Perempuan
dan Ideologi Familialisme
Siti Muyassarotul Hafidzoh, Wartawan Suara Merdeka di Semarang
SUMBER
: SUARA KARYA, 20 April 2012
Peran kaum perempuan masih berada di pinggir peradaban.
Kisah-kisah dan gerak-geriknya masih dipandang sebelah dalam sejarah peradaban
dunia. Kooptasi kaum lelaki masih begitu tinggi, sehingga gerak perempuan terus
dimonitoring setiap waktu. Melangkah selalu dibatasi ruas tradisi yang salah
kaprah serta doktrin agama yang ditafsir dengan sepihak dan tendensius. Perempuan
akhirnya hanya bisa berkilah dalam setiap geraknya, mencari posisi pinggir, dan
terus terkebiri dalam babakan sosial yang dijalani.
Apa yang terjadi ini merupakan jebakan ideologi familialisme.
Jebakan yang dimaksud menempatkan perempuan hanyalah sebagai istri yang baik
dan ibu yang baik. Sebagai istri yang baik, perempuan harus mengikuti semua
keinginan suami. Perempuan harus bisa berhias diri untuk memberikan pelayanan
yang terbaik bagi suami. Salah sedikit saja dalam berhias, bisa didamprat dan
dihardik suami, kemudian dicap sebagai istri yang tidak baik.
Sebagai ibu yang baik, perempuan harus bisa menghasilkan keturunan
dan mendidiknya dengan sabar. Kalau tidak bisa memberikan keturunan, maka
bukanlah sosok perempuan yang baik. Demikian juga kalau tidak bisa mendidik
anak, maka dikatakan perempuan tidak baik. Kalaupun ada kesalahan yang terjadi
pada diri anak, maka sang ibu dikatakan tidak bisa mendidik dan tidak sabar
melayani keinginan anak. Semua kesalahan selalu ditimpakan kepada ibu.
Jebakan ideologi familialisme menjadikan perempuan harus patuh
tanpa reserve kepada suami. Perkataan dan perintah suami menjadi sabda yang
wajib dijalankan tanpa bantah. Superioritas laki-laki inilah yang mengakibatkan
perempuan harus tunduk berada dalam rumah. Familialisme menjadikan perempuan
hanya bertugas di dalam rumah. Ruang publik di luar rumah menjadi 'rumah haram'
untuk dihinggapi. Karena tugas-tugas dalam negeri rumah sudah menumpuk,
sehingga kiprah di ruang publik sangat terbatas. Perempuan akhirnya meringkuk
tak berdaya dengan jalan hidupnya.
Gerakan feminisme merupakan wujud dekonstruksi atas pola tata
kelola rumah tangga yang kaku. Sekat-sekat yang begitu kuat memaksa kaum
perempuan untuk bertekuk lutut dalam pekerjaan rumah tangga. Proses dekonstruksi
yang terjadi dewasa ini mewujudkan upaya serius kaum perempuan untuk semakin
bisa memaknai ruang publik secara kritis. Kaum perempuan mencoba membaca fakta
publik langsung dengan menekuni dan mengamati secara faktual, bukan dengan kaca
mata kuda yang begitu tebal yang tersedia di balik dinding rumah tangga yang
kaku.
Lily Zakiyah Munir (2008) melihat kuatnya gerakan feminisme telah
mengubah pola hubungan rumah tangga yang tidak kaku, arogan, dan penuh dogma.
Gerak gerakan feminisme dalam tingkat global, lanjut Lily, telah memberlihatkan
kemajuan yang luar biasa, sehingga kaum perempuan selain sukses dalam berumah
tangga, juga sukses dalam berkarir di berbagai ruang publik yang tersedia.
Akses sosial yang begitu besar bisa memberikan daya kreativitas kaum perempuan
untuk mengkaji fakta sosial secara solutif dan proporsional.
Lily juga melihat bahwa dogma familialisme merupakan ideologi
politik yang menginginkan perempuan semakin mengerdil dalam geraknya.
Familialisme diartikan secara sempit, sehingga menjebak perempuan dalam
diskriminasi dan keterbelakangan. Perlu upaya pelurusan atas ideologi
familialisme, sehingga perempuan bisa seimbang dalam menjaga rumah tangga dan
karir sosialnya. Lagi pula, lanjut Lily, tugas menjaga rumah tangga adalah
tugas suami-istri. Kalau kesalahan anak dibebankan kepada ibu saja, itu
merupakan kesalahan besar dari penggalan ideologi familisme.
Sementara Saparinah Sadli (2010) melihat bahwa perjuangan
perempuan untuk setara di ruang publik ternyata tidaklah semudah membalikkan
telapak tangan. Di sana-sini masih banyak cibiran yang meragukan perempuan
mampu setara dengan laki-laki, bahkan tidak sedikit kecaman yang dilamatkan
karena perempuan dinilai melanggar kodrat yang telah dititahkan Tuhan. Akan
tetapi, berbagai cibiran dan kecaman tersebut tidaklah membuat para pejuang
perempuan untuk undur diri dan mengurungkan niat dalam perjuangan. Akan tetapi
berbagai cibiran itu menjadi cambuk yang menggelorakan spirit perjuangan
perempuan untuk terus berjuang tanpa henti. Semakin tegar dan semakin teguh
kaum perempuan untuk mensukseskan sejarah kesetaraannya.
Spirit Kartini
Kartini memberikan spirit perjuangan bagi kaum perempuan untuk
bangkit dan setara di ruang publik. Salah satu spirit perjuangan Kartini yang
menghasilkan etos kesetaraan adalah hadirnya kata kata perempuan, bukan wanita.
Menurut Saparinah, kata perempuan sebagai cara menjelaskan 'jenis
kelamin yang tergolong perempuan' sebagai lawan jenis laki-laki dan karena
bermakna 'yang di-empu-kan'.
Kata wanita, demikian Saparinah, telah memasyarakat, dianggap
lebih halus, dan untuk sebagian orang dianggap lebih romantis. Lebih dari itu,
pemilihan kata perempuan bagi gerakan perempuan adalah simbol melepaskan diri
dari kooptasi oleh negara. Negara saat itu menggunakan kata wanita dan
mendefinisikan peran perempuan sebagai pendamping suami dan ibu rumah tangga.
Perjuangan Kartini menjadi bukti bahwa perjuangan perempuan untuk
keluar dalam jebakan ideologi familialisme begitu kuat. Perjuangan ini bukan
berarti kaum perempuan melawan suami atau tidak taat dengan suami, justru
menjadikan suami semakin ringan, karena tugas publiknya bisa dibantu istri yang
juga kuat dan berpengalaman.
Pelurusan ideologi familialisme sangatlah penting, sehingga
ideologi ini tidak menimbulkan jebakan-jebakan yang tragis di masa depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar