Jumat, 20 April 2012

Dari Serangan Fajar sampai Serangan Dhuha


Dari Serangan Fajar sampai Serangan Dhuha
Mohammad Nasih, Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan
FISIP UMJ, Pengurus Dewan Pakar ICMI
SUMBER : SINDO, 20 April 2012



Praktik politik uang (money politic) yang terjadi dalam pemilihan umum kian mengkhawatirkan. Terutama setelah pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan secara langsung,intensitas praktik politik uang kian hari kian masif. 

Praktik yang dalam aturan main pemilu termasuk dalam kategori pelanggaran pemilu dan pelakunya diancam sanksi pidana menjadi semakin terbuka. Sebelumnya,“operasi” untuk melakukan politik uang dilakukan pada dini hari H pelaksanaan pemilu/pilkada ketika suasana masih gelap oleh sisa-sisa malam. Masih ada semacam rasa malu melakukannya sehingga dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh publik, termasuk juga oleh lawan-lawan politik.

Itulah sebabnya operasi itu disebut dengan istilah “serangan fajar”.Namun, saat ini praktik politik uang telah dilakukan secara terbuka ketika hari sudah terang-benderang. Istilah yang paling tepat untuk operasi politik uang dalam waktu siang tersebut adalah “serangan dhuha”. Disebut sebagai “serangan dhuha” karena operasi itu dilakukan dalam waktu kira-kira antara pukul 07.00 sampai sebelum waktu salat zuhur yang merupakan waktu salat dhuha.

Biasanya, para pasangan calon yang berkompetisi dalam pilkada memiliki tim pemenangan dengan membentuk semacam struktur organisasi sampai level paling bawah.Tim itu bertugas untuk mengidentifikasi preferensi atau kecenderungan para pemilih secara langsung,memengaruhi mereka apabila belum mantap dalam menentukan pilihan, dan kemudian melakukan mobilisasi untuk mau memberikan dukungan suara di TPS.

Mereka juga mengidentifikasi karakter pemilih yang secara umum dikategorisasikan menjadi dua, yakni pemilih ideologis atau idealis dan pemilih pragmatis.Pemilih dalam kategori pertama tidak perlu dimobilisasi dengan uang. Namun, pemilih yang kedua membutuhkan dorongan dengan menggunakan uang.

Sebenarnya, salah satu pertimbangan atau latar belakang mekanisme pilkada secara langsung adalah asumsi berdasarkan kalkulasi matematis bahwa para calon tidak akan mampu untuk membeli suara rakyat yang berjumlah sangat banyak.Namun, kalkulasi tersebut ternyata meleset total.

Ternyata,walaupun harus dengan jumlah kapital yang amat sangat besar, para pemilih “dibeli” juga oleh para calon karena hasrat berkuasa yang sangat besar.Fakta menunjukkan bahwa tidak ada satu pun pemilu dan pilkada yang terbebas dari praktik politik uang. Hanya saja, praktik politik uang ini sering kali menyerupai angin, bisa dirasakan, tetapi tidak bisa dilihat secara kasat mata sehingga banyak kasus sulit untuk dibuktikan.

Penopang Kapital

Praktik politik yang makin masif disebabkan kiterlibatan banyak pihak untuk melakukannya. Yang terlibat dalam permainan politik uang bukan hanya kandidat yang maju dalam pemilu saja. Para pengusaha yang memiliki orientasi untuk mendapatkan proyekproyek pemerintah pun siap untuk menopang kekuatan finansial para calon.Jika calon yang mereka dukung menang, mereka akan mendapatkan akses untuk meraih proyekproyek pemerintah dengan relatif lebih mudah.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa para kandidat menjalin kolaborasi dengan para pengusaha tertentu untuk mendanai biaya pemenangan karena mereka telah membangun deal berupa kompensasi mendapatkan proyekproyek tertentu. Itulah sebabnya para pemimpin eksekutif di daerah biasanya memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk mendesain sedemikian rupa agar proses-proses lelang proyek dapat jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha tertentu sesuai dengan keinginan mereka.

Dan itulah yang menyebabkan dana pelaksanaan proyek itu akan mengalami pemotongan dengan jumlah yang sangat signifikan, menyesuaikan dengan jumlah biaya yang telah dikeluarkan untuk biaya pemenangan pemilu. Selain pengusaha yang memiliki kepentingan untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintah, terdapat juga para penjudi yang melakukan taruhan dengan jumlah taruhan yang sangat besar.

Karena itu, mereka berani melakukan apa saja,termasuk politik uang untuk menciptakan kondisi politik tertentu yang bisa membuat mereka menang taruhan. Cikal bakal praktik perjudian dalam kompetisi politik sesungguhnya sudah terjadi sejak lama, terutama dalam proses pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades).Mereka mendapatkan kesempatan lagi dalam momentum pilkada. Agar kemenangan berada di pihak mereka, maka mereka juga terlibat dalam upaya untuk melakukan mobilisasi pemilih. Tentu saja, pemilih yang bisa dimobilisasi adalah pemilih pragmatis yang hanya mau memilih kalau ada imbalan berupa uang atau material yang lain.

Alternatif Solusi

Untuk menghilangkan atau setidaknya menekan praktik politik uang, perlu dibuat aturan main baru yang bisa menutup celah penyebabnya. Menjadikan memilih sebagai kewajiban,bukan sekedar hak, tampaknya bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif penting. Australia bisa dijadikan sebagai contoh dalam hal ini. Dengan menjadikan memilih sebagai kewajiban, setiap warga negara wajib datang ke TPS untuk memilih, walaupun dukungan tersebut bisa disiasiakan, misalnya dengan cara merusak surat suaranya.

Namun, kewajiban untuk datang ke TPS akan menyulitkan para tim pemenangan calon untuk melakukan identifikasi pemilih, apakah termasuk yang idealis atau yang pragmatis. Dengan partisipasi yang baik dari warga negara, harapan untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas akan lebih terbuka. Para calon tidak perlu untuk mengeluarkan dana besar untuk memobilisasi warga pemilih, tetapi hanya perlu melakukan sosialisasi diri dan visi-misi yang mereka miliki untuk memengaruhi pilihan warga yang wajib memilih tersebut. Dengan demikian, kesempatan bagi para calon dengan sekadar kekuatan kapital besar tanpa visi, misi, dan komitmen yang jelas untuk melakukan praktik politik uang menjadi semakin sempit. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar