Senin, 16 April 2012

Pemerintahan Tanpa Budayawan


Pemerintahan Tanpa Budayawan
Daoed Joesoef, Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
SUMBER : KOMPAS, 16 April 2012


Sejak awal pembentukannya bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan nasional 17 Agustus 1945, pemerintah kita tidak tinggal diam. Mereka terus melangkah ke depan melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan oleh UUD 45.

Pelaksanaan ini secara keseluruhan dinyatakan sebagai ”usaha pembangunan guna mengisi kemerdekaan”. Yang sangat spektakuler adalah pembangunan yang dilakukan pada zaman Orde Baru dan kelihatannya kini diteruskan oleh beberapa pemerintahan pada era Reformasi.

Namun, efeknya dalam realitas kehidupan kerakyatan sehari-hari tidak spektakuler. Infrastruktur ekonomi yang dibangun di sana-sini tidak semeriah rumusan politiko-ekonomi dari kebijakan-kebijakan pembangunan itu sendiri. Maka timbul aneka gejolak kerakyatan yang tidak jarang menjurus ke perpecahan keutuhan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah telah keliru melangkah karena orang-orang yang berkesempatan mengendalikan memang salah pandang sebelum membuat keputusan bergerak ke depan. Pandangan itu selalu berupa ”Ke mana kita menuju?”.

Ingat Asal-Usul

Sudah saatnya pandangan diganti dengan ”Dari mana kita berawal?”. Pandangan awal ini bagai koordinat yang memungkinkan kita mengetahui adanya penyimpangan, kelalaian, bahkan menyadarkan kita akan adanya arogansi keilmuan, kehilangan dan erosi nilai kearifan lokal (local wisdom). Berhubung kita bergerak ke depan tanpa merasa perlu mengetahui dari mana kita berasal, kita telah melupakan begitu saja makna sejati dari ungkapan ”Tanah-Air”, kemanunggalan Tanah dan Air, suatu ”archipelago”.

Ungkapan itu bukan hendak mengatakan ”pulau-pulau yang dikelilingi air (lautan)”, bukan pula ”Negara Kepulauan”. Ia adalah ”air (lautan) yang bertaburkan pulau-pulau”. Di Tanah-Air Indonesia, permukaan air ini jauh lebih luas daripada totalitas permukaan semua pulau yang termasuk dalam kedaulatannya. Lagi pula, baik air maupun pulau mengandung kekayaan alam beraneka. Jadi kita adalah ”Negara Maritim” yang kaya raya, sejak dahulu berbudaya bahari, bukan ”Negara Kepulauan” berbudaya kontinental.

Sikap kemaritiman ini jelas kelihatan pada sepak terjang Kerajaan Majapahit. Ekonominya berbasis agraris, namun punya armada dagang dan angkatan laut tangguh, yang berarti menguasai teknikalitas pembuatan kapal. Demikian pula Aceh. Pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayatsyah Saidil Mukmil (1588-1604) diangkat seorang laksamana perempuan, Malahayati. Dia memimpin Angkatan Laut Kerajaan Aceh menumpas armada Portugis yang ketika itu negara adikuasa. Angkatan Laut Kerajaan Ternate, yang wilayahnya meliputi Papua, diakui kehebatannya oleh para pelaut Inggris yang biasa mengarungi Lautan Teduh. Semangat maritim dan budaya bahari, yang dahulu membuat para penguasa di Nusantara berjaya, dengan sengaja dan sistematik diredam oleh Belanda ketika berhasil menjajah Indonesia.

Kerajaan Belanda tetap menolak kadet ”inlander” di Akademi Angkatan Lautnya (Den Helder) walaupun Akademi Militer Angkatan Daratnya (Breda) bersedia menerima. Pelayaran antarpulau (paketvaart) di perairan kita dimonopoli oleh (maskapai pelayaran KPM) Belanda dan bukan membantu memodernisasi usaha angkutan laut tradisional penduduk asli.

Ketidakpedulian pada makna sejati dari ungkapan Tanah-Air mendorong pemerintah kita sekarang menerapkan teknologi modern pada urusan penerbangan, bukan untuk ”membangkitkan batang terendam” di lautan. Sampai-sampai sistem pertahanan nasional berfokus pada kekuatan darat, bukan ketahanan laut. Maka negara sekecil dan semuda Malaysia pun berani melecehkan kedaulatan NKRI.

Kita pun lalai membangun desa-desa pantai beserta kehidupan penduduknya, yang sebagai nelayan tetapi tinggal di darat, berpotensi riil turut menjaga siang dan malam keamanan pantai kita yang panjangnya konon satu setengah kali garis khatulistiwa. Kita juga meremehkan pembangunan pulau-pulau terluar di perbatasan nasional, sampai ada yang lepas atau lenyap karena dikorek untuk memperluas daratan negara-kota Singapura.

Orientasi Darat dan Jawa

Kini kita sibuk memikirkan realisasi proyek jembatan Selat Sunda, bukannya membangun pelabuhan-pelabuhan yang layak bagi pelayaran rakyat antarpulau, termasuk pelabuhan perikanan setaraf Bagan Siapi-api yang dahulu dibangun Belanda di pesisir timur pulau Sumatera. Di luar Pulau Jawa jumlah jembatan sungai juga masih minim dan jalan-jalan antarkota lebih mirip kubangan kerbau.

Berhubung mengabaikan asal-usul, kita bagai ”kacang lupa kulitnya”. Pembangunan nasional, sebagai usaha kolektif mengisi kemerdekaan, kita reduksi menjadi pembangunan ekonomi ala Barat yang kemajuannya diukur dengan kenaikan pendapatan (produk nasional bruto, produk domestik bruto, rata-rata pendapatan per kapita). Padahal Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi, menyatakan ”...there is a paradox at the heart of our lives. Most people want more income and strive for it. Yet as Western societies have got richer, their people have become no happier.

Sedangkan kebahagiaan ini yang menjadi aspirasi revolusi kemerdekaan 1945. Negara-bangsa Indonesia lahir dari revolusi tersebut. Bung Hatta yang konsisten berjuang mewujudkan kemerdekaan sejak mahasiswa, yang berpendidikan formal ekonomi, justru karena mempelajarinya dengan saksama, tidak mau menggunakan penalaran idiil ilmu yang satu ini dalam menyatakan ideal kemerdekaan.

Sebaliknya dia mengatakan, ”Kita ingin membangun satu dunia di mana setiap orang seharusnya bahagia.” Dia kiranya menyadari bahwa ”kebahagiaan”, happiness, tidak dikenal dalam kamus ilmu ekonomi. Yang ada adalah ”kemakmuran”, welfare, yang standar ukurannya adalah pendapatan nasional maupun pribadi.

Dengan mereduksi pembangunan nasional menjadi hanya pembangunan ekonomi, mesin produksi didikte oleh ”prinsip pasar” dari ajaran ekonomi, bukan oleh aspirasi rakyat sewaktu berevolusi. Bank Dunia dan IMF memegang teguh ajaran tersebut sebagai pedoman kerja dan dasar pengambilan keputusan. Para ekonom- teknokrat pembangunan ekonomi kita juga merupakan penganut setia kedua lembaga finansial dunia tersebut, seperti ”kerbau dicocok hidung”. Mereka menganggap Bung Hatta sebagai ”ekonom kolot”.

Bila kita berbicara mengenai kebahagiaan, kita sekaligus bicara tentang manusia. Manusia adalah makhluk pencipta nilai dan pemberi makna pada nilai. Berhubung sistem nilai yang dihayati per definisi adalah budaya/kebudayaan, maka manusia adalah fakta fundamental dan primordial dari budaya/kebudayaan.

Berarti ide tentang kebudayaan menetapkan supremasi manusia di atas kewargaan 
(citizenship). Maka konstitusi Amerika Serikat mengakui ”the right to happiness” sebagai salah satu dari ”inalienable human right”.

Revolusi kemerdekaan 1945, termasuk juga persiapannya tahun 1908 dan 1928, lahir dari wacana kebudayaan yang dikembangkan oleh kaum terdidik kita dan sebagian besar memperoleh pendidikan ala Barat. Tanpa berpretensi ”budayawan”, sikap dan sepak terjangnya dalam memperjuangkan kemerdekaan nasional mencerminkan ide kebudayaan yang dikembangkan oleh ”Bildung”. Ide khas ini menyimpulkan pertumbuhan dan finalitas manusia dalam konkretisasi pembentukan keintelektualan, moral, estetika dan kebebasannya, serta hubungan antara budaya dengan alam serta kaitan budaya, politik, dan pendidikan.

Mencerahkan Humanitas

”Bildung” memasyarakat di abad XVIII, di zaman idealisme Jerman, dikembangkan 
oleh pemikir (Schiller, Rousseau), filsuf (Fichte, Nietzsche), dan pujangga (Goethe). Ia adalah ide kebudayaan yang mencerahkan humanitas di samping ”Kultur”. Orang Eropa lain mencakup kedua pengertian budaya itu hanya dalam satu istilah ”culture”. ”Bildung” adalah kata benda yang berasal dari kata kerja ”bilden”, berarti membentuk, mengembangkan, mengadabkan. Maka ”Bildung” bermakna pembentukan, perkembangan, peradaban. Ide tentang kebudayaan di Barat memperoleh bentuk orisinal dengan sebutan ”Bildung” ini.

Menyadari bahwa pembangunan harus ada demi penyempurnaan ”revolusi yang belum selesai”, Bung Karno membentuk lembaga ”Badan Perencanaan Pembangunan Nasional” (Bappenas). Badan ini masih ada, namun fungsinya sekarang direduksi menjadi ”pembangunan ekonomi”, yang dikonsepkan ”Harvard Group” bersama-sama Bank Dunia dan IMF dan diadopsi dengan setia oleh ekonom-teknokrat kita hingga sekarang.

Hasilnya, lihat saja. Pemerintah kita tetap terbuai karena terus disanjung negara-negara industrial kapitalis maju, enggan mengikutsertakan budayawan, dan tidak mau tahu dengan bahaya laten yang mengancam dari berbagai sudut. Bahaya ini berupa krisis negara-bangsa, meliputi krisis negara dan krisis bangsa, krisis hubungan antara negara dan bangsa dengan negara-bangsa itu sendiri. Dengan sinis orang menyoal kembali makna dari ”bangsa”, ”negara”, ”negara-bangsa”, ”Bhinneka Tunggal Ika”, ”Pancasila”.

Sudah saatnya kita mewujudkan pembangunan nasional dengan pendekatan budaya. Berarti budayawan perlu diperhitungkan dalam pemerintahan. Budayawan sudah terbiasa menyatukan ”nalar” dan ”hati”, seperti yang pernah diingatkan oleh filsuf-matematikus Pascal, ”le coeur a ses raisons que la raison ne peut pas expliquer” - the heart has its reasons when reason cannot explain, hati punya penalaran sendiri ketika nalar tidak bisa menjelaskan. Sedalam-dalam samudra, lebih dalam hati budayawan, setinggi-tinggi gunung, lebih tinggi pikiran budayawan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar