Jumat, 06 April 2012

Paskah dan Korupsi Orang Beragama


Paskah dan Korupsi Orang Beragama
Amanda Adiwijaya, Pendeta di Surabaya
SUMBER : JAWA POS, 06 April 2012



MERENUNGKAN kian maraknya praktik korupsi di negeri yang 99 persen warganya mengaku beragama ini kadang memunculkan rasa heran. Heran mengapa korupsi tetap dilakukan, sementara aktivitas keagamaan justru menunjukkan tanda-tanda kesemarakan atau bahkan kebangkitan?

Yang lebih mengherankan, ketika ada seorang tersangka korupsi ditetapkan KPK, si tersangka kadang suka mengenakan atribut agama. Malah kadang dia menyampaikan apologi dengan menyebut nama Sang Pencipta, seolah tuduhan korupsi untuk dirinya salah alamat.

Mungkin akan selalu terdengar apologi atau pembelaan bernada religius tiap kali ada yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Malah, guna mengundang simpati publik, koruptor pun suka berteriak lantang menantang korupsi di depan publik sambil mengutip ayat-ayat kitab suci dan memberikan kesan begitu religius. Atau bila perlu, sumpah pun kadang diucapkan.

Terkait dengan sumpah, kita mungkin masih ingat pernyataan Anas Urbaningrum baru-baru ini: Gantung Anas di Monas kalau terbukti korupsi dalam kasus Hambalang. Sedangkan Nazaruddin, mantan sahabat Anas yang kini jadi tersangka kasus wisma atlet, justru menantang Anas untuk sumpah pocong bersama.

Menarik sekali mencermati fenomena sumpah itu. Sumpah dijadikan "modus operandi" untuk memastikan sebuah kebenaran yang masih diselimuti kabut. Sumpah juga dimanfaatkan untuk menarik kepercayaan publik, mengingat nama Tuhan disebut. Memang sumpah selalu demi Tuhan, tak mungkin demi setan. Apalagi, menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata sumpah punya maknaƂ ikrar yang disampaikan dengan sungguh-sungguh; pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi atas nama Tuhan.

Melawan Keadilan

Bila sumpah tampak tidak mempan, para koruptor malah melakukan upaya langsung mencoba "menyuap" Tuhan, sebagaimana dikatakan Gus Mus, panggilan KH Mustofa Bisri, dari Rembang. Mereka melakukannya dengan membangun tempat ibadah; menyantuni anak yatim; pergi haji; atau pergi ke Israel, tempat kelahiran Yesus; dan sebagainya. Dengan melakukan money laundering semacam itu, para koruptor merasa yakin mendapatkan ampunan dari Tuhan.

Maka, korupsi pun kian marak di tengah kesemarakan hidup ritual keagamaan. Itu berarti ritual keagamaan tidak menghasilkan buah perubahan hidup secara konkret. Rutin beribadah yes, tapi korupsi jalan terus. Itu namaya hipokrisi atau kemunafikan. Almarhum Mochtar Lubis, wartawan sekaligus budayawan, pernah menulis, "Kemunafikan mengisi rongga kepala, hati, jiwa, dan seluruh tubuh kita. Dalam hati kita tidak setuju, tetapi kita mengatakan setuju. Dalam hati kita mengutuk korupsi, tetapi kita berbuat korupsi (karena yang memberi dan menerima sama-sama melakukan korupsi). Dalam hati kita mengutuk penyalahgunaan kekuasaan, tetapi kita menyalahgunakan kekuasaan (Pembebasan Budaya-Budaya Kita, Gramedia, 1999, halaman 14)."

Almarhum Romo Mangunwijaya juga pernah mengungkapkan bahwa dunia birokrasi kita memang sudah digenangi dan dirembesi jiwa korup, mental maling, bohong, main tipu, suka yang semu, "urik", dan tidak kenal fair play (1997:4).

Sungguh menusuk nurani manakala kita membincangkan kaitan antara Tuhan, agama, dan maraknya korupsi di negeri ini. Padahal, ajaran agama apa pun mengajarkan mencuri itu dilarang. Korupsi termasuk kategori tindakan mencuri karena mengambil apa yang bukan haknya. Dengan uang negara atau perusahaan yang terus dirampok dan masuk kantong pribadi, kesempatan menjadi hilang bagi anak-anak miskin yang menderita gizi buruk untuk mendapatkan asupan gizi cukup. Akibat dirampok koruptor, banyak anak miskin tidak bisa masuk sekolah dan perguruan tinggi yang biayanya kian mahal.

Di atas semua, tindak korupsi sebenarnya amat bertentangan dengan prinsip keadilan. Dalam Injil atau Alquran banyak ayat yang menunjukkan betapa pentingnya berbuat adil. Tak heran, Gustavo Gutierrez, Bapak Teologi Pembebasan, mengatakan bahwa beragama itu menjalankan keadilan.

Agama Hulu, Hukum Hilir

Kebetulan tema Paskah bersama KWI dan PGI 2012 adalah Kebangkitan-Nya Menyingkapkan Integritas Allah dalam Wajah Kemanusiaan: Gereja Melawan Korupsi (berdasar Efesus 5:8-11).

Seperti kita ketahui, pada 200 tahun silam Yesus juga menghadapi kondisi yang tidak jauh berbeda. Banyak orang kecil yang dipinggirkan, sementara juga banyak penguasa dan pejabat agama (Yahudi) yang korup. Yesus melancarkan kritiknya dengan teramat pedas atas perilaku mereka. Saking memerahkan telinga dan terus membuat marah, Yesus pun dibungkan. Dengan sebuah konspirasi, Yesus akhirnya diadili dan dihukum mati lewat disalibkan.

Tapi, justru dalam perspektif iman Kristen, kematian itu dipakai Allah sebagai sarana penyelamatan manusia dari dosa. Apalagi, Yesus tidak selamanya mati. Namun, sesudah tiga hari, Dia dibangkitkan sebagai pemenang atas dosa dan kematian.

Karena itu, KWI dan PGI mengajak setiap umat kristiani -lewat rahmat Paskah yang dihasilkan kematian dan kebangkitan Yesus- berani bangkit untuk melawan korupsi. Gereja mengajak umatnya untuk tidak menjadi bagian dari permasalahan korupsi, tapi justru menjadi solusi atas masalah pelik itu agar ke depan negeri ini bisa lebih adil dan sejahtera.

Namun, kita perlu ingat, tiap kali mengaitkan agama dan korupsi, jangan berpretensi mengutamakan pendekatan agama, lalu menggeser peran hukum positif (regulasi kita). Semoga Paskah bisa menjadi momentum untuk terus tanpa lelah melawan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar