Selasa, 17 April 2012

Distribusi Kesejahteraan?


Distribusi Kesejahteraan?
Makmur Keliat, Pengajar FISIP Universitas Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 17 April 2012



Subsidi adalah penetapan harga di bawah harga pasar. Dalam logika anggaran negara, subsidi sering disebut sebagai pemborosan karena tidak mengizinkan mekanisme harga bekerja dengan sempurna.

Dalam kasus Indonesia, penetapan harga eceran bahan bakar minyak (BBM) yang jauh lebih rendah daripada harga internasional telah mengakibatkan negara harus menanggung beban dari selisih harga itu. Secara metodologis, kesimpulan tentang pemborosan ini berangkat dari asumsi pengandaian. Seandainya selisih harga dari subsidi itu—yang berjumlah puluhan triliun rupiah—dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti pembangunan infrastruktur, tentu pemborosan keuangan negara tidak terjadi.

Misteri

Kesimpulan seperti ini sebenarnya telah sejak lama disuarakan di tataran internasional. Penelitian David Coady dkk yang dilakukan sejak awal 2000 dan penelitian yang diorganisasi oleh Dana Moneter Internasional (IMF), misalnya, telah menunjukkan hal ini.

Disebutkan, subsidi BBM yang semakin besar akibat kenaikan harga di pasar internasional telah meningkatkan persentase besaran defisit anggaran terhadap produk domestik bruto (PDB) di banyak negara. Dari 58 negara yang diteliti pada 2010, Coady menunjukkan bahwa 27 negara di antaranya telah mengalami peningkatan defisit anggaran melebihi 3 persen.

Kertas kerja yang dipublikasikan Coady dkk itu juga menyebutkan mayoritas terbesar penikmat subsidi BBM sebenarnya rumah tangga lapisan atas dan menengah. Solusi yang ditawarkan oleh semua kajian ini sangat jelas dan lugas: depolitisasi harga BBM melalui liberalisasi harga. IMF juga bukan satu-satunya lembaga yang mempromosikan penetapan harga BBM sebaiknya bergerak menurut dinamika pasar. International Institute for Sustainable Development (IISD) yang berkedudukan di Swiss juga memberikan usulan serupa.

Untuk kasus Indonesia, misalnya, IISD telah mengeluarkan kajiannya tahun lalu. Temuannya, hingga 2010 besaran subsidi energi Indonesia melampaui keseluruhan pengeluaran untuk anggaran pendidikan, pertahanan, dan kesehatan. Laporan ini juga menyebutkan 90 persen subsidi BBM di Indonesia memberikan manfaat bagi 50 persen penduduk terkaya di negeri ini. Temuan penelitian IMF dan IISD ini juga tampak sangat mewarnai alur berpikir para ekonom dan memengaruhi pembuat kebijakan di Indonesia untuk mengusulkan kebijakan penghapusan subsidi BBM.

Namun, yang menjadi misteri, mengapa kesimpulan tentang pemborosan keuangan negara ini secara politik tidak memiliki pengaruh yang kuat di masyarakat? Bagaimana kita menjelaskan protes dan demonstrasi anti-kenaikan harga BBM baru-baru ini walaupun sebagian besar para ekonom menyatakan subsidi BBM adalah pemborosan keuangan negara?

Salah satu sebabnya sangat terkait dengan pemahaman yang berbeda. Sangat mungkin sebagian besar masyarakat tidak memahami subsidi sebagai pemborosan keuangan negara, tetapi wujud konkret dari konsep distribusi kesejahteraan yang harus jadi tanggung jawab negara. Tidak mengherankan jika usulan mengurangi subsidi BBM dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat dan dapat mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat. Itu pula sebabnya mengapa subsidi berbeda dengan mark up walau dari logika anggaran keduanya dapat mengakibatkan beban keuangan negara yang semakin besar.

Bagi sebagian besar masyarakat, penerima subsidi adalah publik, bukan perorangan atau lapisan sosial kaya, seperti yang disebut dalam kertas kerja IMF dan laporan penelitian IISD. Sebaliknya, penikmat mark up adalah pelaku langsung yang lahir melalui mekanisme kongkalikong. Di sektor negara, mark up muncul ketika kongkalikong terjadi antara petinggi dan pebisnis yang menjajakan barangnya dan ketika terbongkar menciptakan suatu skandal politik. Akibatnya, jika pemborosan keuangan negara melalui mark up selalu diperlakukan sebagai pelanggaran hukum, perlakuan seperti ini tentu saja tak berlaku bagi penikmat subsidi. Penikmat kebijakan subsidi pada dasarnya tidak pernah dianggap sebagai pelaku kriminal.

Penyebab kedua terkait ketiadaan sistem jaminan sosial yang terpadu. Sebenarnya gagasan tentang negara yang baik hati tak hanya dapat dilihat dari kebijakan subsidi. Kehadiran suatu sistem proteksi sosial terpadu, seperti adanya jaminan untuk tunjangan pengangguran, kesehatan, hari tua, dan instrumen proteksi lainnya, juga dapat menciptakan wajah negara yang baik hati itu. Namun, Indonesia hingga kini belum memiliki sistem jaminan sosial terpadu itu. UU BPJS hingga kini belum diberlakukan. Akibatnya, gambaran wajah negara yang baik hati itu hanya tercermin sebagian besar dari kebijakan subsidi BBM dan cermin itu akan seketika retak ketika besaran subsidi dikurangi.

Alur pikir seperti ini pula yang tampaknya menjelaskan mengapa sebagian masyarakat tak mempermasalahkan ”politik uang” dalam proses pemilihan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tak adanya sistem jaminan sosial yang terlembaga telah mendorong sebagian masyarakat untuk melihat ”politik uang” itu sebagai kesempatan dan wujud nyata untuk mendapatkan ”distribusi kesejahteraan” dari elite politik yang tengah berkompetisi.

Penyebab ketiga, ketidakpercayaan terhadap besaran kapasitas efektif keuangan negara. Indikasi itu muncul dari berbagai pernyataan dan gugatan. Misalnya, ada gugatan yang menyatakan mengapa prioritas diarahkan pada pengurangan subsidi dan bukan pada tindakan pengurangan mark up di sektor migas yang dituding telah terlembaga mekanisme cost recovery sehingga mengurangi sekaligus memberatkan kapasitas keuangan negara.

Ada pula gugatan bahwa masalah besaran beban subsidi BBM dalam APBN sebaiknya tak melulu dipahami sebagai akibat peningkatan harga BBM di tingkat internasional. Persoalan ini juga seharusnya dipahami sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk meningkatkan besaran pungutan pajak yang diterima negara. Gugatannya adalah mengapa fokus kebijakan tidak diarahkan pada kasus-kasus korupsi di institusi pajak sehingga kapasitas keuangan negara menjadi lebih besar.

Bukan Kejahatan

Kecuali tiga penyebab di atas berhasil dihilangkan, hampir dipastikan kebijakan pengurangan subsidi BBM akan tetap mendapatkan resistansi politik. Jika pun berhasil dilegalkan melalui proses politik formal di DPR dan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi, dukungan untuk mewujudkan gagasan depolitisasi terhadap harga BBM yang sejak satu dasawarsa yang lalu telah mulai diusung oleh IMF tidak akan berakar kuat di masyarakat.

Kita juga perlu menyadari, di Amerika Serikat—yang dikenal kampiun ekonomi propasar—subsidi energi bukanlah sesuatu yang tabu, tetapi norma politik yang disepakati. Menurut laporan Institute for Energy Research (2011), subsidi energi di AS menunjukkan kecenderungan peningkatan. Jika pada 2007 sebesar 17,9 miliar dollar AS, pada 2010 meningkat menjadi 37,2 miliar. Ini berarti peningkatan lebih dari 100 persen. Data ini setidaknya mengusung pesan sederhana: subsidi bukanlah tindakan kejahatan! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar