Jumat, 20 April 2012

Menjadi Nomor Satu


Menjadi Nomor Satu
La Nyala Mahmud Mattalitti, Ketua Umum PSSI Periode 2012-2016
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 20 April 2012



PADA 19 April 2012, kemarin, usia Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) genap 82 tahun. Adalah insinyur Soeratin yang membidani lahirnya PSSI. Lelaki kelahiran Solo, 17 September 1898, itu pula yang menjadi Ketua pertama PSSI pada 19 April 1930 hingga 1942. Soeratin sudah wafat di Bandung pada 11 Februari 1959 di usia 60 tahun, tetapi jasanya terus kita kenang hingga saat ini.

Sepak bola di zaman Pak Soeratin dulu memang baru dalam spirit supremasi. Ketika itu, orang ingin meneguhkan bahwa mereka lebih baik daripada lainnya. Orang Solo lebih baik daripada Jong Sulawesi, dan lain sebagainya. Namun saat ini, kita sudah dihadapkan dengan industri sepak bola yang identik dengan kapitalisme, identik dengan modal.

Kompetisi yang terjadi bukan hanya tentang memenangi dan mengalahkan lawan, melainkan juga sudah masuk prinsip untung dan rugi sebuah klub. Itu yang harus segera kita buatkan road map-nya, supaya kita tidak justru terjerembab dalam industri sepak bola yang tidak membangun prestasi sepak bola kita, tetapi hanya membuat sepak bola menjadi olahraga yang mahal.

Situasi ini merisaukan karena orang tiba-tiba harus didorong melompat ke konteks industri dengan melupakan spirit supremasi. Untuk menjadi pemain nasional, misalnya, orang sudah mengukur dibayar berapa saya di timnas? Padahal, konteks dalam timnas mestinya supremasi, kebanggaan, dan identitas.

Itu sebabnya Olimpiade selalu membuktikan bahwa Amerika pasti lebih baik ketimbang negara lain. Atau misalnya, Malaysia lebih baik jika dibandingkan dengan yang lain di SEA Games, dan lain sebagainya.

Baru dalam perjalanan berikutnya, menyangkut masalah industri dan terkait dengan masalah profesi. Di situ terlibat uang, baik itu sponsor maupun agen.

Kiblat Sepak Bola Indonesia

Saya termasuk orang yang sangat tidak setuju apabila ada yang memirip-miripkan kita dengan negara lain sehingga kita sok Amerika, sok Jepang, sok Eropa, sok ini, sok itu. Tidak! Saya ingin sepak bola kita menjadi pilihan sendiri. Itu terbukti pada saat kita pernah menjadi macan Asia.

Terkait dengan kiblat, itu hanyalah soal selera sepak bola. Ada gaya Eropa, Afrika, Asia, Amerika Latin, dan lainnya. Akan tetapi, yang universal ialah indikator-indikator sepak bola dan itu berlaku umum. Semua negara yang ingin sepak bolanya maju harus menerapkan sejumlah indikator universal tersebut. Misalnya, pemain harus memiliki profi l individu yang excellent, baik fisiknya, medisnya, psikologinya, terutama technical profile-nya.

Setelah itu, baru kita berbicara tentang permainan kolektif. Pada saat berbicara tentang permainan kolektif, kita bicara tentang organisasi bermain, organisasi bertanding, pola bermain, dan lain-lain. Soal apa yang dilakukan negara lain, itu hanya untuk memperkaya perkaya pengetahuan sehingga apa yang terjadi di luar, yang baik bisa kita ambil, tetapi bukan satu-satunya ukuran atau indikator sepak bola.

Peran Federasi

Karena itu, selain Karena itu, selain indikator umum sepak bola untuk membentuk timnas, peran federasi sepak bola juga amat penting. Federasi harus berperan menjadi regulator yang menjamin semua anggota nya tumbuh menjadi besar. Federasi tidak boleh menjadi mesin pembeku atau mesin kloning yang ke sana kemari membekukan dan mengkloning anggotanya.

Dalam konteks supremasi sepak bola, federasi punya kewajiban untuk membangun kualitas tim nasional sebaikbaiknya. Untuk menuju ke sana, tata organisasi harus berjalan dengan benar dan baik, pembinaan dan kompetisinya juga harus baik, dengan didasari spirit mengatur dan memberdayakan semaksimal mungkin semua potensi, terutama inti dari organisasi sepak bola yaitu klub sepak bola. Bukan sebaliknya, organisasi PSSI-nya yang kuat, tapi klub-klub anggotanya lemah.

Karena itu, PSSI harus mendorong, memotivasi, dan memfasilitasi seluruh anggota untuk melakukan percepatan pengembangan, baik di tingkat manajerial maupun teknik sepak bola.

Akan tetapi yang terjadi hari-hari ini, mereka yang merasa memiliki tampuk kekuasaan PSSI sebelum munculnya kongres luar biasa (KLB) PSSI di Ancol, yakni Djohar Arifin Husin dan kawan-kawan, nyata-nyata melanggar statuta dan tidak menjalankan program kerja PSSI yang sudah ditetapkan di Kongres Bali.

Saya selaku Ketua Komite Hukum PSSI, waktu itu, sudah mengingatkan Djohar dan kawan-kawan untuk tidak melanggar dan memaksakan kehendak.

Lebih baik kita jalankan dan teruskan program kerja yang sudah ditetapkan pengurus sebelum nya, sambil kita rancang perubahan-perubahan untuk disahkan di kongres tahunan selanjutnya.

Namun, mereka rupanya tidak dapat mengendalikan diri, terus memaksakan permufakatan jahat di rapat komite eksekutif. Dari situlah akar masalah federasi bermula. Padahal, saat awal-awal kepengurusan, kami semua berada pada satu gelombang atau common sense yang sama, yakni memperbaiki PSSI. Namun yang terjadi kemudian justru sebaliknya, kesalahan fatal terus diproduksi akibat secara sengaja melanggar statuta PSSI dan mengingkari keputusan Kongres II PSSI di Bali.

Maka, KLB PSSI di Ancol, Jakarta, pun tidak bisa lagi dibendung. Salah satu manifesto PSSI ialah perintah anggota agar PSSI melakukan amendemen statuta PSSI, terutama berkaitan dengan kedaulatan anggota, struktur organisasi di PSSI, dan mekanisme pengambilan keputusan.

Menyangkut masalah keanggotaan, hal itu harus tuntas dalam 2 atau 3 kongres PSSI berikutnya. Kongres pertama melemparkan gagasan, kongres kedua penetapan, dan kong res ketiga implementasi atas perubahan statuta terutama terkait dengan kedaulatan anggota. Prinsipnya ialah jadikan sepak bola ada di tangan anggota.

Kita harus menjawab pertanyaan yang sering muncul, misalnya, kenapa ISL (Indonesia Super League) semuanya menjadi voters? Mengapa divisi utama, I, II, dan III bersifat perwakilan? Kenapa tidak semua anggota itu masuk? Kenapa pengprov PSSI yang juga anggota punya hak suara, tapi punya kewajiban yang berbeda dengan klub?

Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab. Terakhir, karena kita berada di organisasi olahraga, cara berpikir kita juga harus selaras dengan spirit olahraga. Jangan dicampur dengan tepo seliro.

Olahraga itu sportif dan fairplay dalam mencapai supremasi. Kalau itu bisa kita tegakkan, kita justru akan mewarnai kehidupan sektor lain menjadi lebih baik. Itu karena spirit olahraga merupakan spirit universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar