Jumat, 06 April 2012

Kepada Presiden Yang dari Pesisir


Kepada Presiden Yang dari Pesisir
Oki Lukito, Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan,
Pelaku Usaha Budi Daya Laut, dan Petambak
SUMBER : JAWA POS, 06 April 2012



INI kado muram Hari Nelayan Nasional pada 6 April. Karena isu kenaikan BBM yang digulirkan pemerintah sejak sebulan lalu, masyarakat pesisir di sejumlah daerah dan nelayan di pulau-pulau kecil harus ikut menanggung derita. Harga solar dan bensin meroket di atas Rp 7 ribu per liter. Bahkan, di Kepulauan Sumenep harganya menyentuh Rp 16 ribu per liter. Kelangkaan BBM juga terjadi di sejumlah daerah pesisir lainnya. Harga sembilan bahan pokok, termasuk elpiji, melambung 25-30 persen.

Nakhoda "kapal" Republik Indonesia pilihan rakyat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak sempat meminta maaf atas keresahan masyarakat pesisir setelah mengamati sidang paripurna DPR yang merevisi Undang-Undang Migas.

Kita patut mengapresiasi kejujuran SBY bahwa dirinya menaikkan BBM tiga kali dan menurunkannya tiga kali pula selama menjabat presiden. Penghapusan harga subsidi minyak tanah yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat miskin sangat menyakiti perasaan nelayan. Untuk menyiasati mahalnya solar dan bensin, nelayan terpaksa mencampur minyak tanah dengan oli untuk dipergunakan agar mesin kapal irit dan ekonomis (irek).

Minyak tanah sangat dibutuhkan keluarga nelayan di rumah maupun di atas perahu untuk menanak nasi, merebus air, dan menggoreng ikan hasil tangkapan. SBY yang lahir di kota pesisir Pacitan, Jawa Timur, tentu lebih paham betapa susahnya hidup keluarga nelayan, apalagi tanpa minyak tanah. Nelayan tradisional Pacitan menggunakan biduk bercadik, menerjang Samudera Indonesia, dan setiap hari bertaruh nyawa demi menghidupi keluarga. Bedanya, dulu ikan masih mudah ditangkap di tepi Pantai Teluk Teleng, tidak jauh dari tempat SBY dilahirkan.

Naik tidaknya harga BBM tetap akan menyulitkan kehidupan nelayan yang dimainkan gelombang di laut dan menjadi bulan-bulanan tengkulak di darat. Banyak program pemerintah diklaim menyejahterakan nelayan. Misalnya, pengadaan seribu kapal hibah dan program konversi BBM ke bahan bakar gas. Tetapi, program tersebut ibarat jauh layar dari tiang. Simak pengadaan kapal nelayan 30 GT seharga Rp 1,5 miliar per unit. Menurut kalkulasi di atas kertas, setiap kapal dengan jaring purse seine atau payang dalam satu trip (tujuh hari) diyakini mampu menghasilkan 4 ton ikan.

Kapal dengan marine engine 173 PK menghabiskan Rp 40-60 juta. Hasilnya bisa mencapai Rp 80 juta. Kelompok nelayan kurang mampu harus menggandeng mitra yang bersedia untuk memodali usaha melaut. Sistem keuntungannya pun diterapkan bagi hasil dengan pemilik modal. Sisanya dibagi dengan anak buah kapal (ABK). Jika hasil tangkapan tidak mampu menutup biaya operasional, hal itu dikhawatirkan menjadi beban kelompok. Ironis jika pada akhirnya kapal disita pemilik modal karena akumulasi utang kelompok yang tidak mampu memenuhi kesepakatan kuota hasil tangkapan.

Bagi kelompok nelayan mandiri, modal melaut tidak menjadi masalah. Hasil tangkapan dibagi dengan 25 anggota kelompok yang merangkap ABK. Rata-rata setiap nelayan memperoleh Rp 32-50 ribu per hari plus bonus jika mendapat ikan lebih dari yang ditargetkan. Sayang, pengadaan kapal bantuan untuk nelayan tidak diimbangi dengan terjaganya sumber daya ikan (SDI). Degradasi SDI terbukti mengakibatkan banyak kapal tuna lebih memilih parkir daripada melaut. Sebagai ilustrasi, 15 tahun lalu, hook rate kapal long line dengan seratus mata pancing memperoleh lima ikan tuna. Saat ini per seribu mata pancing dengan umpan tiruan (rapalan) atau umpan ikan bandeng hanya menangkap tiga tuna seberat 50-70 kg per ekor seharga Rp 30-35 ribu per kilogram.

Dua tahun lalu pemerintah mencanangkan penggunaan gas sebagai pengganti solar dan bensin untuk perahu nelayan tradisional. Di Pelabuhan Lekok, Kabupaten Pasuruan, misalnya, 250 tabung yang berisi compressed natural gas (CNG) dibagikan kepada nelayan tradisional. Asumsinya, itu mampu menghemat 10-16 persen biaya operasi. Ternyata, tabung gas hanya menjadi pajangan di rumah nelayan. Sebagian di antaranya terpaksa dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain tidak mempunyai stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG), pasokan gas tidak dikirim secara rutin dan akhirnya terhenti sama sekali dengan berbagai alasan. Nelayan kembali melaut dengan solar atau bensin di tengah cuaca ekstrem. Hasil tangkapan pun tidak pasti.

Birokrasi, ternyata, juga ikut mempersulit nelayan dalam hal perizinan. Sangat disesalkan jika terjadi dualisme dan diskriminasi dalam pengurusan izin kapal. Berbelitnya prosedur perizinan cenderung memperlakukan nelayan sebagai sapi perahan. Administrator pelabuhan di bawah Kementerian Perhubungan mewajibkan kapal nelayan memiliki surat ukur kapal, pas tahunan, sertifikat kelaikan, dan pengawakan. Tetapi, tidak semua lokasi tempat pendaratan ikan dilengkapi fasilitas tersebut. Akibatnya, nelayan dan kapalnya harus menempuh ratusan kilometer dengan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkan sertifikat laik laut.

Biaya itu belum termasuk ongkos administrasi pengurusan di luar ketentuan yang mencapai puluhan kali lipat. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga mewajibkan perahu nelayan mengantongi surat izin usaha perikanan (SIUP), surat izin penangkapan ikan (SIPI), dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI) agar kapal tidak ditangkap saat melaut karena dianggap ilegal.

Kebijakan pemerintah yang setengah hati memihak masyarakat pesisir menjadi salah satu faktor terpuruknya budaya bahari. Nelayan diteror isu kenaikan BBM, harga sembako, pencemaran laut, konflik, perusakan ekosistem pesisir, serta semakin maraknya illegal fishing. Perlahan, tetapi pasti, kondisi itu menggerus kehidupan nelayan yang setia menekuni kearifan budaya bahari. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar