Senin, 23 April 2012

Ironi Umur Panjang

Ironi Umur Panjang
Razali Ritonga, Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
SUMBER : KOMPAS, 23 April 2012



Peringatan Hari Kesehatan Sedunia pada 9 April mengusung tema ”Menuju Tua, Sehat, Mandiri, dan Produktif”. Tema itu sejalan dengan kondisi Indonesia saat ini yang tengah mengalami penuaan penduduk.

Penuaan penduduk terjadi seiring dengan kemajuan pembangunan di bidang kesehatan dan keluarga berencana: usia harapan hidup penduduk meningkat. Dalam tiga dasawarsa terakhir, angka harapan hidup meningkat dari sekitar 50 tahun pada dasawarsa 1970-an menjadi sekitar 70 tahun pada tahun 2010-an.

Ironisnya, setelah angka umur harapan hidup dapat ditingkatkan, penduduk berumur panjang—terutama di atas 60 tahun—ditelantarkan. Diperkirakan 2,3 juta penduduk berusia 60 tahun ke atas di Tanah Air saat ini telantar (Kompas, 11/4/2012). Usia 60 tahun ke atas sebagai lanjut usia ditentukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998Setelah Nazaruddin Divonis.

Faktual, ketelantaran penduduk lansia itu sekaligus mencer- minkan bahwa pembangunan di bidang kependudukan masih belum dilakukan secara komprehensif. Seharusnya pembangunan kependudukan dilakukan sepanjang hidup, mulai dari lahir hingga ajal menjemput.

Telantar

Tidak dapat dimungkiri bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi, yang berdampak peningkatan kondisi sosial ekonomi, memungkinkan penduduk berumur panjang. Pada 1970, dengan pendapatan per kapita sekitar 400 dollar AS, capaian umur harapan hidup adalah 50 tahun. Pada 2010 pendapatan penduduk meningkat menjadi di atas 3.000 dollar AS per kapita dan capaian umur harapan hidup 70 tahun.

Meski demikian, peningkatan pendapatan per kapita tak selalu berbanding lurus dengan peningkatan umur harapan hidup sebab hal itu masih ditentukan oleh tingkat kelahiran. Tingkat kelahiran yang menurun seperti yang terjadi pada tiga dasawarsa lalu turut berkontribusi terhadap peningkatan angka umur harapan hidup penduduk di Tanah Air.

Turunnya angka kelahiran dari sekitar 5,6 anak per ibu pada dasawarsa 1970-an menjadi 2,6 anak per ibu pada tahun 2000-an membuat komposisi penduduk berubah. Perubahan komposisi penduduk itu ditandai dengan mengecilnya proporsi penduduk berusia muda, diikuti dengan meningkatnya proporsi penduduk dewasa dan lansia. Secara paralel, perubahan komposisi penduduk itu membuat rata-rata umur penduduk meningkat.

Beranjak dari kenyataan itu, orientasi pembangunan kependudukan seharusnya paralel dengan perubahan komposisi penduduk. Artinya, pembangunan dilakukan tak hanya terkonsentrasi pada penduduk muda, tetapi juga perlu dilakukan secara proporsional untuk semua kelompok umur, termasuk di dalamnya penduduk lansia.

Sejumlah negara telah menerapkan orientasi pembangunan kependudukan secara proporsional menurut kelompok umur sehingga kelompok lansianya tidak telantar. Bahkan, proporsi penduduk lansia yang kian meningkat diikuti dengan meningkatnya alokasi anggaran. Di Spanyol, misalnya, pelayanan sosial untuk penduduk lansia pada 2006 sebesar 8,4 persen dari produk domestik bruto. Diperkirakan pada 2050 pelayanan sosial lansia di negara itu terus meningkat menjadi 15,7 persen dari PDB.

Sementara itu, Jepang yang telah mengalami penuaan penduduk sejak 1970, dengan proporsi lansia yang sangat besar, penduduk lansianya tidak telantar. Pemerintah Jepang rupanya telah mendesain skema perlindungan lansia yang proporsional dengan peningkatan jumlah lansia. Skema itu melibatkan berbagai komponen: pemerintah, rumah tangga, masyarakat lokal, lembaga sosial masyarakat, dan dunia usaha.

Peralihan Tanggung Jawab

Sebaliknya, Indonesia belum mampu menyejahterakan penduduk lansianya sehingga tanggung jawab kehidupan lansia menjadi urusan keluarga. Dengan pendapatan sebagian warga kurang dari 2 dollar AS per hari, tampaknya cukup sulit berbagi dengan lansia sebab biaya yang diperlukan untuk perlindungan lansia tidak kecil, terutama untuk mengatasi berbagai penyakit yang umum diderita lansia: kanker, diabetes, dan jantung.

Dengan kecenderungan merenggangnya ikatan keluarga akibat pergeseran dari keluarga besar ke keluarga inti, kehidupan lansia kian dirundung ketakpastian. Jadi, diperlukan peran pemerintah yang lebih besar untuk melindungi penduduk lansia guna mengurangi beban keluarga.

Pemerintah sebenarnya telah memiliki perangkat peraturan tentang kesejahteraan lansia: Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004. Ada tiga aspek yang tertuang dalam peraturan itu. Pertama, pelayanan keagamaan, mental, dan spiritual. Kedua, pelayanan kesehatan dan pelayanan umum. Ketiga, kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum.

Untuk mengimplementasikan peraturan itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan mendesain sejumlah program. Pertama, Jamkesmas lansia telantar di panti jompo atau panti sosial. Kedua, pos pelayanan terpadu untuk lansia. Ketiga, puskesmas ramah atau santun lansia dan layanan geriatri.

Namun, celakanya, program itu belum menyentuh seluruh penduduk lansia, terutama lansia miskin terkait dengan keberadaan 2,3 juta lansia yang saat ini masih telantar. Barangkali hal itu terjadi karena kombinasi dari kurangnya anggaran yang diperlukan untuk perlindungan lansia dan rendahnya sosialisasi untuk perlindungan lansia. Sosialisasi amat diperlukan karena ditengarai tidak sedikit keluarga yang merasa malu atau dinilai tidak berperasaan jika menempatkan orangtuanya, misalnya, di panti jompo atau panti sosial.

Berbagai upaya kiranya diperlukan untuk menyejahterakan lansia agar tidak telantar. Sungguh ironis, setelah usia harapan hidup dapat diperpanjang, penduduk lansia ditelantarkan. ●

1 komentar: