Selasa, 17 April 2012

Presiden Tersandera


Presiden Tersandera
Jack Yanda Zaihifni Ishak, Alumnus Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia;
 PhD Kebijakan Publik
SUMBER : REPUBLIKA, 16 April 2012



APBN-P 2012 tentang BBM telah disahkan dalam rapat Paripurna DPR 31 Maret dini hari, namun tetap saja putusan rapat paripurna yang terhormat tersebut diperma salahkan sampai ke MK. Memang tragis. Ternyata bagi elite politik, jangankan menerima kekalahan, draw saja mereka tidak mau. Inilah kenyataan pahit yang harus diterima bangsa ini dalam proses bernegara, kesalahan fatal tersebut terus-menerus dipelihara.

Belum lagi, adanya pandangan negara hukum yang salah kaprah yang seharusnya mengedepankan prinsip kenegarawanan dalam kualitas putusan, sesuai prinsip pemisahan kekuasaan negara. Pemahaman yang berlaku selama ini seolah-olah menempatkan pertempuran menang-kalah sebagai tujuan. Ditambah lagi, tiada hari tanpa perdebatan dengan argumen hukum sebagai dasarnya.

Dalam pelaksanaan pemerintahan, segala sesuatu diukur atas pandangan hitam putih (salah atau benar), bukan pada argumen yang rasional untuk menemukan kualitas tujuan kebijakan. Anomali pemerintahan telah menemukan bentuk yang sempurna dengan campur tangan hukum dalam proses pemerintahan yang begitu massif, dan boleh dikatakan telah mengganggu jalannya proses pemerintahan.

Seharusnya, hukum itu mendukung kualitas capaian pemerintah sebagai perwujudan lembaga pelayanan masya rakat, bukan malah menghambat proses menyejahterakan rakyat dan akhir nya penyimpangan terjadi juga di sana-sini, khususnya dalam hal operasional APBN dan APBD. Setidaknya masyarakat dapat merekam kejadian demi kejadian dalam kesan negatif bahwa siapa pun presidennya tidak berdaya menghadapi tekanan politik dan campur tangan hukum di segala lini (kecuali Suharto).

Harapan pergeseran paradigma fatal tersebut, menuju demokrasi ideal masih jauh dari harapan, walaupun ada sedikit tanda-tanda positif ke arah ke sadaran memikirkan nasib rakyat. Itu dapat dilihat pada rapat Paripurna BBM baru-baru ini, di mana tampaknya mayoritas fraksi di DPR kompak menolak kenaikan harga BBM pada 1 April 2012 dan menyerahkan hak menentukan penyesuaian harga dan naik-turunnya harga BBM pada pemerintah.

Tentunya 31 Maret 2012 dini hari itu merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, di mana nyata-nyata hak sipil menjadi prioritas pembelaan. Fakta ini serta-merta mementahkan argumen pemerintah yang mengatakan APBN jebol tidak terbukti, namun DPR juga melihat dan tidak menafikan APBN akan jebol pada bulan-bulan mendatang?

Keanehan Ketatanegaraan

Semua keputusan politik di negeri ini tidaklah selalu final atau dapat dilaksanakan serta-merta, karena keputusan yang diambil tersebut katanya masih bisa diperdebatkan dan dapat diujimaterikan ke MK. Memang aneh tapi nyata, keadaan ini membuktikan tiadanya sportivitas dan rasa hormat terhadap putusannya sendiri.

Uji materi APBN-P terhadap Pasal 7 ayat 6 dan 6a UU APBN-P ini dapat diprediksi malahan mengandung risiko ketidakpastian hukum, karena apabila uji materi dikabulkan MK, harus kembali pada Pasal 7 ayat 6 yang tidak memperbolehkan adanya kenaikan BBM. Apabila prediksi pemerintah dan ahli ekonomi APBN jebol, akibatnya pemerintah tidak ada pilihan lain kecuali menaikkan harga BBM dan dapat dipastikan akan ada penolakan dahsyat dari elemen masyarakat. Kelihatannya, masyarakat tidak peduli lagi argumen pemerintah, mengingat kelompok antikenaikan telah berhasil meyakinkan masyarakat bahwa ada pelanggaran konstitusi.

Apakah APBN-P Inkonstitusional?

Rencana banyak pihak yang tidak puas akan hasil putusan rapat paripurna DPR dengan mengajukan judicial review tentunya perlu ditanggapi secara arif, mengingat bobot yang diajukan pemohon menjadi perhatian rakyat secara nasional. Argumen yang diajukan pemohon dalam rilis di banyak media dapatlah disimpulkan bahwa UU APBN-P 2012 bertentangan dengan Pasal 33 UUD 45 (negara menjamin bumi air dan sebagainya dikuasai negara) dan Pasal 28 UU Migas tahun 2003 yang sudah dibatalkan MK (melarang pemerintah menyerahkan harga minyak pada harga pasar).

Untuk menyanggah dalil pemohon, tentunya mesti dilihat apakah APBN-P tersebut dapat diujimaterikan ke MK sebelum disahkan presiden dan diundangkan dalam lembaran negara? Menurut mantan ketua MK Prof Jimly Assiddiqie, meskipun dari segi bentuknya naskah RUU itu masih berupa rancangan yang belum disah kan oleh presiden dan karena itu belum mengikat sebagai hukum, materinya sudah final. Kemudian, APBN biasa dituangkan dalam bentuk atau diberi baju hukum dalam bentuk UU. Akan tetapi, dari segi isi dan materinya, APBN itu sebenarnya bukanlah norma hukum yang biasa dikenal dengan pengertian UU. Kemudian, Prof Arifin P Soeria Atmaja berpendapat UU tentang APBN itu biasa disebut sebagai UU dalam arti formal (wet in formele zin), bukan UU dalam material (wet in materiele zin).

Jadi, dapatlah disimpulkan jika tuduhan RUU APBN-P telah melanggar UUD 45 dan Pasal 28 UU Migas adalah tidak berdasar, walaupun dapat diperdebatkan dalam ruang ilmiah. Semestinya, setelah putusan paripurna DPR, perdebatan BBM bukan lagi terletak pada boleh atau tidaknya menaikkan harga BBM, namun perdebatan harus diarahkan pada hal-hal yang pokok. Misalnya, persoalan ada tidaknya kesengajaan dari pemerintah mengajukan asumsi dan analisis-analisis yang keliru sehingga mengakibatkan rakyat harus menanggung kenaikan harga-harga sebelum BBM dinaikkan. Kemudian, yang terpenting pada saat ini, pemerintah tidak bisa lagi sekenanya membawa isu krusial yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar