Ideologi dan
Kekerasan
Ian Buruma, Guru Besar Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di
Bard College, New York; Pengarang Buku Taming
The Gods: Religion and Democracy on Three Continents
SUMBER : KORAN TEMPO, 16 April 2012
Apa yang membuat Mohammed Merah, seorang
remaja muslim Prancis, membunuh tiga anak sekolah dan seorang rabi Yahudi serta
tiga orang tentara, yang dua di antaranya sesama muslim? Apa yang membuat
Anders Breivik menembak mati lebih dari 60 remaja di sebuah perkemahan musim
panas di Norwegia tahun lalu? Pembunuhan-pembunuhan ini begitu luar biasa,
sehingga orang menuntut penjelasan.
Menamakan pembunuh-pembunuh ini
"monster", seperti yang banyak dilakukan orang, tidak menjelaskan
persoalan. Pembunuh-pembunuh ini bukan monster, mereka anak-anak muda. Dan
menamakan mereka orang-orang gila juga tidak menjelaskan persoalan. Jika mereka
secara klinis dinyatakan gila oleh dokter, tidak perlu ada penjelasan lagi.
Dua penjelasan menonjol, dua-duanya
menyangkut persoalan sosio-politik. Satu dikemukakan aktivis muslim Tariq
Ramadan. Ia menyalahkan masyarakat Prancis, khususnya menyalahkan kenyataan
bahwa anak-anak muda dari keluarga muslim di Prancis telah dimarginalkan karena
agama dan warna kulitnya.
Walaupun mereka memiliki paspor Prancis,
warga-warga muslim ini diperlakukan sebagai orang asing yang tidak dikehendaki.
Ketika Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, yang juga merupakan anak seorang
imigran, mengatakan terlalu banyak orang asing yang tinggal di Prancis, ia
makin memojokkan anak-anak muda, seperti Merah. Sekelompok kecil di antara
mereka yang tersisihkan ini, seperti Merah, mungkin akan bereaksi keras dalam
keputusasaan.
Penjelasan lainnya, yang disenangi Sarkozy,
adalah menerima apa yang dikatakan Merah sendiri. Merah menyatakan memprotes
operasi-operasi militer yang dilakukan Prancis di negara-negara muslim dan
membalas dendam pembunuhan anak-anak Palestina. Ia ingin meruntuhkan negara
Prancis sebagai seorang pejuang muslim. Ia terinspirasi oleh Al-Qaidah. Jadi
mengapa tidak percaya saja pada apa yang diucapkannya? Itulah alasan keputusan
yang diambil Sarkozy untuk menangkap warga muslim lainnya yang dicurigai
sebagai muslim ekstremis dan melarang imam-imam tertentu menghadiri konferensi
keagamaan di Prancis.
Mereka yang memandang ekstremisme muslim
sebagai masalah cenderung menyalahkan pembunuh-pembunuh muda, seperti Merah,
sebagai bukti gagalnya integrasi. Mereka dianggap tidak cukup menunjukkan diri
sebagai warga Prancis. Imigran-imigran ini harus dipaksa mengemban bersama
"nilai-nilai Barat".
Meskipun tidak ada yang berargumentasi bahwa
Anders Breivik tidak cukup menunjukkan diri sebagai warga Norwegia, ia juga
bisa diterima sesuai dengan apa yang diucapkannya. Retorika yang dikemukakan
demagog anti-imigran telah meyakinkan Breivik bahwa ia harus membunuh anak-anak
elite sosial demokrat untuk melindungi peradaban Barat atas bahaya
multikulturalisme dan Islam. Pembunuhan yang dilakukannya merupakan akibat
ekstrem pandangan yang berbahaya.
Kedua alasan itu tidak sepenuhnya salah.
Banyak anak muda muslim merasa tidak diterima di negara tempat mereka
dilahirkan, dan bahasa yang ekstrem, baik yang digunakan kelompok islamis
maupun kelompok lawan mereka, ikut menciptakan iklim kekerasan.
Tapi, baik Ramadan maupun Sarkozy terlalu
simplistis dalam penilaian mereka, karena mereka mereduksi
pembunuhan-pembunuhan yang luar biasa ini dalam penjelasan tunggal. Bahkan,
ketika mereka dihadapkan pada penolakan, sebagian besar anak muda muslim itu
tidak menjadi pembunuh massal. Merah adalah anomali yang sangat tidak pantas
dijadikan contoh yang khas dari suatu apa pun, termasuk diskriminasi ras atau
agama.
Merah, yang sama sekali bukan seorang fanatik
agama, beranjak remaja sebagai seorang kriminal cilik yang sama sekali tidak
menunjukkan minat pada agama. Daya tarik ekstremisme islamis mungkin
glorifikasinya pada kekerasan, bukan pada kandungan agama itu sendiri. Merah
menikmati video-video yang menggambarkan kekerasan yang dilakukan kelompok
jihadi. Ia mencoba masuk tentara Prancis dan legiun asing. Tentara menolaknya
karena catatan kriminalnya. Jika Prancis tidak menghendakinya, ia akan ikut
pejuang-pejuang jihadi: apa saja yang memberinya kekuatan dan alasan untuk
memenuhi dorongan kekerasan dalam dirinya.
Banyak anak muda yang tertarik pada fantasi
kekerasan, tapi sedikit sekali di antara mereka yang merasa perlu
mewujudkannya. Ideologi bisa menjadi excuse atau pembenaran, tapi jarang
merupakan sumber utama tindak kekerasan individu. Pembunuhan lebih sering
merupakan bentuk balas dendam pribadi-–pecundang yang ingin meledakkan dunia di
sekelilingnya, karena merasa dihinakan atau ditolak, apakah itu sifatnya
sosial, profesional, atau seksual.
Kadang-kadang pembunuh itu tampaknya tidak
memiliki excuse sama sekali, seperti dalam kasus Eric Harris dan Dylan
Klebold, yang pada 1999 menembak 12 orang sesama siswa dan seorang guru di
suatu sekolah menengah di Columbine, Colorado, Amerika Serikat. Dalam kasus
tersebut, orang menyalahkan video game dan film sadistis yang disaksikan
para pembunuh itu. Namun sebagian penggila jenis hiburan ini sebenarnya tidak
berkeliaran dan membunuhi orang.
Breivik memendam fantasi seorang kesatria
yang berjuang melawan musuh-musuh Barat. Merah berimajinasi sebagai seorang
jihadi. Siapa yang tahu apa yang ada dalam benak pembunuh-pembunuh di Columbine
itu ketika mereka melakukan kekerasan. Tapi alasan mengapa mereka membunuh itu
terletak di dalam diri mereka sendiri, dan tidak bisa dikaitkan terutama dengan
hiburan dan materi-materi lainnya yang mereka konsumsi.
Melarang materi-materi seperti itu, yang jelas
punya daya tarik estetika, tentu tak tepat. Tapi toko-tokoh publik yang
menyerukan kekerasan harus dikutuk. Pidato yang menanamkan kebencian dan
ideologi yang menganjurkan kekerasan bukan tidak irelevan. Tapi terlalu
membesar-besarkannya dalam kasus-kasus seperti yang dilakukan Merah atau Brevik
bisa menyesatkan.
Sensor tidak mungkin menyelesaikan persoalan.
Melarang Mein Kampf–nya Hitler atau melarang peragaan simbol-simbol Nazi
tidak berhasil menghalangi neo-Nazi di Jerman membunuh para imigran. Melarang
pornografi yang menonjolkan kekerasan tidak akan menghentikan pemerkosa dan
pembunuh di sekolah-sekolah menengah. Mencegah demagog menyerang muslim dan
multikulturalisme tidak akan mencegah seorang Anders Breivik baru melakukan
kekerasan serupa di masa depan. Dan melarang imam-imam radikal masuk Prancis
tidak akan mencegah seorang Merah lainnya melakukan kekerasan serupa pula.
Sebenarnya, membandingkan tindak pembunuhan
yang dilakukan Merah dengan pembunuhan yang terjadi pada 11 September 2001, seperti
yang diutarakan Sarkozy, berarti memberikan penghargaan yang terlalu tinggi
kepada pembunuh tersebut. Tidak ada bukti bahwa Merah adalah bagian dari suatu
kelompok yang terorganisasi atau memelopori suatu gerakan revolusi. Menggunakan
kasus Merah untuk membangkitkan ketakutan akan ancaman kelompok islamis
terhadap masyarakat mungkin berarti bagi Sarkozy pada saat bakal dilakukan
pemilihan presiden yang baru di Prancis. Tapi membangkitkan ketakutan jarang
menjadi resep yang baik untuk menghindarkan terjadinya kekerasan lebih lanjut.
Sebaliknya, ia mungkin akan lebih mengobarkan ketakutan itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar