Pancasila
Versus Liberalisme
Kiki Syahnakri, Ketua
Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD)
SUMBER
: KOMPAS, 23 April 2012
Pembicaraan tentang liberalisme (tepatnya
kelemahan dan keruntuhan liberalisme) tambah hari tambah ramai dan meluas,
terutama setelah keruntuhan ekonomi Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
Kritik, bahkan cercaan, terhadap liberalisme
dan kapitalisme sebagai anak kandungnya pun kian santer dan menjagat karena
dilambungkan oleh peristiwa pendudukan Wall Street, simbol kedigdayaan
kapitalisme, di AS yang notabene merupa- kan sarang utama liberalisme.
Sejak Revolusi Perancis,
liberalisme-kapitalisme telah menguasai dunia selama beberapa abad. Ideologi
ini menjadi penguasa tunggal dunia menyusul keruntuh- an komunisme pada awal
1980-an. Virus liberalisme kian perkasa dan merambah ke mana-mana, termasuk
Indonesia.
Pascareformasi 1998, kehidupan
berbangsa-bernegara di Indonesia praktis dikuasai oleh liberalisme. Liberalisme
berhasil mengerdilkan dan mengalienasikan Pancasila. Roh Pancasila pun kian
lama kian pupus dalam dada anak-anak bangsa, terlebih setelah pelajaran tentang
Pancasila menghilang atau dihilangkan dari kurikulum pendidikan. Konon, mata
kuliah Sosiologi pun telah dihilangkan dari kurikulum fakultas ekonomi
se-Indonesia. Jelas ini merupakan upaya kaum liberal untuk tak mengaitkan
liberalisme dengan masalah sosial.
Kini tampaknya keadaan sedang berba- lik
arah: liberalisme sedang meredup, kapitalisme dalam proses kejatuhan, termasuk
di negara sumbernya, AS. Ternyata vi- rus liberalisme-kapitalisme telah
bergerak tanpa terkendali dan menggerogoti tuannya sendiri sehingga terjadi
kejatuhan ekonomi global. Mengapa? Ekonom senior AS, Joseph Stiglitz, dalam
buku terlarisnya, Globalization and Its
Discontents, secara telak menyalahkan teori ekonomi liberal sebagai
penyebabnya.
Liberalisme
Karakteristik liberalisme adalah: kompetisi,
kebebasan, mekanisme pasar, yang terkuat (baca: ”kepentingan” yang terkuat)
sebagai pemenang, sangat mengagungkan hak individu (individualisme) sehingga
voting mutlak sebagai cara pengambilan keputusan. Oleh sebab itu, sistem ini
memerlukan aturan main atau hukum yang lengkap dan jelas, penegakan hukum yang
kuat, disiplin, serta sportivitas yang tinggi.
Apabila syarat atau sebagian dari syarat itu
tak terpenuhi, yang akan muncul adalah distorsi sosial yang kerap diwarnai
anarkisme, mencederai rasa kemanusiaan, dan memakan banyak korban jiwa.
Pengalaman pahit tersebut terjadi di banyak negara, terutama di Afrika dan
Asia, termasuk Indonesia, seperti yang sedang kita alami sekarang ini.
Beberapa pakar politik mengatakan bahwa
penyimpangan dan kekacauan itu merupakan hal wajar dalam demokratisasi. Ada
yang mengatakan diperlukan setidaknya tujuh kali pemilu untuk sampai pada
tingkat kematangan berdemokrasi. Pertanyaannya, dapatkah dijamin eksistensi
negara dan bangsa ini masih tetap bertahan selama periode pematangan yang cukup
panjang itu? Sulit dapat dijamin! Kebalikannya, kegagalan negara memenuhi hak
dasar warga negaranya (seperti hak mendapat sandang pangan papan yang memadai,
hak mendapat pendidikan dan kesehatan dengan mudah dan murah, serta hak
melaksanakan ibadah) dapat menimbulkan turbulensi sosial yang potensial
bermuara pada perpecahan.
Pancasila
Kebalikan dari liberalisme yang berbi- cara
tentang kompetisi adalah Pancasila yang berbicara tentang kooperasi, kerja
sama, jiwa kekeluargaan, dan kolektivisme. Pengambilan keputusan dilakukan
dengan mengutamakan musyawarah mufakat, mengedepankan kualitas ide,
mengapresiasi hikmah kebijaksanaan dalam musyawarah. ”Rasionalitas”-lah
pemenang.
Prinsip demokrasi Pancasila adalah
”keterwakilan” dengan mengedepankan egalitarianisme, bukan ”keterpilihan”.
Semua terwakili: berbagai kelompok etnis, termasuk minoritas, seperti suku-suku
di Papua, Dayak, Badui, Anak Dalam; serta berbagai golongan dan kelompok
profesi harus terwakili di parlemen agar kepentingan mereka dapat
diperjuangkan. Maka, diperlu- kan sistem penunjukan agar berbagai kelompok
minoritas sampai pada masyarakat tradisional pun terwakili. Tidak mungkin
mereka terwakili dengan cara pemilihan langsung melalui sistem kompetisi bebas.
Keterwakilan juga merupakan perekat bagi masyarakat/bangsa yang serba majemuk
seperti Indonesia.
Basis kulturalis bangsa Indonesia adalah
kekeluargaan, kolektivisme. Karena itu, liberalisme tidak cocok diterapkan di
Indonesia. Di samping itu, tingkat pendidikan dan kesejahteraan mayoritas
rakyat juga masih berada di bawah sehingga, seperti dikatakan Prof Daoed
Joesoef, ”rakyat pemilih kita adalah
rakyat yang pikirannya belum bebas untuk menentukan pendapat atau pilihan masih
harus tanya kiri-kanan atau akan terbuka jalannya oleh uang.”
Sebenarnya keadaan jauh lebih buruk karena
latar uang dalam menentukan pilihan politik tak hanya menghinggapi masyarakat
bawah, tetapi juga sudah merambah luas di kalangan yang maju dalam pendidikan
serta mapan secara ekonomi. Maka, pemaksaan sistem liberalisme di Indonesia
niscaya akan membuahkan kekacauan berkepanjangan dan dapat berujung pada
disintegrasi.
Kini, liberalisme-kapitalisme sedang limbung.
Saatnya bangsa Indonesia melaksanakan perubahan, meluruskan kembali jalannya
reformasi. Pemimpin MPR, presiden, dan elite politik sudah saatnya menginisiasi
perubahan tanpa ragu-ragu. Kembali pada jiwa Pancasila, roh Pembukaan UUD 1945.
Tak hanya bicara sloganistik, menyosialisasikan Pancasila lewat ceramah tanpa
perubahan sistemik. ●
saya disuruh mencari 20 ide dasar dari artikel tersebut..
BalasHapusmohon dibantu ya..
tank'z.