Pemerintahan
Tanpa Budayawan
Daoed Joesoef, Alumnus Universite
Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
SUMBER : KOMPAS, 16 April 2012
Sejak awal pembentukannya bersamaan dengan
proklamasi kemerdekaan nasional 17 Agustus 1945, pemerintah kita tidak tinggal
diam. Mereka terus melangkah ke depan melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan
oleh UUD 45.
Pelaksanaan ini secara keseluruhan dinyatakan
sebagai ”usaha pembangunan guna mengisi kemerdekaan”. Yang sangat spektakuler
adalah pembangunan yang dilakukan pada zaman Orde Baru dan kelihatannya kini
diteruskan oleh beberapa pemerintahan pada era Reformasi.
Namun, efeknya dalam realitas kehidupan
kerakyatan sehari-hari tidak spektakuler. Infrastruktur ekonomi yang dibangun
di sana-sini tidak semeriah rumusan politiko-ekonomi dari kebijakan-kebijakan
pembangunan itu sendiri. Maka timbul aneka gejolak kerakyatan yang tidak jarang
menjurus ke perpecahan keutuhan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah telah keliru melangkah karena orang-orang yang berkesempatan
mengendalikan memang salah pandang sebelum membuat keputusan bergerak ke depan.
Pandangan itu selalu berupa ”Ke mana kita menuju?”.
Ingat
Asal-Usul
Sudah saatnya pandangan diganti dengan ”Dari
mana kita berawal?”. Pandangan awal ini bagai koordinat yang memungkinkan kita
mengetahui adanya penyimpangan, kelalaian, bahkan menyadarkan kita akan adanya
arogansi keilmuan, kehilangan dan erosi nilai kearifan lokal (local wisdom).
Berhubung kita bergerak ke depan tanpa merasa perlu mengetahui dari mana kita
berasal, kita telah melupakan begitu saja makna sejati dari ungkapan
”Tanah-Air”, kemanunggalan Tanah dan Air, suatu ”archipelago”.
Ungkapan itu bukan hendak mengatakan
”pulau-pulau yang dikelilingi air (lautan)”, bukan pula ”Negara Kepulauan”. Ia
adalah ”air (lautan) yang bertaburkan pulau-pulau”. Di Tanah-Air Indonesia,
permukaan air ini jauh lebih luas daripada totalitas permukaan semua pulau yang
termasuk dalam kedaulatannya. Lagi pula, baik air maupun pulau mengandung
kekayaan alam beraneka. Jadi kita adalah ”Negara Maritim” yang kaya raya, sejak
dahulu berbudaya bahari, bukan ”Negara Kepulauan” berbudaya kontinental.
Sikap kemaritiman ini jelas kelihatan pada
sepak terjang Kerajaan Majapahit. Ekonominya berbasis agraris, namun punya
armada dagang dan angkatan laut tangguh, yang berarti menguasai teknikalitas
pembuatan kapal. Demikian pula Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin
Riayatsyah Saidil Mukmil (1588-1604) diangkat seorang laksamana perempuan,
Malahayati. Dia memimpin Angkatan Laut Kerajaan Aceh menumpas armada Portugis
yang ketika itu negara adikuasa. Angkatan Laut Kerajaan Ternate, yang
wilayahnya meliputi Papua, diakui kehebatannya oleh para pelaut Inggris yang
biasa mengarungi Lautan Teduh. Semangat maritim dan budaya bahari, yang dahulu
membuat para penguasa di Nusantara berjaya, dengan sengaja dan sistematik
diredam oleh Belanda ketika berhasil menjajah Indonesia.
Kerajaan Belanda tetap menolak kadet
”inlander” di Akademi Angkatan Lautnya (Den Helder) walaupun Akademi Militer
Angkatan Daratnya (Breda) bersedia menerima. Pelayaran antarpulau (paketvaart) di perairan kita dimonopoli
oleh (maskapai pelayaran KPM) Belanda dan bukan membantu memodernisasi usaha
angkutan laut tradisional penduduk asli.
Ketidakpedulian pada makna sejati dari
ungkapan Tanah-Air mendorong pemerintah kita sekarang menerapkan teknologi
modern pada urusan penerbangan, bukan untuk ”membangkitkan batang terendam” di
lautan. Sampai-sampai sistem pertahanan nasional berfokus pada kekuatan darat,
bukan ketahanan laut. Maka negara sekecil dan semuda Malaysia pun berani
melecehkan kedaulatan NKRI.
Kita pun lalai membangun desa-desa pantai
beserta kehidupan penduduknya, yang sebagai nelayan tetapi tinggal di darat,
berpotensi riil turut menjaga siang dan malam keamanan pantai kita yang
panjangnya konon satu setengah kali garis khatulistiwa. Kita juga meremehkan
pembangunan pulau-pulau terluar di perbatasan nasional, sampai ada yang lepas
atau lenyap karena dikorek untuk memperluas daratan negara-kota Singapura.
Orientasi
Darat dan Jawa
Kini kita sibuk memikirkan realisasi proyek
jembatan Selat Sunda, bukannya membangun pelabuhan-pelabuhan yang layak bagi
pelayaran rakyat antarpulau, termasuk pelabuhan perikanan setaraf Bagan
Siapi-api yang dahulu dibangun Belanda di pesisir timur pulau Sumatera. Di luar
Pulau Jawa jumlah jembatan sungai juga masih minim dan jalan-jalan antarkota
lebih mirip kubangan kerbau.
Berhubung mengabaikan asal-usul, kita bagai
”kacang lupa kulitnya”. Pembangunan nasional, sebagai usaha kolektif mengisi
kemerdekaan, kita reduksi menjadi pembangunan ekonomi ala Barat yang
kemajuannya diukur dengan kenaikan pendapatan (produk nasional bruto, produk
domestik bruto, rata-rata pendapatan per kapita). Padahal Amartya Sen, pemenang
Nobel Ekonomi, menyatakan ”...there is a
paradox at the heart of our lives. Most people want more income and strive for
it. Yet as Western societies have got richer, their people have become no
happier.”
Sedangkan kebahagiaan ini yang menjadi
aspirasi revolusi kemerdekaan 1945. Negara-bangsa Indonesia lahir dari revolusi
tersebut. Bung Hatta yang konsisten berjuang mewujudkan kemerdekaan sejak
mahasiswa, yang berpendidikan formal ekonomi, justru karena mempelajarinya
dengan saksama, tidak mau menggunakan penalaran idiil ilmu yang satu ini dalam
menyatakan ideal kemerdekaan.
Sebaliknya dia mengatakan, ”Kita ingin
membangun satu dunia di mana setiap orang seharusnya bahagia.” Dia kiranya
menyadari bahwa ”kebahagiaan”, happiness, tidak dikenal dalam kamus ilmu ekonomi.
Yang ada adalah ”kemakmuran”, welfare, yang standar ukurannya adalah pendapatan
nasional maupun pribadi.
Dengan mereduksi pembangunan nasional menjadi
hanya pembangunan ekonomi, mesin produksi didikte oleh ”prinsip pasar” dari
ajaran ekonomi, bukan oleh aspirasi rakyat sewaktu berevolusi. Bank Dunia dan
IMF memegang teguh ajaran tersebut sebagai pedoman kerja dan dasar pengambilan
keputusan. Para ekonom- teknokrat pembangunan ekonomi kita juga
merupakan penganut setia kedua lembaga finansial dunia tersebut, seperti
”kerbau dicocok hidung”. Mereka menganggap Bung Hatta sebagai ”ekonom kolot”.
Bila kita berbicara mengenai kebahagiaan,
kita sekaligus bicara tentang manusia. Manusia adalah makhluk pencipta nilai
dan pemberi makna pada nilai. Berhubung sistem nilai yang dihayati per definisi
adalah budaya/kebudayaan, maka manusia adalah fakta fundamental dan primordial
dari budaya/kebudayaan.
Berarti ide tentang kebudayaan menetapkan
supremasi manusia di atas kewargaan
(citizenship).
Maka konstitusi Amerika Serikat mengakui ”the
right to happiness” sebagai salah satu dari ”inalienable human right”.
Revolusi kemerdekaan 1945, termasuk juga
persiapannya tahun 1908 dan 1928, lahir dari wacana kebudayaan yang
dikembangkan oleh kaum terdidik kita dan sebagian besar memperoleh pendidikan
ala Barat. Tanpa berpretensi ”budayawan”, sikap dan sepak terjangnya dalam
memperjuangkan kemerdekaan nasional mencerminkan ide kebudayaan yang
dikembangkan oleh ”Bildung”. Ide khas ini menyimpulkan pertumbuhan dan
finalitas manusia dalam konkretisasi pembentukan keintelektualan, moral,
estetika dan kebebasannya, serta hubungan antara budaya dengan alam serta
kaitan budaya, politik, dan pendidikan.
Mencerahkan
Humanitas
”Bildung” memasyarakat di abad XVIII, di
zaman idealisme Jerman, dikembangkan
oleh pemikir (Schiller, Rousseau), filsuf
(Fichte, Nietzsche), dan pujangga (Goethe). Ia adalah ide kebudayaan yang
mencerahkan humanitas di samping ”Kultur”. Orang Eropa lain mencakup kedua
pengertian budaya itu hanya dalam satu istilah ”culture”. ”Bildung” adalah kata
benda yang berasal dari kata kerja ”bilden”, berarti membentuk, mengembangkan,
mengadabkan. Maka ”Bildung” bermakna pembentukan, perkembangan, peradaban. Ide
tentang kebudayaan di Barat memperoleh bentuk orisinal dengan sebutan ”Bildung”
ini.
Menyadari bahwa pembangunan harus ada demi
penyempurnaan ”revolusi yang belum selesai”, Bung Karno membentuk lembaga
”Badan Perencanaan Pembangunan Nasional” (Bappenas). Badan ini masih ada, namun
fungsinya sekarang direduksi menjadi ”pembangunan ekonomi”, yang dikonsepkan
”Harvard Group” bersama-sama Bank Dunia dan IMF dan diadopsi dengan setia oleh
ekonom-teknokrat kita hingga sekarang.
Hasilnya, lihat saja. Pemerintah kita tetap
terbuai karena terus disanjung negara-negara industrial kapitalis maju, enggan
mengikutsertakan budayawan, dan tidak mau tahu dengan bahaya laten yang
mengancam dari berbagai sudut. Bahaya ini berupa krisis negara-bangsa, meliputi
krisis negara dan krisis bangsa, krisis hubungan antara negara dan bangsa
dengan negara-bangsa itu sendiri. Dengan sinis orang menyoal kembali makna dari
”bangsa”, ”negara”, ”negara-bangsa”, ”Bhinneka Tunggal Ika”, ”Pancasila”.
Sudah saatnya kita mewujudkan pembangunan
nasional dengan pendekatan budaya. Berarti budayawan perlu diperhitungkan dalam
pemerintahan. Budayawan sudah terbiasa menyatukan ”nalar” dan ”hati”, seperti
yang pernah diingatkan oleh filsuf-matematikus Pascal, ”le coeur a ses raisons que la raison ne peut pas expliquer” - the heart has its reasons when reason cannot
explain, hati punya penalaran sendiri ketika nalar tidak bisa menjelaskan.
Sedalam-dalam samudra, lebih dalam hati budayawan, setinggi-tinggi gunung,
lebih tinggi pikiran budayawan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar