Kompetensi
Guru
Suparman, Anggota
Tim Perumus Draf RUU Guru
SUMBER
: KOMPAS, 23 April 2012
Sebelum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen diberlakukan, kompetensi guru diukur dari seberapa besar
loyalitas dan kepatuhannya pada sistem kekuasaan.
Inilah loyalitas guru itu. Patuh menyiapkan
perangkat mengajar yang saban saat harus siap diperiksa pengawas sekolah. Patuh
mengikuti penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Taat
memastikan setiap murid juga sudah mengikutinya.
Guru harus pula selalu mengingatkan teman
sejawat dan murid-murid agar berhati-hati menyampaikan pendapat. Jangan
mengeluarkan pendapat yang bernada mengkritik pemerintah. Jangan pula memasuki
ranah politik karena, dengan itu, guru bisa dianggap menentang pemerintah dan
memecah-belah persatuan.
Setiap menjelang pemilu, kepatuhan guru
diperlihatkan dengan ikut menggalang massa kampanye, menjadi panitia pemilu di
sekolah, menyampaikan pesan-pesan pembangunan kepada murid-murid yang memasuki
usia pemilih pemula, dan mengarahkan mereka memilih partai penguasa. Semua itu
dibungkus dengan bangunan loyalitas tunggal dalam bertindak, berpikir,
berorganisasi, dan menentukan pilihan politiknya.
Setia itu Kompeten
UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional ikut mengukuhkan kewajiban guru membina loyalitas dirinya
dan peserta didik pada kekuasaan negara. Kesetiaan guru adalah kompetensi guru.
Kecerdasan memang penting, tetapi guru cerdas yang tak penurut adalah guru yang
tak kompeten. Guru yang kompeten adalah guru yang cerdas tetapi patuh atau bisa
saja tidak cerdas tetapi patuh layaknya pegawai bawahan.
Dengan kepatuhan inilah pemerintah bisa bebas
lenggang kangkung untuk tak menyejahterakan guru. Pemerintah memberi gaji
sebulan yang cukup untuk satu sampai dua minggu saja, membagi beras pera dan
berkutu, membatasi tunjangan kesehatan, dan meniadakan tunjangan pendidikan bagi
anak-anak guru.
Juga membiarkan guru menjual kertas ulangan
sebagai peng- ganti uang transpor agar tetap bisa mengajar ke sekolahnya atau
sekadar mencari tambahan buat beli susu bagi anak-anaknya.
Pemerintah membiarkan pula guru mengajar di
sejumlah sekolah lain, mengojek, atau berdagang sehingga guru tidak fokus
mendidik murid-muridnya. Pemerintah pun membiarkan sejumlah guru ke
daerah-daerah terpencil tanpa perlindungan.
Pada masa sistem kekuasaan yang ditafsir
otoriter itu, kompetensi guru dicerminkan dengan kepatuhannya sebagai mesin
kekuasaan untuk menjaga stabilitas nasional di bidang pendidikan. Karena itu,
meningkatnya jumlah peserta didik yang mau bersekolah adalah bukti keberhasilan
guru mengawal pembangunan nasional.
Keberhasilan program pemberantasan buta huruf
tak bisa di- lepaskan dari peran guru. Semakin banyak murid bersekolah, semakin
banyak pula guru direkrut tanpa harus berpendidikan sarjana. Selain karena
jumlah sarjana masih sangat terbatas, rasanya sulit mencari sarjana yang berani
maju menjadi guru dengan kondisi kerja yang sangat buruk. Dalam konteks ini,
negara tidak saja telah berutang budi kepada guru, tetapi juga berutang gaji
dan kesejahteraan lain.
Mulai Sadar
Setelah memasuki masa reformasi, pemerintah
tampaknya menyadari betul kesalahannya telah menelantarkan guru. Itu se-
babnya, usul membuat undang- undang khusus bagi guru disambut baik oleh
pemerintah. Pemerintah pun kemudian membentuk tim perumus untuk menyusun naskah
akademik dan draf RUU Guru.
Semangat yang berkembang saat perumusan draf
itu, antara lain, pertama, kesejahteraan guru harus dipenuhi secara signifikan
agar gajinya setara dengan pekerjaannya selama satu bulan. Kedua, guru dalam
jabatan harus terus-menerus diberi pelatihan dan dibiayai untuk meningkatkan
kualifikasi. Pendidikan profesi disiapkan untuk merekrut guru-guru baru yang
berkualitas.
Ketiga, guru harus fokus mendidik
murid-muridnya di satu sekolah saja dengan sejumlah tugas pokok. Keempat, guru
harus mendapat perlindungan dan terbebas dari diskriminasi.
Mengingat peran strategis guru membangun
jembatan persatuan antargenerasi yang telah dibuktikan sepanjang perjalanan
bangsa ini, semangat memperba- iki kondisi kerja guru janganlah dihambat oleh
politisasi guru di daerah ataupun pusat. Ini termasuk oleh pengelola pendidikan
yang tak kompeten.
Dalam konteks itu, menjadi sangat ahistoris
dan tak kompeten apabila pemerintah membuat kebijakan yang mempersulit posisi
guru. Uji kompetensi awal yang jelas-jelas melanggar peraturan pemerintah dan
penerapan beban kerja yang menyimpang dari UU Guru mesti disadari oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai kebijakan yang menghambat guru
meningkatkan pengabdiannya pada bangsa ini. Keluhan banyak guru terhadap
sejumlah kebijakan pemerintah saat ini sepertinya membenarkan hal itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar