Makna
Penundaan RUU Perguruan Tinggi
Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan
SUMBER : KORAN TEMPO, 16 April 2012
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan serta Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, akhirnya
menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi, yang rencananya
akan disahkan pada masa sidang paripurna, 10 April 2012. Usul penundaan justru
datang dari pemerintah pada hari terakhir. Adapun alasan yang dikemukakan
Menteri M. Nuh kepada publik mengenai permintaan penundaan pengesahan RUU PT
itu adalah perlu penambahan atas tiga hal, yaitu peran pendidikan tinggi untuk
menyiapkan pemimpin bangsa ke depan, melakukan transformasi demokrasi, serta
menjawab konvergensi budaya dan peradaban.
Bagi mereka yang mengikuti perdebatan RUU PT
sejak awal, ketiga hal tersebut tidak pernah muncul dalam perdebatan. Artinya,
secara substansial sejak awal pembahasan bukan masalah. Saya pribadi
berpendapat hal tersebut tidak harus muncul dalam bentuk pasal, tapi menjadi
roh RUU PT itu sendiri. Artinya, lahirnya RUU PT itu sendiri semestinya
didasari pemikiran dan semangat untuk menyiapkan pemimpin bangsa ke depan,
melakukan transformasi demokrasi, serta menjawab konvergensi budaya dan
peradaban. Karena semangatnya seperti itu, konsekuensi logisnya adalah
pasal-pasal yang ada di dalamnya harus mengeksplorasi semangat tersebut. Jadi
bukan harus ada pasal tertentu yang secara eksplisit berbunyi seperti itu.
India salah satu contoh negara miskin dengan
penduduk di atas 1 miliar jiwa, tapi memberikan pendidikan yang terbaik dan
murah bagi warganya. Kuliah di fakultas kedokteran di sana saat ini, bila
dikurskan ke rupiah, hanya Rp 2 juta selama lima tahun atau rata-rata hanya Rp
400 ribu per tahun. Dan ini tidak aneh karena, pada masa Orde Baru dulu, kuliah
di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri terkemuka juga hanya sebesar
itu. Wajar bila pada saat ini India merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi
tinggi dan sekaligus menjadi pusat baru pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia.
Warga India pun bangga menjadi bangsa India karena diperhitungkan oleh dunia;
30 persen dokter dan ahli information technology di Amerika Serikat
adalah orang-orang India.
Pada masa Orde Baru, meskipun sistem
politiknya amat otoriter dan menindas, akses terhadap pendidikan tinggi jauh
lebih mudah, murah, serta tidak diskriminatif. Seleksi penerimaan mahasiswa
baru pun tidak beraneka ragam, tapi hanya dua cara, yaitu melalui program
Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) dan ujian masuk perguruan tinggi negeri
(UMPTN). PMDK hanya khusus bagi mereka yang memiliki prestasi akademik bagus
dan stabil di kelas I-III, sedangkan UMPTN terbuka bagi semua lulusan sekolah
menengah atas dengan usia ijazah maksimal tiga tahun dari kelulusan.
Sistem penerimaan mahasiswa baru, baik
melalui jalur PMDK maupun UMPTN, tersebut diterima masyarakat dan masyarakat
selalu mengapresiasi lulusan SMA yang lolos seleksi PMDK ataupun UMPTN, karena
dianggap sebagai orang-orang terpilih. Apresiasi dan tidak adanya protes
tersebut menunjukkan sistem penerimaan mahasiswa baru di PTN pada saat itu
sudah bagus, adil, dan tidak diskriminatif. Hal-hal yang sudah bagus tersebut
semestinya tidak diubah. Yang diubah hal-hal yang kurang sesuai dengan semangat
zaman saja.
Bila RUU PT tersebut menjamin akses
pendidikan tinggi yang mudah, murah, adil, dan tidak diskriminatif seperti di
India atau pada masa Orde Baru, meskipun tidak terdapat pasal yang secara
eksplisit merumuskan seperti apa yang diharapkan oleh Menteri Pendidikan, RUU
itu bila disahkan akan dapat memenuhi harapan tersebut, yaitu berperan
menyiapkan pemimpin bangsa, melakukan transformasi demokrasi, serta menjawab
konvergensi budaya dan peradaban. Sebaliknya, meskipun dirumuskan secara
eksplisit peran tersebut, kalau tidak ada jaminan atas akses pendidikan tinggi
yang mudah, murah, adil, dan tidak diskriminatif, tetap saja praksisnya tidak
melahirkan apa-apa. Jadi kuncinya bukan pasal, melainkan rohnya.
Beban Pembiayaan
Sebagai orang yang turut mengawal perdebatan
RUU PT ini sejak awal, saya menduga inti persoalannya bukan di sana, tapi pada
besarnya beban pembiayaan yang harus ditanggung oleh pemerintah untuk membiayai
pendidikan tinggi yang didirikan oleh pemerintah, dulu cukup disebut PTN, tapi
sekarang ada PTN dan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN).
Dengan dihapuskannya pasal yang mengatur soal dikotomi antara PT otonom,
semi-otonom, dan otonomi terbatas, pemerintah harus memperlakukan kebijakan
yang sama untuk semua pendidikan tinggi yang didirikannya. Konsekuensinya,
tidak ada lagi PTN/PT BHMN yang memiliki keleluasaan untuk menghimpun dana dari
masyarakat. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah dana PTN sebagian besar
dari pemerintah dan mungkin PT BHMN tidak ada lagi karena telah berubah menjadi
badan layanan umum, yaitu bentuknya satuan kerja tapi memiliki fleksibilitas
yang lebih tinggi dalam pengelolaan keuangannya. Di sisi lain, pemerintah
menuntut agar PTN meningkatkan kualitas, produktivitas, dan jaringan
internasionalnya. Tentu saja pemerintah tidak ingin dikatakan tidak bertanggung
jawab karena menuntut yang tinggi-tinggi, tapi dukungan dananya terbatas.
Salah satu pasal yang tampaknya menjadi
keberatan pemerintah adalah pasal 93 ayat 3, yang menyatakan, "Pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional
PTN paling sedikit 2,5 persen dari anggaran fungsi pendidikan.” Ayat 4
menyatakan, "Dana bantuan
operasional PTN sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dialokasikan paling sedikit 30
persen untuk penelitian di perguruan Tinggi".
Munculnya pasal tersebut untuk menghindari
terjadinya komersialisasi pendidikan tinggi negeri. Namun pasal ini memaksa
pemerintah mengalokasikan dana yang pasti untuk pendidikan tinggi dan juga
untuk penelitian, yang proses pengalokasian dananya itu tidak sederhana, karena
tentu akan menimbulkan perdebatan internal di Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan itu sendiri, terutama antar-direktorat. Direktorat Pendidikan Dasar
dan Menengah tentu akan memprotes, mengapa pendidikan tinggi yang sifatnya
bukan wajib justru mendapat prioritas, sedangkan pendidikan dasar tidak.
Apalagi jumlah murid di pendidikan dasar dan menengah jauh lebih banyak
daripada mahasiswa di perguruan tinggi. Belum lagi soal pengalokasian 30 persen
dari anggaran untuk PT tersebut diperuntukkan bagi kegiatan penelitian. Kedua
ayat itu akan menimbulkan problem internal bagi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, sehingga wajar bila kemudian mereka yang justru minta ditunda.
Pasal Krusial
Adapun beberapa pasal krusial dalam RUU PT
versi 4 April 2012 yang masih berpotensi menimbulkan penolakan adalah pasal 69
ayat 1-4 mengenai kemungkinan PTN membentuk badan hukum, serta pasal 72 ayat 2
mengenai pengangkatan tenaga dosen dan kependidikan, yang selain dari
pemerintah, dari penyelenggara. Ayat ini akan menjadi problematik bagi tenaga
dosen dan kependidikan di PTN berbentuk badan hukum. Juga pasal 76 ayat 1
mengenai penerimaan mahasiswa baru yang, selain melalui pola penerimaan
mahasiswa secara nasional, melalui bentuk lain. Kata-kata "bentuk
lain" dikhawatirkan dimaksudkan untuk tetap mengakomodasi jalur mandiri
yang mahal itu. Di samping itu, pasal 94, yang mengatur PT negara lain dapat
menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Indonesia. Adapun bagi perguruan
tinggi swasta, ada atau tidak ada UU PT sebetulnya tidak ada pengaruhnya.
Secara umum, RUU PT tersebut sudah mengalami perbaikan signifikan dengan
mengakomodasi usul-usul yang masuk. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar