Jumat, 20 April 2012

Negara Harus Adil terhadap Korps Hakim


Negara Harus Adil terhadap Korps Hakim
Ahmad Yani, Wakil Ketua FPPP DPR RI, Anggota Komisi III DPR RI 
SUMBER : SINDO, 20 April 2012



Bertugas menegakkan keadilan, para hakim malah mendapat perlakuan tidak adil dari negara. Ketidakarifan memosisikan korps “wakil Tuhan” ini bisa merusak agenda penegakan hukum. 

Inisiatif para hakim daerah untuk melakukan mogok massal tentu bisa dipahami. Rakyat perlu mengetahui gambaran sebenarnya dari kehidupan hakim. Mereka yang selalu disebut “yang mulia” di muka sidang itu ternyata dalam kehidupan sehari-hari sungguh bertolak belakang. Di sebuah daerah, ada hakim yang menekuni pekerjaan sambilan sebagai tukang ojek. Ada cerita tentang hakim yang mencari tambahan penghasilan dengan menjual cabai.

Bahkan, rekan saya sendiri, salah satu hakim di Pulau Jawa, harus meninggal di dalam bus dalam perjalanan menunaikan tugas karena tidak memiliki kendaraan pribadi. Juga akibat gaji yang jauh dari memadai, seorang hakim muda mengaku kepada orang tuanya bahwa dia belum mampu mandiri. Maka, kelanjutan pendidikan si hakim muda itu terpaksa dibiayai orang tuanya. Di tempat lain, seorang istri hakim bekerja serabutan mencari rezeki untuk menambah penghasilan keluarga akibat minimnya gaji suami.

Aspirasi para hakim daerah tentang rendahnya derajat kesejahteraan mereka memberi bukti tentang strategi penegakan hukum negara yang masih jauh dari efektif. Bahkan juga sangat lemah karena strateginya tidak komprehensif. Keluh kesah para hakim daerah itu secara tidak langsung menunjukkan masih adanya kerapuhan pada konstruksi penegakan hukum. Titik kerapuhan tersebut justru ada pada kegelisahan para hakim.

Dengan beban tugas yang tidak ringan, para hakim dan keluarganya merasakan langsung betapa negara, khususnya pemerintah, memperlakukan mereka dengan semena-mena. Hal itu dimulai dari persoalan status mereka dalam struktur birokrasi negara. Karena statusnya dibuat serba-tidak jelas, para hakim pun bertanya, “Kami ini apa? Pejabat negara atau pegawai negeri sipil (PNS)?”

Sangat mengenaskan. Disapa dengan sebutan “yang mulia” di ruang sidang, tetapi sistem dan struktur kepegawaian negara tidak memuliakan para hakim karena golongan kepegawaian mereka tidak berkepastian. Ketidakpastian itu berpengaruh langsung pada sistem penggajian para hakim dengan segala eksesnya. Jangan heran jika pada beberapa daerah dengan biaya hidup yang tinggi, nilai tukar gaji atau penghasilan para hakim bisa lebih rendah dari buruh yang pendapatannya ditetapkan berdasarkan standar upah minimum regional (UMR).

Setelah memahami beberapa ketentuan yang mengatur tentang posisi hakim dalam struktur birokrasi negara, cukup layak untuk mengatakan bahwa korps hakim telah menerima perlakuan semena-mena. Undang-undang tentang kehakiman maupun tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menyebutkan bahwa hakim adalah pejabat negara di semua tingkatan.

Konsekuensi dari ketetapan itu tentu saja mengandung tunjangan yang berbeda dari PNS. UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Hakim menyebutkan bahwa kesejahteraan adalah semua yang melekat pada jabatan hakim. Kesejahteraan itu meliputi biaya dinas, dana pensiun, jaminan kesehatan, transportasi negara, dan jaminan kesehatan. Namun tidak semua tunjangan itu diberikan sampai sekarang. Berbagai usaha untuk memperbaiki kesejahteraan para hakim sudah dimulai sejak 2006, termasuk pendekatan formal melalui Ikahi. Tidak jelas benar mengapa semua upaya para hakim itu tidak direspons pemerintah. Bukan hanya aneh, tetapi muncul kesan bahwa para hakim memang diperlakukan semena-mena.

Sebab, menurut ketentuan yang berlaku,pajak penghasilan bagi PNS, prajurit TNI/Polri, dan aparatur penyelenggara negara lainnya ditanggung pemerintah. Pada Lebaran 2007, seluruh hakim sempat tidak menerima gaji. Baru bulan berikutnya gaji mereka dirapel. Juga karena ketentuan dari Kementerian Keuangan, para hakim ad hoc pun tidak lagi memperoleh gaji ke-13. Sudah sekitar 10 tahun terakhir ini tunjangan hakim tidak mengalami kenaikan.

Terakhir kali para hakim menikmati kenaikan tunjangan pada tahun 2001 setelah Presiden Abdurrahman Wahid menerbitkan Keppres 89/2001. Gaji para hakim pun tidak mengalami kenaikan selama empat tahun terakhir. Bandingkan dengan gaji PNS yang setiap tahun mengalami kenaikan. Akibatnya, gaji seorang PNS bisa lebih tinggi dari gaji hakim walaupun golongan kepangkatan keduanya sama. Pada APBN-P 2012 sekarang, DPR telah menyetujui alokasi dana Rp405,1 miliar untuk Mahkamah Agung (MA). Akan sangat konstruktif jika sebagian dari jumlah anggaran itu digunakan untuk merespons aspirasi para hakim di daerah.

Pelanggaran Etika

Sudah cukup banyak kasus pelanggaran kode etik hakim yang mengindikasikan ekses dari buruknya derajat kesejahteraan para hakim. Dalam rilis Laporan Akhir Tahun 2010, misalnya, MA mengumumkan bahwa jumlah hakim nakal selama 2010 meningkat 40% dibandingkan tahun 2009. Sepanjang periode 2010, terjadi pelanggaran disiplin oleh 107 hakim. Lima hakim pun diberhentikan secara tidak hormat oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH).

Beberapa hakim sudah dibui karena dinyatakan terbukti menerima suap, termasuk hakim Syarifudin Umar (divonis empat tahun), dan hakim ad hoc Imas Dianasari (divonis enam tahun). Hingga awal Maret 2012, tidak kurang dari 50 terdakwa kasus korupsi divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Daerah. Pengadilan Tipikor Surabaya membebaskan 25 terdakwa, Makasar 4 terdakwa, Bandung 4 terdakwa, Samarinda 15 terdakwa,Semarang 2 terdakwa, dan Palembang 1 terdakwa.

Dugaan adanya praktik mafia peradilan pun sempat menyeruak kencang. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa para hakim membuka diri bagi kehadiran mafia peradilan? Kesimpulan paling sederhana yang segera bisa dikedepankan tentu saja mempersoalkan kesejahteraan hakim. Dan, ternyata, perjuangan panjang para hakim memperbaiki kesejahteraan mereka tak juga ditanggapi pemerintah.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung, dan korps hakim plus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan pilar utama penegakan hukum dan keadilan. Kalau masih konsisten dengan agenda penegakan hukum dan upaya mewujudkan keadilan, pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tidak boleh diskriminatif dalam memperlakukan institusi-institusi penegakan hukum. Semua pilar itu harus diperlakukan sama.

Selama ini, pemerintah terus berupaya memperkuat fungsi dan peran Polri, kejaksaan, bahkan KPK. Wajar jika korps hakim merasa diremehkan sehingga harus menggagas unjuk rasa. Sekaranglah waktunya merespons aspirasi korps hakim. Tidak sekadar menaikkan gaji dan tunjangan, tetapi juga memperjelas dan mempertegas status serta posisi mereka dalam struktur birokrasi negara. Para hakim itu tetap manusia biasa, walau sering diberi gelar “wakil Tuhan” di ruang sidang. Kalau mereka mudah tergoda karena alasan tidak sejahtera, semakin sulit mewujudkan keadilan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar