Sabtu, 21 April 2012

Kartini dan Transisi Budaya


Kartini dan Transisi Budaya
Haryono Suyono, Ketua Yayasan Damandiri
SUMBER : SUARA KARYA, 21 April 2012



Perubahan sosial budaya dunia yang mahadahsyat dewasa ini mengantar proses penyesuaian kehidupan yang luar biasa. Dalam bidang politik, di segala penjuru dunia terjadi proses demokratisasi. Dalam kehidupan ekonomi muncul gejala yang tidak pernah terjadi sebelumnya manakala negara-negara superpower mendadak mengalami stagnasi ekonomi yang mengerikan. Dalam kehidupan sederhana di pedesaan, banyak keluarga mengalami gejolak dan transisi antargenerasi yang membingungkan. Menyambut Hari Kartini, ada kisah menarik, proses transisi budaya kecil di pinggiran Desa Jirak, Kabupaten Gunungkidul.

Di warung makan Sego Abang di samping Jembatan Jirak, Kecamatan Semanu, Gunungkidul, yang sederhana tetapi laris manis itu, pada suatu hari penuh sesak oleh tamu, termasuk dua keluarga yang dari plat nomor mobilnya dapat dikenali berasal dari Jakarta dan Semarang. Satu keluarga memilih tempat duduk lesehan dan satunya mengambil meja makan sederhana yang dilengkapi kursi alakadarnya. Kedua keluarga itu bercanda asyik seakan sedang merindukan perjalanan pulang kampung mereka.

Kedua keluarga itu masing-masing mempunyai anak-anak, laki-laki dan perempuan tanggung yang berdandan dengan gaya khas anak muda kota. Tangannya dihiasi jam besar, bajunya serasi dengan celana jins yang dikenakannya tanpa terkesan norak. Tidak terlihat sedikit pun ciri anak desa yang kikuk melihat suasana ingar-bingar restoran yang sedang penuh sesak.

Dari pembicaraan kedua orangtua yang asyik memesan makanan, kentara sekali bahwa mereka sudah sangat merindukan makanan lokal kecintaannya. Hampir semua anggota keluarga ikut nimbrung memesan makanan favorit masing-masing. Sebaliknya anak-anak muda, begitu melihat menu sederhana satu halaman yang disodorkan, langsung kelihatan tidak happy. Beberapa anggota keluarga lainnya menghibur dan mencoba membuat mereka ceria.

Pada waktu makanan datang, secara spontan para sesepuh menyerbu makanan khas pedesaan dengan lahapnya sambil cekikikan melepas rindu. Sebaliknya anak-anak muda kedua keluarga itu terlihat tidak bernafsu untuk menyantapnya. Bujukan ibu, bapak dan saudaranya tidak mempan karena mereka merasa tidak nyaman dengan makanan yang tersaji. Rupanya ada kesenjangan generasi.

Sang anak perempuan dari salah satu keluarga itu bertanya kepada orangtuanya, apakah tidak ada restoran lain yang menyajikan "makanan biasa" seperti di Jakarta atau Semarang. Kedua orangtuanya menjawab bahwa makanan yang sedang dimakan itu jauh lebih enak dan nikmat dibanding makanan di kota. Jawaban itu tampaknya tidak memuaskan anak-anak muda tadi yang terpaksa ikut mengambil makanan sekedarnya untuk memuaskan orangtua mereka. Celakanya, kekecewaan mereka masih saja ditunjukkan ketika kembali ke mobil untuk meneruskan perjalanan.

Salah satu anak muda dari keluarga Semarang menutup pintu mobilnya dengan kasar seakan melampiaskan kekecewaannya kepada orangtuanya. Sedangkan anak perempuan dari keluarga Jakarta langsung saja mengambil posisi di kursi kemudi dan berkata kepada ayahnya, biar dia saja yang mengemudi. Orangtua yang melihat gelagat anaknya kurang baik tentu tidak rela dan meminta dengan rayuan agar jangan mengemudi dalam keadaan marah. Orangtua tersebut meyakinkan bahwa di kota nanti pasti ada restoran yang memuaskan. Dari kisah ini, soal makanan dan tingkah laku saja, ada transisi budaya yang sedang bergolak.

Kalau Ibu Kartini masih hidup, pasti akan ikut prihatin melihat gejala seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar