Dicekam
Ketidakpastian
A Tony Prasetiantono, Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
SUMBER
: KOMPAS, 23 April 2012
Berpulangnya Wakil Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Widjajono Partowidagdo menambah ketidakpastian dan tekanan dalam
perekonomian Indonesia. Ketidakjelasan arah harga bahan bakar minyak bersubsidi
telah menimbulkan ketidakpastian ekonomi dalam beberapa pekan terakhir.
Kredit konsumsi cenderung turun karena pelaku
ekonomi cenderung menunggu harga BBM (Kompas, 21/4). Sikap ini menyebabkan
hilangnya kesempatan mendorong pertumbuhan ekonomi. Karena itu, pertumbuhan
ekonomi 2012 bakal lebih rendah dari 6,5 persen seperti tahun lalu.
Widjajono, dengan latar belakang akademik
kuat dalam ekonomika perminyakan (petroleum economics), selama enam bulan
menjabat wakil menteri terbukti aksentuatif dan mampu menjadi ”bemper”
pemerintah dalam diskusi publik.
Karena itu, kepergiannya diduga akan
memperlemah kemampuan pemerintah menjelaskan dan meyakinkan publik seputar isu
harga minyak dan konsekuensinya terhadap fiskal. Sulit membayangkan tugas ini
dibebankan kepada Menteri ESDM Jero Wacik yang merupakan ”orang baru” di sana.
Ketidakpastian menjadi kian terasa karena
sepekan terakhir harga minyak dunia turun. Harga minyak Brent tertekan menjadi
118 dollar AS per barrel, sedangkan minyak jenis West Texas Intermediate turun
menjadi 104 dollar AS per barrel.
Penyebabnya dua hal. Pertama, kekhawatiran
perlambatan ekonomi dunia sehingga menurunkan permintaan minyak. Kedua,
cadangan minyak Amerika Serikat ternyata lebih besar daripada perkiraan semula
yang menimbulkan sentimen positif penurunan harga minyak.
Selain harga minyak, hal positif lain adalah
Bank Sentral Eropa melanjutkan kebijakan operasi menambah likuiditas. Bank
komersial di Eropa bisa meminjam 1 triliun euro dengan bunga rendah. Likuiditas
longgar diharapkan menggairahkan perekonomian Eropa, khususnya yang terkena
krisis serius, yaitu Yunani, Italia, Spanyol, Portugal, dan Irlandia.
Jika tren harga minyak dunia turun, harga
minyak Indonesia di pasar dunia juga akan di bawah 120 dollar AS per barrel.
Implikasinya, kondisi ini tidak memenuhi syarat izin DPR agar pemerintah dapat
menaikkan harga BBM bersubsidi. Kalau ini terjadi, dampak negatifnya adalah
konsumsi BBM bersubsidi akan cenderung boros, tidak efisien, dan tidak
menimbulkan insentif bagi penggunaan energi alternatif.
Ke depan, harga minyak dunia tampaknya akan
mengalami tekanan tatkala konsumen mulai rasional. Dewasa ini, harga BBM di AS
adalah 4 dollar AS per galon atau sekitar 1,1 dollar AS per liter. Harga ini
setara dengan harga Pertamax di Indonesia. Bahkan, bagi konsumen AS, harga ini
kemahalan. Harga yang dianggap normal adalah 2,5 dollar AS per galon. Karena
itu, muncul spekulasi di AS bahwa Presiden Barack Obama akan pragmatis menekan
harga minyak dunia, misalnya dengan melepas cadangan minyak untuk menaikkan
pasokan dunia.
Berdasarkan analisis ini, harga minyak Brent
tampaknya tidak bakal melonjak tak terkendali, misalnya sampai 147 dollar AS,
seperti Juli 2008. Namun, juga mustahil turun di bawah 110 dollar AS karena
produsen pasti tidak mau. Jika harga terlalu rendah, produsen akan segera
memangkas produksi.
Dengan konfigurasi pasar seperti ini,
pemerintah menjadi seperti ”terkena sandwich”. Di satu sisi, harga minyak dunia
tak mencapai rata-rata 120,75 dollar AS sehingga harga BBM bersubsidi tidak
boleh dinaikkan. Di sisi lain, harga juga tidak turun di bawah 110 dollar AS.
Subsidi tetap membengkak.
Karena itu, pilihannya adalah pembatasan
konsumsi untuk mobil dengan kapasitas mesin di atas 1.500 cc. Namun, pemerintah
belum berani dengan alasan kesulitan teknis di lapangan. Dibandingkan dengan
kebijakan pembatasan yang lain—misalnya pembatasan volume pasokan di Jakarta
dan sekitarnya yang rawan keributan—pembatasan berdasarkan ukuran mesin ini
relatif lebih logis. Petugas pompa bensin tinggal mengidentifikasi sebuah mobil
memiliki berapa cc. Ini relatif mudah.
Urgensi pembatasan ini adalah demi asas
keadilan. Saya tak sepakat dengan pendapat— termasuk Menteri BUMN Dahlan Iskan—
bahwa adalah hak semua pemilik mobil, berapa pun cc-nya atau seberapa mewahnya,
untuk mengonsumsi BBM bersubsidi karena itu tak diatur pemerintah. Justru
itulah, maka tugas pemerintah adalah menghindari praktik ketidakadilan ini
dengan menerbitkan regulasi. Kebijakan pembatasan cc mobil ini kira-kira
senapas dengan kebijakan pajak progresif: semakin kaya, seseorang diwajibkan
membayar pajak dengan persentase yang lebih besar.
Pembatasan konsumsi tak terlalu berdampak
inflasi. Kalaupun menyebabkan inflasi, tidak akan lebih dari 1 persen, bahkan
bisa di bawah 0,5 persen. Ini jauh di bawah potensi tambahan inflasi 2,4 persen
jika harga BBM bersubsidi naik Rp 1.500 per liter. Angka 2,4 persen diperoleh
dari pengalaman sebelumnya.
Ekspektasi inflasi menjadi salah satu hal
yang menimbulkan ketidakpastian. Inflasi year on year akhir Maret 2012 adalah
3,97 persen. Namun, ketidakpastian harga BBM bersubsidi telah mendorong
ekspektasi inflasi tahun ini minimal 6 persen. Karena itu, logis jika Bank
Indonesia mempertahankan BI Rate 5,75 persen. Bahkan, kini BI mengkaji
kemungkinan menaikkan giro wajib minimum (GWM) bank umum yang saat ini 8
persen. Kenaikan GWM diharapkan mengurangi jumlah uang beredar. Selanjutnya,
memberi tekanan agar inflasi tak melonjak.
Namun, seiring dengan harga minyak yang mulai
tertekan, akibat rasionalitas pasar yang mulai menurunkan permintaan, seiring
dengan penurunan pertumbuhan ekonomi dunia, tampaknya kenaikan GWM bukanlah
prioritas saat ini. Inflasi tampaknya masih terkendali. Memang ada lonjakan
harga pada beberapa produk menjelang 1 April karena ekspektasi kenaikan harga
BBM bersubsidi, tetapi sejauh ini tidak masif dan bisa dikendalikan melalui
operasi pasar.
Yang mendesak dipikirkan pemerintah adalah
bagaimana agar Kementerian ESDM tetap aksentuatif dalam menghadapi publik dalam
isu harga BBM pasca-kepergian Widjajono. Ini bisa tidak mudah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar