Selasa, 03 April 2012

Berharap pada KPU Baru


Berharap pada KPU Baru
Yan Herizal, Anggota Komisi II DPR RI
SUMBER : REPUBLIKA, 03 April 2012



Indonesia sebagai negara yang masih menapaki masa transisi dari sistem pemerintahan otoriter Orde Baru menuju sistem demokrasi, adalah suatu keniscayaan jika menempatkan pemilihan umum (pemilu) sebagai salah satu instrumen yang ampuh dalam mewujudkan konsolidasi demokrasi. Melalui pemilu itulah, asas demokrasi terpenting, yaitu penghormatan terhadap kedaulatan rakyat dalam memilih wakil dan pemimpinnya, bisa terealisasikan.

Dalam konteks ini, peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai institusi yang 
bertanggung jawab menyelenggarakan pemilu menjadi sangat penting diperhatikan. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa berjalan dengan lancarnya kehidupan demokrasi di negeri ini pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara pesta demokrasi itu sendiri.

Para komisioner KPU untuk Pemilu 2014 yang telah terpilih dan resmi disahkan DPR RI sudah seharusnya menyadari peran penting mereka dan turut menjaga kehidupan demokrasi itu. Mereka sudah seharunya melakukan langkah kerja yang lebih baik dibanding KPU pada Pemilu 2009. Jangan sampai berbagai permasalahan pada Pemilu 2009 terulang kembali pada Pemilu 2014.

Setidaknya, berbagai permasalahan mendasar dalam penyelenggaraan Pemilu 2009 yang lalu terjadi karena adanya kelemahan mendasar yang hinggap kepada para komisioner KPU. Kelemahan itu setidaknya terdapat dalam dua hal, yaitu pertama, menyangkut integritas mereka selaku anggota komisioner KPU.
Kedua, menyangkut kapasitas mereka dalam menyelenggarakan pemilu yang lancar. Kelemahan dalam kedua hal itulah yang kemudian mengganggu penyelenggaraan Pemilu 2009 yang luber, jujur, dan adil.

Kelemahan selanjutnya adalah menyangkut kapasitas para komisioner KPU Pemilu 2009. Kapasitas mereka diragukan untuk menyelenggarakan pemilu yang lancar sekaligus luber, jujur, dan adil ketika terjadi kisruh penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang berakibat hilangnya hak politik banyak warga negara.

Pemilu dan Demokrasi

Berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemilu bukan saja akan mengganggu berjalan dengan lancarnya pelaksanaan pesta demokrasi, melainkan pada dasarnya juga akan berbahaya bagi keberlangsungan kehidupan demokrasi yang terus dirawat bangsa ini. Penyelenggaraan pemilu yang bermasalah akan berbahaya bagi kehidupan demokrasi itu sendiri. Ada beberapa alasan yang bisa menjelaskannya.

Pertama, kondisi tersebut bisa menyebabkan hilangnya legitimasi pemilu.
Hal ini berbahaya karena bisa mengakibatkan hilangnya legitimasi hasil pemilu yang berkaitan dengan sirkulasi elite dalam menduduki jabatan politik seperti wakil rakyat di tingkat pusat dan daerah, bahkan kedudukan kepemimpinan nasional sekalipun.

Kedua, kejadian itu juga bisa menyebabkan merebaknya konflik sosial. Sebagai contoh, konflik pascapemilu dan pemilukada belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari ketidakbecusan KPU dan KPUD sebagai lembaga penyelenggara. Mereka terlihat gagap dalam menjalankan komunikasi yang baik antara KPU dan KPUD di daerah-daerah sehingga menimbulkan gangguan teknis pemilu, seperti ketidakjelasan alur informasi dalam distribusi logistik pemilu, jadwal rekapitulasi data hasil pemilu, dan pengawasan saat pencoblosan.

Konflik sosial yang terjadi pascapemilu dan pemilukada merupakan ancaman bagi konsolidasi demokrasi. Kehidupan demokrasi yang menuju proses konsolidasi, hanya akan tetap terpelihara selama nilai demokrasi seperti konsensus menjadi the only game in the town di antara para elite, organisasi, dan massa dalam menyelesaikan permasalahannya (Huntington,1997).

Ketiga, kisruh pemilu juga menjadikan turunnya partisipasi pemilih. Masyarakat sebagai pemilih akan mengurungkan niatnya untuk berpartisipasi menggunakan hak politiknya karena menganggap penyelenggaraan pemilu tidak menjamin hak politiknya itu dapat ter salurkan dengan baik dan semestinya.

Setidaknya, penurunan angka partisipasi pemilih di Indonesia sudah mulai terasa jika melihat data yang dilansir KPU. Pada Pemilu 1999, angka partisipasi masyarakat masih tinggi, yaitu sebesar 92,7 persen. Kemudian, menurun menjadi 84,1 persen pada Pemilu 2004. Lalu, menurun lagi menjadi tinggal 71,8 persen pada Pemilu 2009.

Pembenahan Internal

Sebagai penyelenggara pemilu, yang merupakan wujud langsung dari berjalannya kedaulatan rakyat di negeri ini, KPU harus mampu bertindak sebagai penyelenggara pemilu yang lebih baik dari sebelumnya. Beberapa pembenahan internal perlu dilakukan.
Beberapa pembenahan itu, antara lain, pertama, mereka harus mampu menjaga instrumen pemilu yang penting, terutama menyangkut pemutakhiran data pemilih. Kedua, mereka diharapkan mampu bekerja secara kolektif dan kolegial. Mengingat kepemimpinan kolektif dan kolegial akan memperkuat KPU dari intervensi dan tekanan berbagai pihak yang bisa mengganggu independensi.

Ketiga, KPU yang baru perlu menjaga integritas sebagai komisioner sehingga cukup kredibel dan mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat. Untuk lebih menjamin terpeliharanya integritas, perlu kiranya dibuat pedoman perilaku (kode etik) yang dilakukan secara berjenjang. Penyelenggaraan Pemilu 2014 merupakan tahapan kehidupan berbangsa yang turut menentukan apakah kita akan terus berada di jalur peningkatan konsolidasi demokrasi atau justru sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar