Pasal Inkonstitusional BBM
Gugun El Guyanie, Peneliti dari Pusat Kajian Konstitusi (PKK)
Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
SUMBER : SUARA MERDEKA, 04 April 2012
SERIKAT Pengacara Rakyat (SPR) resmi
mendaftarkan permohonan uji materi Pasal 7 Ayat (6) a UU APBN-P 2012 ke
Mahmakah Konstitusi. Berkas permohonannya mendapat nomor registrasi Nomor
487/PAN.MK/ IV/2012. Mereka beranggapan regulasi itu, khususnya pasal dan ayat
yang isinya memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga
bahan bakar minyak (BBM) jika nilai Indonesia crude oil price (ICP) melebihi
15% dari asumsi APBN, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 (SM, 02/04/12).
Lahirnya pasal itu makin menguatkan bukti
bahwa ekonomi nasional kita sudah diserahkan kepada mekanisme pasar bebas yang
sarat oleh intervensi kepentingan asing. Benarkah negeri ini tak pernah
benar-benar merdeka dari tangan-tangan kepentingan asing?
Sritua Arif, pengamat ekonomi pengagum Bung
Hatta, serta pernah bersekolah di Amerika Serikat dan Inggris menyebut, kemerdekaan
hanya sebuah ilusi bagi negeri terjajah. Semua hal yang menyangkut kebijakan
politik dan pengelolaan sumber daya ekonomi negeri ini, tak pernah sedikit pun
lepas dari intervensi tangan asing. Begitu pula dengan BBM.
Di manakah letak intervensi asing? IMF dan
World Bank menagih janji kepada Indonesia yang disepakati 5 Oktober 2008 agar
menghapus subsidi energi. Campur tangan lembaga keuangan internasional semacam
IMF dan World Bank untuk penghapusan subsidi BBM sama saja artinya dengan
liberalisasi sektor energi. Dampaknya adalah ancaman serius terhadap rendahnya
daya saing industri dan usaha mikro kecil dan menengah. Maka hancur sudah
sendi-sendi perekonomian rakyat Indonesia.
Lantas apakah sistem politik-ekonomi kita
harus antiasing? Menurut Revrisond Baswir dalam Manifesto Ekonomi Kerakyatan,
2009; Pasal 33 UUD 1945 sebelum amendemen, yang secara implisit menganut sistem
ekonomi kerakyatan pada dasarnya merupakan sistem perekonomian terbuka dan
tidak antiasing. Jangankan perdagangan antarbangsa, kehadiran utang luar negeri
pun bukanlah hal haram. Bahkan hal itu menjadi niscaya saat Indonesia
membutuhkan investasi dalam rangka mempercepat kesejahteraan rakyat. Tetapi
bagi Bung Hatta, politik utang luar negeri harus mengikuti tiga persyaratan.
Pertama; negara pemberi pinjaman tidak boleh
mencampuri urusan politik dalam negeri negara peminjam. Kedua; suku bunga utang
luar negeri tidak boleh lebih dari 3-3,5% setahun. Ketiga; jangka waktu utang
luar negeri harus cukup lama. Untuk keperluan industri berkisar 10-20 tahun.
Adapun untuk pembangunan infrastruktur harus lebih lama dari itu (Baswir, 2009:
48).
Sektor
Tambang
Rezim yang berkuasa hari ini ternyata tidak
mengindahkan pesan Bung Hatta. Akibatnya, kita makin terperangkap dalam
cengkeraman IMF, Bank Dunia, dan tangan asing lainnya yang ikut mengatur
kebijakan dalam negeri kita. Misalnya tuntutan penghapusan subsidi kepada
petani yang dipaksakan oleh lembaga-lembaga internasional me-mang benar-benar
membunuh sendi-sendi ekonomi kerakyatan.
Di manakah letak modal asing dalam
perekonomian kita? Bagi Bung Hatta, modal asing justru lebih berbahaya daripada
utang luar negeri. Tentu saja, karena modal asing dengan segala bentuk prinsip
ekonominya yang kapitalistik tidak sesuai dengan rasa keadilan dan sifat
gotong-royong bangsa kita.
Kehadiran modal asing hanya bisa untuk
sementara waktu. Selanjutnya, ekonomi bangsa kita harus berdikari. Impian para
perancang Indonesia merdeka diludahi begitu saja oleh rezim sekarang.
Hampir semua sektor penting perekonomian kita
membuka lebar-lebar dan seluas-luasnya pintu untuk modal asing tanpa berupaya
membatasi keterlibatannya.
Pada sektor tambang yang paling kelihatan.
Dengan keterlibatan modal asing yang dominan, tahun 2011 penerimaan negara dari
tambang hanya Rp 13,77 triliun. Kalah jauh dari cukai yang diterima negara dari
industri rokok yang mencapai Rp 62,75 triliun.
Padahal investasi di sektor tambang melahap
lahan dalam angka jauh lebih luas. Selain itu, sektor tambang dengan dominasi
keterlibatan modal asing telah menghancurkan kearifan lokal, kerusakan alam,
dan memiskinkan rakyat banyak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar