Jumat, 06 April 2012

Kapitalisme dan Penyaliban Kaum Lemah


Kapitalisme dan Penyaliban Kaum Lemah
Tom Saptaatmaja, Teolog
SUMBER : SINDO, 06 April 2012



Hanya kesediaan untuk menderita bersama orangorang yang menderita dapat mengalahkan penderitaan di dunia.”(J Moltman) Meski peristiwa penyaliban Yesus Kristus sudah berlangsung dua milenium lampau, menurut para tokoh Gereja seperti Agustinus atau Thomas Aquinas, peristiwa penyaliban Yesus sebenarnya terus selalu terulang di berbagai belahan bumi.

Bentuknya adalah ketika kaum lemah tidak bisa berbuat apa-apa melawan hegemoni sistem yang kuat. Dalam konteks kekinian terlihat benar benang merahnya dalam kapitalisme. Seperti diketahui, salah satu sistem atau ideologi yang masih eksis dan berpengaruh dewasa ini adalah kapitalisme. Kapitalisme (dari kata kapital atau modal) adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.

Dengan tokoh Adam Smith yang dianggap sebagai bapak, kapitalisme percaya kekayaan, kesejahteraan, dan kemakmuran dalam masyarakat akan terjadi jika dunia usaha atau kegiatan produksi diserahkan kepada para pemilik modal. Meski seiring krisis keuangan di Amerika dan Eropa bahwa kapitalisme diprediksi akan tumbang, dari sejarah terbukti kapitalisme memiliki kekebalan yang luar biasa untuk menyesuaikan diri, berubah, berkamuflase dalam berbagai bentuk atau aliran, dan akhirnya tetap eksis.

Perlawanan

Baru-baru ini kapitalisme, khususnya mendapat perlawanan dari kelompok yang menamakan diri Occupy Wall Street (OWS).Gerakan ini pada intinya menolak dan mengecam kebijakan Wall Street yang hanya menguntungkan segelintir pemilik modal, tapi mengabaikan kepentingan banyak manusia lain. Di Amerika Serikat (AS), kebanyakan demonstran, baik di New York maupun Washington, berasal dari keluarga yang rumahnya disita karena tidak mampu lagi membayar cicilan kredit dari bank.

OWS juga menentang ketidakadilan dan ketamakan kaum kapitalis karena 1% jumlah orang terkaya AS menguasai 99% atau hampir seluruh AS. Ketidakadilan dan ketamakan itu bisa kita lihat dari derita sekitar 14 juta penganggur yang baru-baru ini berunjuk rasa di Times Square New York (Wall Street).Beban berat kehidupan yang harus mereka tanggung tampak dalam poster yang mereka usung dan berbunyi: “Them belly full, we are hungry” (Perut mereka kekenyangan, perut kami keroncongan), yang mungkin juga terinspirasi dari lagu tersohor kreasi Bob Marley.

Potret ketidakadilan, ketamakan, kekenyangan, atau kelaparan akibat sistem kapitalisme itu sesungguhnya juga terjadi di negeri kita hari-hari ini.Meski jumlah orang miskin dikabarkan semakin berkurang, ada jutaan wong cilik yang setiap hari harus menjerit akibat beban hidup yang kian mencekik leher. Mereka tak punya cukup uang untuk membeli pangan, sandang, perumahan, atau pendidikan. Konyolnya, di tengah kondisi seperti ini setiap hari para politisi, pejabat publik,wakil rakyat,atau aparat hukum masih doyan terus untuk melakukan korupsi atau pamer kekayaan.

Yang menyedihkan, para pemimpin dan pengambil kebijakan sudah “dicuci otaknya” untuk terus menerapkan sistem kapitalisme di negeri ini (meminjam istilah Kwik Kian Gie).Meski sistem ekonomi kita berpegang pada Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 33, ada yang menyebut sesungguhnya sistem kapitalisme juga yang dianut di negeri ini. Lewat berbagai produk regulasi yang pro pada investasi asing,diam-diam segenap sumber daya alam dan kekayaan asing telah berpindah tangan pada investor asing. Semisal sekitar 80% sumber daya air kita ternyata sudah dikuasai asing. Itu baru air, belum berbagai kekayaan tambang lainnya.

Ribut-ribut soal bahan bakar minyak (BBM), sesungguhnya juga ada permainan para kapitalis minyak yang memberi tekanan pada pemerintah kita sehingga kemudian pemerintah ganti menekan rakyatnya (Baca Opini: “Publik & Kapitalisme Minyak” oleh Radhar Panca Dahana, SINDO, 26/3). Meski baru ada rencana kenaikan BBM, gaung dari rencana itu telah menyalibkan banyak wong cilik seperti kaum buruh, sopir angkot, nelayan, dan petani. Rencana kenaikan itu telah mendongkrak kenaikan sejumlah harga kebutuhan pokok.Tak heran bila hari-hari ini wong cilik merasakan beban hidup semakin berat.Wong cilik sesungguhnya menjadi korban dari kapitalisme.

Gereja dan Yesus

Jauh sebelum munculnya gerakan OWS pada Juli 2011, Gereja Katolik sejak lama selalu menentang sistem kapitalisme. Ideologi ini patut dilawan karena sistem ini lebih menomorsatukan uang daripada orang. Martabat luhur manusia tidak boleh dinomorduakan atau dipinggirkan hanya demi alasan meraih profit atau penumpukan modal.

Investasi tidak boleh dijadikan ajang dehumanisasi. Dalam berbagai kesempatan, para paus juga lantang menentang ketamakan kaum kapitalis. Misalnya pada 1987 mendiang Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan ensiklik ”Sollicitudoi Rei Socialis” yang mengecam investasi atau pembangunan yang mengeksploitasi dan menyengsarakan orangorang kecil. Pada 2000 tahun silam Yesus memang selalu memiliki keberpihakan pada orang-orang kecil. Namun, Yesus juga tidak pernah lelah mengecam dan mengkritik para penguasa, pengusaha, dan agamawan Yahudi, yang membuat orangorang kecil makin tertindas dan menderita.

Jose Cardenas mencermati seluruh karya Yesus di depan umum, dari awal hingga akhir seolah didominasi oleh perdebatan dan konfrontasi dengan penguasa dan agamawan Yahudi (Mk 2: 1–12, 12: 36–40).Yesus adalah oposan utama pada penguasa zaman itu. Akhirnya kritikan atau kecaman itu telah membuat Yesus dicap sebagai tokoh subversif hingga akhirnya berbuah pada hukuman mati di salib. Tapi,Yesus tidak takut mati. Takut mati demi menyelamatkan nyawa sendiri adalah tindakan egois.

Orang menjadi takut berkorban dan takut berbagi dengan sesama. Menurut J Moltman, salib Yesus mengandung paradoks belas kasih dengan penderitaan. Belas kasih menyingkirkan penderitaan dengan menderita bersama dan demi orang-orang yang menderita (J Moltman, Die Gekuisigde Gott, dalam N.G.Teologiese Tydskrif,1973). Jadi Yesus sudah memberi teladan dengan memikul beban orang-orang kecil dan bebanNya sendiri sehingga total bebanNya menjadi sangat berat. Tetapi, Dia tidak menghindari salib. Dia menerima dan memanggulnya dengan rela. Lagi pula Dia sekarang mendampingi mereka yang merasa tertekan oleh beragam penderitaan.

Yesus tetap mendampingi mereka sampai titik akhir. Bagi semua orang dan bersama semua orang, Dia memikul salib ke Kalvari dan di sanalah Dia dipaku pada salib bagi kita semua. Dia mengalami kematian seorang penjahat, kematian paling hina yang dikenal orang sepanjang zaman. Itulah sebabnya, kepada orang-orang di zaman kita yang memikul beban berat akibat berbagai macam penderitaan Dia berpesan: ”Datanglah kepadaku. Aku adalah saudaramu dalam penderitaan. Tidak ada penghinaan dan kepahitan yang tidak Aku kenal.” (Khotbah mendiang Paus Yohanes Paulus II di Aqueduct Racetrack, 1995).
Nah,Yesus saja sudah menunjukkan contoh mau solider dengan orang-orang menderita. Setiap muridNya juga seharusnya berbuat seperti Dia, sebagaimana kalimat J Moltman di awal tulisan ini. Merenungkan derita Yesus di salib boleh jadi bisa membuat air mata kita menetes haru, apalagi jika disertai lagu-lagu merdu menyayat hati di dalam gereja.

Tetapi, Yesus tentu tidak sekadar meminta rasa haru seperti itu. Yesus berharap sistem atau struktur tidak adil di mana pun harus dilawan dan tidak bisa ditoleransi sama sekali karena hanya akan terus mengorbankan orang-orang kecil. Salib adalah bukti cinta Tuhan pada yang kecil dan tersingkir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar