Ketangguhan
Hadapi Bencana
Euis Sunarti, Kepala Pusat Studi Bencana LPPM
IPB
SUMBER : KOMPAS, 12 April 2012
Rabu, 11 April 2012, sore gempa 8,5 SR
berpotensi tsunami kembali melanda Aceh. Kejadian ini mengingatkan dahsyatnya
tsunami Aceh-Nias pada akhir 2004 yang menjadi titik balik ”keseriusan”
pemerintah membangun sistem nasional penanggulangan bencana.
Keseriusan itu diawali dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU ini
menempatkan pemerintah sebagai pihak (yang paling) bertanggung jawab dalam
penanggulangan bencana.
Namun, sekuat apa pun upaya pemerintah, tetap
diperlukan keterlibatan masyarakat. Sebab, masyarakatlah yang berhadapan dan
merasakan langsung dampak bencana. Oleh karena itu, sangat penting membangun
ketangguhan masyarakat terhadap bencana.
Enam Alasan
Terdapat enam alasan legal dan strategis
pentingnya membangun ketangguhan masyarakat terhadap bencana. Pertama karena
amanat UU No 24/2007 dan visi program penanggulangan bencana di Indonesia. Juga
sesuai strategi PBB dalam pengurangan bencana dan Kerangka Aksi Hyogo, yaitu ”Building the Resilience of Nations and
Communities to Disasters”.
Alasan kedua, walaupun pemerintah bertanggung
jawab dalam penanggulangan bencana, pemerintah tidak akan sanggup menanggulangi
tanpa partisipasi aktif masyarakat.
Alasan ketiga adalah besarnya persentase
kabupaten/kota di Indonesia yang terkategori berisiko tinggi dan sangat tinggi
terhadap bencana.
Alasan keempat, besarnya korban serta nilai
kerugian dan kerusakan akibat bencana. Mengacu berbagai sumber, Sunarti (2012)
mengompilasi beberapa contoh nilai kerugian akibat bencana.
Tsunami Aceh dan Nias (2004) menyebabkan
kerugian senilai Rp 48 triliun dan 165.708 orang meninggal. Gempa di Yogyakarta
dan Jawa Tengah (2006) menyebabkan 5.715 orang menjadi korban, 306.234 rumah
rusak, dan kerugian Rp 29,1 triliun. Sementara tsunami Pangandaran pada 2006
menelan korban 645 jiwa, 1.908 rumah rusak, dan kerugian Rp 1,3 triliun.
Banjir Jakarta pada Februari 2007 menyebabkan
145.742 rumah terendam dan kerugian Rp 5,2 triliun. Gempa bumi di Jawa Barat (2
September 2009) menyebabkan 196.107 orang menjadi korban, 264.000 rumah rusak,
dengan kerugian Rp 7,9 triliun. Gempa bumi di Sumatera Barat pada September
2009 menelan korban 1.100 orang, 249.833 rumah rusak, dan kerugian sebesar 21,6
triliun. Sementara letusan Gunung Merapi pada Oktober 2010 menyebabkan 2.682
rumah rusak di DIY dan 174 di Jawa Tengah, dengan kerugian senilai Rp 3,62
triliun.
Alasan kelima, dibutuhkan waktu lama untuk
pemulihan pascabencana hingga masyarakat kembali ke kehidupan normal. Akibat
tsunami Aceh-Nias, misalnya, diperlukan waktu lima tahun untuk pembangunan
rumah korban. Adapun akibat gempa di Jawa Barat, setahun pascagempa kurang dari
20 persen korban yang telah memperbaiki rumahnya. Pembangunan kembali perumahan
korban gempa Yogyakarta tahun 2006 relatif cepat, tetapi tidak demikian dengan
penyediaan hunian tetap bagi korban letusan Merapi 2010 karena sebagian korban
menolak relokasi.
Sementara itu, setelah 15 bulan bencana,
pembangunan 964 hunian tetap bagi korban banjir di Wasior, Teluk Wondana,
Papua, baru sampai tahap pembebasan lahan. Dana rekonstruksi dan rehabilitasi
tahun 2011 sebesar Rp 239 miliar belum dicairkan (data 18 Februari 2012).
Kondisi tersebut berdampak pada kehidupan pengungsi. Selain karena hunian
sementara mulai rusak, juga ketidaknyamanan, ketidakpastian, dan menghadapi
risiko pengusiran dari pemilik lahan yang digunakan sebagai hunian sementara.
Bahkan, di Jepang yang dinilai sebagai negara
maju dengan sistem penanggulangan bencana yang lebih baik, satu tahun
pascagempa dan tsunami di wilayah Tohoku tercatat masih 344.000 orang tinggal
di pengungsian yang sempit. Seperempat bisnis masyarakat belum pulih, bahkan
ada yang tidak bisa bangkit lagi.
Bencana menyebabkan gangguan ekonomi keluarga
dalam waktu yang cukup lama, yang akhirnya mengganggu keberfungsian keluarga.
Sungguh tidak mudah memulihkan penghidupan melalui diversifikasi atau sumber
nafkah ganda keluarga karena berkaitan dengan kualitas SDM serta terbatasnya
kesempatan, akses, dan sumber daya ekonomi wilayah.
Ekonomi wilayah rawan bencana umumnya tidak
beragam, lebih bertumpu pada sektor ekonomi primer dan belum mengembangkan
produk yang memiliki nilai tambah yang dapat menyerap tenaga kerja. Kondisi
tersebut diperparah oleh penurunan produktivitas pertanian karena berbagai
faktor. Interaksi berbagai faktor tersebut yang menunjukkan bahwa bencana dapat
menyebabkan dan/atau memperparah kemiskinan (GAR, 2009).
Alasan terakhir, keenam, adalah hasil
pembelajaran dari penanganan beberapa bencana di Indonesia. Terlihat bahwa
efektivitas penanganan bencana (saat tanggap darurat ataupun pascabencana)
berkaitan dengan ketangguhan masyarakat dalam keadaan tidak ada bencana.
Pemulihan pascagempa Yogyakarta tahun 2006 di Kabupaten Bantul yang lebih cepat
ditengarai berkaitan dengan modal sosial masyarakat sebagai komponen ketangguhan
masyarakat dan berinteraksi dengan efektivitas kepemimpinan formal.
Agenda
Ketangguhan merupakan konsep yang digunakan
untuk menggambarkan dua hal, yaitu
kekokohan dan kemampuan adaptasi dari sebuah
sistem (Suzuki dkk, 2010). Menurut Twig (2007), konsep ketangguhan sangat luas,
termasuk kapasitas dan kemampuan merespons dalam situasi
krisis/konflik/darurat.
Sebagaimana Twig (2007), Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif menyatakan bahwa
ketangguhan masyarakat terhadap bencana ditunjukkan oleh kemampuan masyarakat
dalam mengantisipasi, menahan, beradaptasi, dan memulihkan. Ketangguhan
merupakan kebalikan dari kerentanan, di mana kedua konsep tersebut laksana dua
sisi mata uang.
Membangun ketangguhan masyarakat terhadap
bencana merupakan hal yang seharusnya dilakukan para pemangku kepentingan
penanggulangan bencana. Selain BNPB sebagai penjaga gawang penanggulangan
bencana di Indonesia, Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana juga perlu
meningkatkan peran dan posisi strategisnya dalam mendorong pemangku kepentingan
penanggulangan bencana lainnya (perguruan tinggi, swasta, media, LSM) untuk
berbagi tugas dan bahu-membahu dalam membangun masyarakat agar tangguh dalam
menghadapi bencana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar