Mengelola
Koalisi Presidensial
Djayadi Hanan, Dosen
Ilmu Politik Universitas Paramadina;
Kandidat Doktor Ilmu Politik Ohio State University
SUMBER
: KOMPAS, 23 April 2012
Beberapa hari ini kita disuguhi perang
pernyataan soal nasib PKS dalam koalisi Presiden SBY.
Sekretaris Setgab Syarifuddin Hasan
menyatakan bahwa kare- na sudah membangkang dan keluar dari komitmen koalisi,
seharusnya PKS sadar diri dan segera keluar dari koalisi. Sebaliknya, PKS
melalui Sekjen Anies Matta menyatakan bahwa kewenangan SBY mengeluarkan mereka
dari koalisi. PKS menunggu keputusan resmi SBY.
Dari segi politik dan logika ko- alisi
presidensial, yang mana di antara dua pernyataan itu lebih bisa diterima?
Kewajiban PKS menyatakan resmi keluar ataukah kewajiban Presiden SBY resmi
mengeluarkan PKS?
Keluar-masuk partai dalam sebuah koalisi
adalah salah satu aspek dalam pengelolaan koalisi presidensial. Dua hal pokok
yang menentukannya: kepemimpinan presiden dan komoditas koalisi, coalitional
goods. Keduanya menentukan tingkat kestabilan sebuah koalisi presidensial.
Kepemimpinan Presiden
Koalisi dalam sistem presidensial multipartai
adalah sebuah pi- lihan. Meski sering kali tak dapat dihindari, ia tetap sebuah
pilihan. Siapakah yang melakukan pilihan itu? Presiden. Ia dapat menentu- kan
apakah akan melakukan koalisi jangka panjang (sepanjang pemerintahannya) atau
koalisi parsial (melakukannya per kasus). Tetaplah Presiden penentu.
Presiden memerlukan koalisi demi mengamankan
agenda pemerintahan. Dalam pembuatan legislasi, misalnya, Presiden butuh
dukungan sebagian besar anggota DPR agar RUU yang ia ajukan menjadi UU. Dalam
kasus anggaran negara, seperti kenaik- an harga BBM, jelas Presiden butuh
dukungan sebagian besar anggota DPR. Koalisi membuat pekerjaan Presiden
mendapat dukungan lebih mudah diarahkan dan diramalkan.
Bayangkan, seandainya tak ada koalisi dalam
kasus BBM ke- marin. Yang akan terjadi, misal- nya, Presiden harus mengirim
timnya melobi partai satu demi satu dan bernegosiasi dengan berbagai
pendekatan. Pasti lebih lama dan berbelit-belit. Dengan koalisi, Presiden dapat
mengundang semua partai anggota koalisi bernegosiasi. Pekerjaan lebih mudah dan
lebih lekas.
Pendek kata, Presiden berkepentingan dengan
dan mengendalikan koalisi. Adalah hak Presi- den mengurangi dan atau menambah
anggota koalisi. Haknya pula mendistribusikan komoditas koalisi sepanjang
menguntungkan jalannya pemerintahannya. Presiden adalah pemimpin koalisi
presidensial. Kewajibannya mengeluarkan sebuah partai dari koalisi yang ia
pimpin jika dianggap tak lagi diperlukan.
Komoditas Koalisi
Mengapa partai mau dilamar atau melamar
menjadi anggota koalisi? Ya, karena ada insentif berupa komoditas koalisi.
Komo- ditas koalisi terdiri dari dua hal: komoditas pokok dan komoditas
pendukung.
Komoditas pokok biasanya be- rupa kursi di
kabinet atau jabatan lain yang terkait dengan pos-pos di kementerian. Biasanya
komoditas ini membuka akses keuang- an yang besar kepada partai atau pemimpin
partai. Komoditas pokok ini dibagikan di awal pembentukan koalisi. Fungsinya
memang lebih banyak sebagai ”uang muka” agar koalisi terbangun.
Presiden atau partainya presi- den harus
sadar bahwa komodi- tas pokok itu barulah uang muka. Maka, Presiden harus
pandai- pandai memelihara dan mengayuh biduk koalisi terus-menerus, secara
”adil” mendistribusikan komoditas koalisi yang kedua.
Komoditas kedua ini adalah komoditas
pendukung. Sifatnya cair dan bentuknya bermacam- macam. Partai pendukung
koalisi tentu sadar dengan keberadaan komoditas koalisi kedua ini.
Yang paling umum dari komo- ditas kedua
adalah apa yang dike- nal sebagai politik pork barrel, pembagian rezeki.
Melalui kese- pakatan di APBN, biasanya ada proyek yang langsung atau tak
langsung dijadikan sebagai akses khusus anggota koalisi.
Dalam kasus rencana kenaik- an harga BBM
kemarin, ada lebih dari Rp 20 triliun dana yang disepakati sebagai kompensasi.
Dalam skema dana kompensasi ini ada yang disebut sebagai dana pembangunan
infrastruktur pedesaan yang penyalurannya melalui kementerian yang dikontrol
sejumlah partai anggota koalisi.
Komoditas kedua ini kadang tampak sepele.
Contoh dalam kasus BBM kemarin adalah ketersinggungan Ketua Umum Golkar oleh
pernyataan Ketua Fraksi Partai Demokrat. Jafar Hafsah diberitakan menyatakan
bahwa Aburizal Bakrie mengusulkan kepada Presiden menaikkan harga BBM hingga Rp
6.000. Karena tersinggung atas pernyataan ini, Golkar berbalik sikap dari
mendukung menjadi menolak kenaikan harga BBM per 1 April. Cerita selanjutnya
sudah kita tahu.
Harga komoditas koalisi yang kedua ini
fluktuatif. Biasanya ia akan cenderung makin mahal seiring dengan merosotnya
pamor presiden, apalagi menjelang pemilihan umum. Lagi-lagi kasus BBM kemarin
contoh bagus. Karena kenaikan harga BBM kemarin kontroversial dan ditolak
banyak orang, harga yang harus dibayar partai pendukung koalisi jadi lebih
mahal. Maka, Presiden harus memberi kompensasi yang lebih besar pula. Hal ini
pulalah yang dimainkan oleh Golkar.
Perhitungan PKS rupanya ber- beda. Mereka
menganggap harga yang akan mereka bayar akan lebih tinggi kalau menjadi
pendukung koalisi dalam pemungutan suara soal kebijakan BBM itu. Maka, dalam
mengelola dan memelihara koalisi, Presiden-lah yang harus mengambil sikap
terhadap tingkah laku anggota koalisinya. Presiden-lah yang dapat
mendistribusikan komoditas koalisi atau menariknya kembali sebagai bagian dari
dinamika mengelola koalisi presidensial. Presiden tentu tahu kapan harus
memberi penghargaan, kapan harus memberi hukuman. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar