Selasa, 17 April 2012

Makna Penundaan RUU Perguruan Tinggi


Makna Penundaan RUU Perguruan Tinggi
Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan
SUMBER : KORAN TEMPO, 16 April 2012



Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, akhirnya menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi, yang rencananya akan disahkan pada masa sidang paripurna, 10 April 2012. Usul penundaan justru datang dari pemerintah pada hari terakhir. Adapun alasan yang dikemukakan Menteri M. Nuh kepada publik mengenai permintaan penundaan pengesahan RUU PT itu adalah perlu penambahan atas tiga hal, yaitu peran pendidikan tinggi untuk menyiapkan pemimpin bangsa ke depan, melakukan transformasi demokrasi, serta menjawab konvergensi budaya dan peradaban.

Bagi mereka yang mengikuti perdebatan RUU PT sejak awal, ketiga hal tersebut tidak pernah muncul dalam perdebatan. Artinya, secara substansial sejak awal pembahasan bukan masalah. Saya pribadi berpendapat hal tersebut tidak harus muncul dalam bentuk pasal, tapi menjadi roh RUU PT itu sendiri. Artinya, lahirnya RUU PT itu sendiri semestinya didasari pemikiran dan semangat untuk menyiapkan pemimpin bangsa ke depan, melakukan transformasi demokrasi, serta menjawab konvergensi budaya dan peradaban. Karena semangatnya seperti itu, konsekuensi logisnya adalah pasal-pasal yang ada di dalamnya harus mengeksplorasi semangat tersebut. Jadi bukan harus ada pasal tertentu yang secara eksplisit berbunyi seperti itu.

India salah satu contoh negara miskin dengan penduduk di atas 1 miliar jiwa, tapi memberikan pendidikan yang terbaik dan murah bagi warganya. Kuliah di fakultas kedokteran di sana saat ini, bila dikurskan ke rupiah, hanya Rp 2 juta selama lima tahun atau rata-rata hanya Rp 400 ribu per tahun. Dan ini tidak aneh karena, pada masa Orde Baru dulu, kuliah di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri terkemuka juga hanya sebesar itu. Wajar bila pada saat ini India merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan sekaligus menjadi pusat baru pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia. Warga India pun bangga menjadi bangsa India karena diperhitungkan oleh dunia; 30 persen dokter dan ahli information technology di Amerika Serikat adalah orang-orang India.

Pada masa Orde Baru, meskipun sistem politiknya amat otoriter dan menindas, akses terhadap pendidikan tinggi jauh lebih mudah, murah, serta tidak diskriminatif. Seleksi penerimaan mahasiswa baru pun tidak beraneka ragam, tapi hanya dua cara, yaitu melalui program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) dan ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). PMDK hanya khusus bagi mereka yang memiliki prestasi akademik bagus dan stabil di kelas I-III, sedangkan UMPTN terbuka bagi semua lulusan sekolah menengah atas dengan usia ijazah maksimal tiga tahun dari kelulusan.

Sistem penerimaan mahasiswa baru, baik melalui jalur PMDK maupun UMPTN, tersebut diterima masyarakat dan masyarakat selalu mengapresiasi lulusan SMA yang lolos seleksi PMDK ataupun UMPTN, karena dianggap sebagai orang-orang terpilih. Apresiasi dan tidak adanya protes tersebut menunjukkan sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN pada saat itu sudah bagus, adil, dan tidak diskriminatif. Hal-hal yang sudah bagus tersebut semestinya tidak diubah. Yang diubah hal-hal yang kurang sesuai dengan semangat zaman saja.

Bila RUU PT tersebut menjamin akses pendidikan tinggi yang mudah, murah, adil, dan tidak diskriminatif seperti di India atau pada masa Orde Baru, meskipun tidak terdapat pasal yang secara eksplisit merumuskan seperti apa yang diharapkan oleh Menteri Pendidikan, RUU itu bila disahkan akan dapat memenuhi harapan tersebut, yaitu berperan menyiapkan pemimpin bangsa, melakukan transformasi demokrasi, serta menjawab konvergensi budaya dan peradaban. Sebaliknya, meskipun dirumuskan secara eksplisit peran tersebut, kalau tidak ada jaminan atas akses pendidikan tinggi yang mudah, murah, adil, dan tidak diskriminatif, tetap saja praksisnya tidak melahirkan apa-apa. Jadi kuncinya bukan pasal, melainkan rohnya.

Beban Pembiayaan

Sebagai orang yang turut mengawal perdebatan RUU PT ini sejak awal, saya menduga inti persoalannya bukan di sana, tapi pada besarnya beban pembiayaan yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi yang didirikan oleh pemerintah, dulu cukup disebut PTN, tapi sekarang ada PTN dan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN). Dengan dihapuskannya pasal yang mengatur soal dikotomi antara PT otonom, semi-otonom, dan otonomi terbatas, pemerintah harus memperlakukan kebijakan yang sama untuk semua pendidikan tinggi yang didirikannya. Konsekuensinya, tidak ada lagi PTN/PT BHMN yang memiliki keleluasaan untuk menghimpun dana dari masyarakat. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah dana PTN sebagian besar dari pemerintah dan mungkin PT BHMN tidak ada lagi karena telah berubah menjadi badan layanan umum, yaitu bentuknya satuan kerja tapi memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dalam pengelolaan keuangannya. Di sisi lain, pemerintah menuntut agar PTN meningkatkan kualitas, produktivitas, dan jaringan internasionalnya. Tentu saja pemerintah tidak ingin dikatakan tidak bertanggung jawab karena menuntut yang tinggi-tinggi, tapi dukungan dananya terbatas.

Salah satu pasal yang tampaknya menjadi keberatan pemerintah adalah pasal 93 ayat 3, yang menyatakan, "Pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional PTN paling sedikit 2,5 persen dari anggaran fungsi pendidikan.” Ayat 4 menyatakan, "Dana bantuan operasional PTN sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dialokasikan paling sedikit 30 persen untuk penelitian di perguruan Tinggi".

Munculnya pasal tersebut untuk menghindari terjadinya komersialisasi pendidikan tinggi negeri. Namun pasal ini memaksa pemerintah mengalokasikan dana yang pasti untuk pendidikan tinggi dan juga untuk penelitian, yang proses pengalokasian dananya itu tidak sederhana, karena tentu akan menimbulkan perdebatan internal di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu sendiri, terutama antar-direktorat. Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah tentu akan memprotes, mengapa pendidikan tinggi yang sifatnya bukan wajib justru mendapat prioritas, sedangkan pendidikan dasar tidak. Apalagi jumlah murid di pendidikan dasar dan menengah jauh lebih banyak daripada mahasiswa di perguruan tinggi. Belum lagi soal pengalokasian 30 persen dari anggaran untuk PT tersebut diperuntukkan bagi kegiatan penelitian. Kedua ayat itu akan menimbulkan problem internal bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga wajar bila kemudian mereka yang justru minta ditunda.

Pasal Krusial

Adapun beberapa pasal krusial dalam RUU PT versi 4 April 2012 yang masih berpotensi menimbulkan penolakan adalah pasal 69 ayat 1-4 mengenai kemungkinan PTN membentuk badan hukum, serta pasal 72 ayat 2 mengenai pengangkatan tenaga dosen dan kependidikan, yang selain dari pemerintah, dari penyelenggara. Ayat ini akan menjadi problematik bagi tenaga dosen dan kependidikan di PTN berbentuk badan hukum. Juga pasal 76 ayat 1 mengenai penerimaan mahasiswa baru yang, selain melalui pola penerimaan mahasiswa secara nasional, melalui bentuk lain. Kata-kata "bentuk lain" dikhawatirkan dimaksudkan untuk tetap mengakomodasi jalur mandiri yang mahal itu. Di samping itu, pasal 94, yang mengatur PT negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Indonesia. Adapun bagi perguruan tinggi swasta, ada atau tidak ada UU PT sebetulnya tidak ada pengaruhnya. Secara umum, RUU PT tersebut sudah mengalami perbaikan signifikan dengan mengakomodasi usul-usul yang masuk. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar