Jumat, 06 April 2012

Mendudukkan Kependudukan


Mendudukkan Kependudukan
Arswendo Amowiloto, Budayawan
SUMBER : SINDO, 06 April 2012



Kalau diibaratkan obat generik, kata penduduk termasuk kata yang tidak seksi. Dibandingkan istilah warga negara, atau sumber daya manusia,  atau insan manusia.
Namun sebenarnya kata itu lebih lugas, lebih pas, untuk menggambarkan peran dan posisi kependudukan. Kalau sekarang ini sibuk dan berhiruk-pikuk soal        e-KTP, soal daftar calonpemilih, soal sensus, soal angka kematian dan perpindahan, soal mayoritas-minoritas, soal kawin-cerai, atau juga soal-soal lainnya,sebenarnya bisa memakai pendekatan di mana penduduk menjadi subjek bahasan. Barangkali kata “duduk” itu sendiri tidak menggambarkan dinamika, mungkin juga lupa dan terlena.

Penduduk-Pendidik

Sejauh saya tahu, instansi resmi yang berhubungan dengan masalah kependudukan adalah BKKBN, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.Namun,agaknya masalahnya memerlukan perhatian tersendiri. Kependudukan bukan sekadar menjarangkan kelahiran atau bagaimana menggunakan kondom, melainkan—mungkin sekali— justru menganjurkan beranak-pinak,ketika program KB sangat sukses seperti di Swedia atau Singapura.Artinya rentang tantangan lebih luas.

Apalagi, ini mungkin bagian yang terpenting, negeri ini secara kependudukan masih penuh masalah.Sekurangnya ada empat masalah mendasar.Jumlah penduduk yang banyak, terbesar keempat di dunia. Dengan laju pertumbuhan 3–4 juta setiap tahun, bisa-bisa sebesar penduduk Singapura, rasa- rasanya tetap mengerikan. Terlebih lagi ketika kuantitas itu tidak menunjukkan kualitas— indeks pembangunan manusia kita menempati urutan bawah, 124 dari 187 terbawah. Dari pendidikan pun,terbanyak justru lulusan, atau tak sampai lulus, sekolah dasar.

Pada saat yang sama pendekatan dari bidang kesehatan,kemampuan daya beli,pastilah juga suram. Tidak untuk menunjukkan pesimistis, tetapi justru untuk menekankan betapa strategis pendekatan melalui kependudukan menjadi sangat penting. Karena dengan menyadari sebagai titik tolak, ini bukan masalah jumlah,melainkan bagaimana membentuk dan membangun sebuah generasi.Kependudukan adalah sekaligus kependidikan. Sekaligus juga kepedulian.

Pada titik inilah sebenarnya awalan dari pembentukan karakter menemukan porsi besar—sesuatu yang susah payah dirumuskan strateginya oleh para ahli. Pendidikan—dan atau pengembangan— karakter adalah bagian melekat mana kala membicarakan kualitas penduduk. Sebagaimana nenek moyang kita zaman dulu memberi contoh bahwa urusan anak bukan saat diproduksi saja, melainkan jauh hari. Segala tingkah laku kita jauh sebelumnya turut menentukan watak dan karakter anak nantinya. Sungguh suatu nilai luhur yang perlu diaktualkan dengan konteks masa sekarang.

Gebrakan-Gerakan

Dengan cakupan yang demikian luas, pendekatan melalui masalah kependudukan, tak mungkin dijalani dengan anjuran, imbauan, ajakan atau bahkan instruksi dan aturan belaka.Kompleksitas permasalahannya memerlukan gebrakan yang berbeda dari program biasa, memerlukan bentukan gerakan nasional. Strategi yang pada akhirnya mengajak seluruh masyarakat, sebagai penduduk, turut mengambil peran. Turut menentukan bentuk partisipasinya.

Gebrakan untuk mengubah perilaku, changing behavior, bukan sekadar memberi pengetahuan, transfers of knowledge. Inilah yang pada awal gerakan Keluarga Berencana menjadi sukses. Justru dalam masyarakat yang mayoritas muslim, soal memasang kondom atau memakai spiral terkomunikasikan. Atau dalam bahasa iklan, bagaimana mengubah makan nasi menjadi mi instan, atau membeli air atau teh—yang sebelumnya gratis. Atau juga contoh lain—meskipun untuk kepentingan pelaku sendiri,memakai helm atau memasang sabuk pengaman.

Sesuatu yang seharusnya, namunperluterusdigebrakkan. Barangkali, pendekatan melalui jalan budaya sebagai pendekatan, bisa klop. Karena budaya tidak mengharuskan dan memaksa, karena persoalan budaya adalah persoalan proses baru yang meniadakan proses atau tata nilai sebelumnya. Bahwa menunda kehamilan tidak mengurangi kenikmatan hubungan istrisuami, bahwa menunda menikah tidak menghalangi berpacaran, misalnya. Perilaku Hidup Berwawasan Kependudukan, PHBK, karenanya nanti bisa mewujud melalui sanggar kesenian—dengan segala kegiatannya, yang sekaligus menjadi pusat informasi lokal di wilayahnya.

Komunitas yang sadar dan tahu betul problem setempat. Dan pengalaman ini menjadi bagian untuk komunitas lain, dengan perubahan dan penyesuaian. Barangkali saya menaruh harapan terlalu tinggi pada pemaknaan kependudukan. Tapi barangkali juga tetap dimungkinkan tercapainya. Paling tidak soal KTP, soal kemungkinan tawuran antarwarga, soal pemilihan kepala daerah, bukan masalah rutin yang berulang tanpa penyelesaian tuntas.Dan generasi berikutnya, sudah tertata dan tersiapkan,bahkan sejak dalam kandungan. Bukankah itu keren?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar