Rabu, 04 April 2012

Demokrasi Setengah Hati Myanmar


Demokrasi Setengah Hati Myanmar
Chusnan Maghribi, Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SUMBER : SUARA MERDEKA, 04 April 2012



"Banyak negara mereformasi politik secara gradual dari otoriter-diktator ke demokrasi selalu butuh waktu dan proses panjang"

GELIAT Myanmar dalam berdemokrasi memperlihatkan dua perkembangan kontradiktif. Satu sisi, Presiden U Thein Sein mencoba menunjukkan kepada pihak luar bahwa pemerintahan Union Solidarity and Development Party (USDP) konsisten mendorong roda demokrasi di negerinya terus berputar, seiring penyelenggaraan pemilu sela 1 April 2012 guna memperebutkan 48 kursi parlemen yang ditinggalkan anggotanya untuk menduduki kabinet.

Pemilu sela ini cukup istimewa lantaran selain diikuti pula Aung San Suu Kyi (tokoh utama oposisi prodemokrasi dan pemimpin Partai Liga Nasional untuk Demokrasi/NLD) yang sebelumnya cukup lama menjadi tahanan politik pemerintahan junta, juga  Komisi Pemilu Myanmar mengundang sejumlah negara dan organisasi multilateral, termasuk Amerika Serikat (AS), ASEAN, Uni Eropa (UE), dan PBB untuk mengirim tim pemantau. Pihak asing yang diundang diizinkan mengirimkan tim pemantau masing-masing terdiri atas tiga wartawan dan dua personel perwakilan.

Keputusan mengundang tim pemantau asing merupakan terobosan cukup penting, mengingat pada pemilu 7 November 2010 negeri berpenduduk sekitar 60 juta jiwa itu menolak kehadiran tim pemantau asing. Tetapi di sisi lain, pemerintah Myanmar juga melakukan sejumlah pelanggaran (berkait proses pemilu sela) yang justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Menurut Aung Din, anggota kelompok prodemokrasi yang tinggal di Washington, proses pemilu sela diwarnai berbagai bentuk kecurangan, dari pemalsuan daftar pemilih (salah satu bentuknya nama orang yang sudah meninggal dimasukkan dalam daftar) hingga penundaan pelaksanaan pemilu sela di tiga kawasan (Mogaung, Phakant, dan Bamaw). 

Ketiga kawasan itu termasuk wilayah yang berada di bawah pemerintahan etnis Kachin.
Pemerintah berdalih pelaksanaan pemilu sela di tiga kawasan itu terpaksa ditunda karena masalah keamanan, menyusul pecahnya kembali pertempuran antara tentara pemerintah dan pemberontak etnis Kachin. Etnis Kachin mendiami wilayah Myanmar bagian Utara, berbatasan langsung dengan China dan India.

Butuh Waktu

Namun, menurut Aung Din, pemerintah menunda pemilu sela di tiga kawasan tersebut karena takut kehilangan kursi lantaran Tu Ja, mantan pemimpin Organisasi Pembebasan Kachin, mencalonkan diri sebagai kandidat independen. Aung Din meyakini jika pemilu berlangsung fair Tu Ja memperoleh kursi dari daerah  pemilihan Mogaung. Tuduhan Aung Din bahwa pemerintahan USDP berbuat curang mendapat penegasan  Aung San Suu Kyi yang mengatakan proses pemilu sela penuh kecurangan.

Lantas, apa arti semua itu? Semua itu bisa dipahami sebagai demokrasi setengah hati yang dipraktikkan pemerintahan USDP. Praktik semacam itu tidaklah baik dan penuh risiko, misalnya diprotes kubu oposisi. Kenyataannya, oposisi Myanmar pimpinan Suu Kyi sudah melancarkan protes keras atas segala kecurangan selama proses pemilu sela.  

Lalu, apakah pihak luar, terutama ASEAN yang mengirimkan tim pemantau  perlu ikut-ikutan memprotes? Tentu tidak perlu. Dalam kapasitasnya sebagai pemantau sekali pun, ASEAN tidak perlu memprotes, hanya perlu mengkritisi kecurangan yang terjadi, selanjutnya menyarankan Myanmar memperbaikinya.

Toh ada tiga wilayah etnis Kachin yang pelaksanaan pemilu selanya ditunda. Hal itu bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan bagi pemerintahan USDP menggelar pemilu sejujur-jujurnya dan transparan di bawah pengawasan pemantau asing.

Jika ASEAN ikut-ikutan protes dikhawatirkan pemerintahan USDP ngambek  sehingga ke depan tidak mau memperbaiki praktik demokrasi. Padahal, misi utama ASEAN setelah berhasil mendorong pemerintah Myanmar mau menggerakkan roda demokrasi sekitar setahun terakhir adalah mengawal kelanjutan proses demokratisasi.

Bukti empirik memperlihatkan, banyak negara mereformasi politik secara gradual dari otoriter-diktator ke demokrasi selalu butuh waktu dan proses panjang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar