, jangankan menerima
kekalahan, draw saja mereka tidak
mau. Inilah kenyataan pahit yang harus diterima bangsa ini dalam proses bernegara,
kesalahan fatal tersebut terus-menerus dipelihara.
Belum
lagi, adanya pandangan negara hukum yang salah kaprah yang seharusnya
mengedepankan prinsip kenegarawanan dalam kualitas putusan, sesuai prinsip
pemisahan kekuasaan negara. Pemahaman yang berlaku selama ini seolah-olah
menempatkan pertempuran menang-kalah sebagai tujuan. Ditambah lagi, tiada hari
tanpa perdebatan dengan argumen hukum sebagai dasarnya.
Dalam
pelaksanaan pemerintahan, segala sesuatu diukur atas pandangan hitam putih
(salah atau benar), bukan pada argumen yang rasional untuk menemukan kualitas
tujuan kebijakan. Anomali pemerintahan telah menemukan bentuk yang sempurna
dengan campur tangan hukum dalam proses pemerintahan yang begitu massif, dan
boleh dikatakan telah mengganggu jalannya proses pemerintahan.
Seharusnya,
hukum itu mendukung kualitas capaian pemerintah sebagai perwujudan lembaga
pelayanan masya rakat, bukan malah menghambat proses menyejahterakan rakyat dan
akhir nya penyimpangan terjadi juga di sana-sini, khususnya dalam hal
operasional APBN dan APBD. Setidaknya masyarakat dapat merekam kejadian demi
kejadian dalam kesan negatif bahwa siapa pun presidennya tidak berdaya
menghadapi tekanan politik dan campur tangan hukum di segala lini (kecuali
Suharto).
Harapan
pergeseran paradigma fatal tersebut, menuju demokrasi ideal masih jauh dari
harapan, walaupun ada sedikit tanda-tanda positif ke arah ke sadaran memikirkan
nasib rakyat. Itu dapat dilihat pada rapat Paripurna BBM baru-baru ini, di mana
tampaknya mayoritas fraksi di DPR kompak menolak kenaikan harga BBM pada 1
April 2012 dan menyerahkan hak menentukan penyesuaian harga dan naik-turunnya
harga BBM pada pemerintah.
Tentunya
31 Maret 2012 dini hari itu merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, di
mana nyata-nyata hak sipil menjadi prioritas pembelaan. Fakta ini serta-merta
mementahkan argumen pemerintah yang mengatakan APBN jebol tidak terbukti, namun
DPR juga melihat dan tidak menafikan APBN akan jebol pada bulan-bulan
mendatang?
Keanehan Ketatanegaraan
Semua
keputusan politik di negeri ini tidaklah selalu final atau dapat dilaksanakan
serta-merta, karena keputusan yang diambil tersebut katanya masih bisa
diperdebatkan dan dapat diujimaterikan ke MK. Memang aneh tapi nyata, keadaan
ini membuktikan tiadanya sportivitas dan rasa hormat terhadap putusannya
sendiri.
Uji
materi APBN-P terhadap Pasal 7 ayat 6 dan 6a UU APBN-P ini dapat diprediksi
malahan mengandung risiko ketidakpastian hukum, karena apabila uji materi
dikabulkan MK, harus kembali pada Pasal 7 ayat 6 yang tidak memperbolehkan
adanya kenaikan BBM. Apabila prediksi pemerintah dan ahli ekonomi APBN jebol,
akibatnya pemerintah tidak ada pilihan lain kecuali menaikkan harga BBM dan
dapat dipastikan akan ada penolakan dahsyat dari elemen masyarakat.
Kelihatannya, masyarakat tidak peduli lagi argumen pemerintah, mengingat
kelompok antikenaikan telah berhasil meyakinkan masyarakat bahwa ada
pelanggaran konstitusi.
Apakah APBN-P Inkonstitusional?
Rencana
banyak pihak yang tidak puas akan hasil putusan rapat paripurna DPR dengan
mengajukan judicial review tentunya perlu ditanggapi secara arif, mengingat
bobot yang diajukan pemohon menjadi perhatian rakyat secara nasional. Argumen
yang diajukan pemohon dalam rilis di banyak media dapatlah disimpulkan bahwa UU
APBN-P 2012 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 45 (negara menjamin bumi air dan
sebagainya dikuasai negara) dan Pasal 28 UU Migas tahun 2003 yang sudah
dibatalkan MK (melarang pemerintah menyerahkan harga minyak pada harga pasar).
Untuk
menyanggah dalil pemohon, tentunya mesti dilihat apakah APBN-P tersebut dapat
diujimaterikan ke MK sebelum disahkan presiden dan diundangkan dalam lembaran
negara? Menurut mantan ketua MK Prof Jimly Assiddiqie, meskipun dari segi bentuknya
naskah RUU itu masih berupa rancangan yang belum disah kan oleh presiden dan
karena itu belum mengikat sebagai hukum, materinya sudah final. Kemudian, APBN
biasa dituangkan dalam bentuk atau diberi baju hukum dalam bentuk UU. Akan tetapi,
dari segi isi dan materinya, APBN itu sebenarnya bukanlah norma hukum yang
biasa dikenal dengan pengertian UU. Kemudian, Prof Arifin P Soeria Atmaja
berpendapat UU tentang APBN itu biasa disebut sebagai UU dalam arti formal (wet in formele zin), bukan UU dalam
material (wet in materiele zin).
Jadi,
dapatlah disimpulkan jika tuduhan RUU APBN-P telah melanggar UUD 45 dan Pasal
28 UU Migas adalah tidak berdasar, walaupun dapat diperdebatkan dalam ruang
ilmiah. Semestinya, setelah putusan paripurna DPR, perdebatan BBM bukan lagi
terletak pada boleh atau tidaknya menaikkan harga BBM, namun perdebatan harus
diarahkan pada hal-hal yang pokok. Misalnya, persoalan ada tidaknya kesengajaan
dari pemerintah mengajukan asumsi dan analisis-analisis yang keliru sehingga
mengakibatkan rakyat harus menanggung kenaikan harga-harga sebelum BBM
dinaikkan. Kemudian, yang terpenting pada saat ini, pemerintah tidak bisa lagi
sekenanya membawa isu krusial yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar