DKI Butuh
Pejabat yang Teruji
( Wawancara
)
Yunarto Wijaya, Direktur Riset
Charta Politika
SUMBER
: SUARA KARYA, 21 April 2012
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, 11 Juli 2012,
kian dekat. Enam pasangan bakal calon gubernur dan bakal calon wakil gubernur
(cagub dan cawagub) yang sudah mendaftarkan diri, menunggu ditetapkan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI.
Mereka adalah pasangan Cagub-cawagub Faisal Basri - Biem Benjamin
dan Hendardji Soepanji - Ahmad Riza Patria yang maju melalui jalur perseorangan
(independen); serta empat pasangan lain yang diusung oleh partai politik
(parpol), Alex Noerdin - Nono Sampono (Golkar, PPP dan PDS), Joko Widodo -
Basuki Tjahja Purnama (PDIP dan Gerindra), Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli (Demokrat,
PAN, PKB dan sejumlah partai non parlemen), dan Hidayat Nur Wahid - Didik J
Rachbini (PKS).
Tak bisa dipungkiri, empat bulan menjelang pesta demokrasi di Ibu
Kota, suhu persaingan antarkandidat semakin memanas. Mereka beradu visi dan
misi untuk merebut simpati warga Jakarta. Sejarah mencatat, untuk pertama kali
masyarakat Jakarta dihadapkan pada begitu banyak figur untuk dipilih menjadi
Gubernur DKI periode 2012-2017.
Yang menarik, dari figur cagub tersebut, ada dua kepala daerah
yang masih aktif memimpin, Mereka adalah Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin
dan Wali Kota Surakarta (Solo) Joko Widodo. Mengapa dua pejabat itu bernafsu
memimpin Ibu Kota?
Terkait memanasnya suhu politik di Jakarta dan peluang keenam
Cagub - Cawagub DKI itu, wartawan Harian Umum Suara Karya, Yon
Parjiyono dan fotografer Annisa Maya mewancarai Direktur Riset
Charta Politika, Yunarto Wijaya di kantornya Jalan Cipaku II, Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan, Rabu (18\4).
Apa komentar Anda tentang fenomena pejabat daerah aktif bernafsu
memimpin DKI Jakarta?
Prinsipnya begini. Secara umum Pilkada DKI ini skalanya memang
lebih luas dibanding pilkada provinsi lain. Karena, ini bukan bicara menjadi
pemimpin DKI saja, tetapi memilih pimpinan Ibu Kota Negara sebagai pusat
pemerintahan, dalam arti ada otoritas yang lebih luas yang diemban oleh
Gubernur DKI. Tak berlebihan, ada ungkapan bahwa menjadi Gubernur DKI, bukan
sekadar meraih jabatan B1 tetapi seakan-akan menjadi RI 3.
Yang menarik, ketika muncul pejabat yang dinilai banyak orang,
sukses memimpin daerahnya, ikut maju bersaing merebut kursi Gubernur DKI. Jadi,
bukan sekadar aspek putra daerah lagi yang dikedepankan. Karena, bicara DKI
adalah berbicara barometer politik Indonesia, dan sekarang sangat dimungkinkan
bagi pejabat daerah yang sukses dapat dipilih menjadi pemimpin DKI.
Apakah ini fenomena positif bagi DKI ke depan?
Ya. Tampilnya Alex Noerdin dan Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan
ada sebuah kekecewaan pada level yang cukup tinggi terhadap kinerja incumbent.
Bahkan, sampai ada parpol mencari kepala daerah lain yang dianggap sukses di
daerahnya untuk ikut bersaing merebut kursi Gubernur DKI.
Seperti apa konstalasinya sampai menjelang pemungutan suara, 11
Juli nanti?
Yang jelas, dengan adanya enam pasang ini, kita bisa melihat suatu
kondisi bahwa hampir tidak mungkin terjadi satu putaran dalam menentukan
pemenang Pilkada DKI. Karena, aturan di DKI ini khusus, yaitu 50 persen plus
satu (UU No 29 Tahun 2007) tentang DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Berbeda dengan provinsi lain yang hanya membutuhkan sekitar
30 persen saja. Kita akan melihat proses sampai dua putaran.
Pertanyaannya, siapa yang akan masuk putaran kedua? Saya pikir
kalau kita lihat dari survei-survei, pemetaan secara elektoral, mungkin calon
yang didukung parpol memiliki peluang lebih besar dibanding calon independen.
Tetapi bukan berarti calon perseorangan tidak ada peluang, karena
pemilih masyarakat Jakarta sangat rasional. Pemilih yang tidak terikat dengan
pilihan partainya.
Konkretnya seperti apa?
Di level tertentu, masyarakat cenderung independen, dan memilih
didasarkan pada kebutuhan pribadinya. Nah, mereka akan melihat secara
emosional. Pertama, gubernur yang karakternya cocok dengan dirinya, sehingga
muncul pendekatan dari cagub yang sifatnya emosional bukan apa programnya,
seperti memakai baju tertentu, bahasa tertentu, slogan tertentu yang mudah diingat.
Pendekatan kedaerahan, sehingga akan mempengaruhi pilihan dari masyarakat.
Kedua, secara rasional, yaitu bicara program, saya pikir warga Jakarta sangat
peduli terhadap kehidupan sehari-hari.
Kalangan menengah yang naik mobil pribadi mungkin mengharapkan
cagub yang realistis untuk mengurai kemacetan. Warga yang tinggal di pinggir
kali akan melihat cagub yang mampu menanggulangi banjir. Warga kelas menengah
ke bawah akan melihat program pendidikan dan kesehatan gratis. Dan, itu akan
dipengaruhi oleh masing-masing kandidat yang punya program secara detail,
sehingga output-nya mereka langsung merasakan manfaatnya.
Ada asumsi incumbent bakal unggul, karena dia lebih dulu
sosialisasi terhadap program-program tersebut?
Segala kemungkinan masih bisa terjadi. Anggapan bahwa incumbent
pasti menang itu menyesatkan. Tidak bisa disimpulkan seperti itu, walaupun
elektabilitasnya paling tinggi. Kalau kita baca dari hasil survei tingkat
kepuasan masyarakat terhadap kinerja incumbent, agak rendah.
Dibanding incumbent daerah lain yang maju, calon-calon lain masih
punya potensi meski saat ini sedang bertarung pada level pengenalan, belum
masuk pada subtansi program-program, sehingga gubernur yang berkuasa sekarang
popularitasnya masih di level atas, karena hampir semua masyarakat kenal dia.
Jadi, kita belum bisa melihat siapa yang bakal jadi pemenang sekarang.
Bagaimana progres dukungan kepada dua kepala daerah yang masih
aktif, Alex Noerdin dan Jokowi?
Alex Noerdin juga populer di level menengah ke bawah karena
program pendidikan dan kesehatan gratis. Sedangkan Jokowi unggul di masyarakat
menengah ke atas karena berhasil membangun komunikasi. Sekarang kita sadari,
Jokowi bisa menjadi media darling banyak sekali eforia, mobil Esemka, baju
kota-kotak, komunikasinya khas, sehingga banyak dipantau oleh media massa.
Kalangan menengah ke bawah, menengah ke atas juga terbagi oleh
Hidayat Nur Wahid, karena dia memiliki basis pemilih massa PKS yang cukup kuat
jaringannya. Jadi, sebenarnya masih merata. Incumbent punya jaringan birokrasi
sampai ke bawah mulai RT, RW, lurah, camat hingga wali kota yang akan
mempengaruhi masyarakat yang dipimpinnya dalam menentukan pilihan.
Faktor lain yang menguntungkan petahanan?
Ya, itu tadi, jaringan birokrasi itu selalu menjadi keunggulan
seorang incumbent. Kenapa di banyak daerah lain pun petahanan selalu lebih
unggul pemilihnya di level menengah ke bawah, kalau dia berkinerja baik.
Mekanisme pengawasan Pilkada DKI sering dipertanyakan. Pendapat
Anda?
Karena ada enam pasang cagub-cawagub, kita cukup senang, tentu
dapat melihat metode pengawasan yang dilakukan secara swadaya dari banyak
pihak, minimal ada enam pihak. Agak sulit Pilkada diawasi struktur resmi entah
itu KPU, panitia pengawas pemilu (panwaslu) karena dispekulasikan lebih dekat
dengan incumbent. Panwaslu di banyak
pilkada lain agak sulit memberi sanksi, hanya teguran. Dengan enam pasangan,
maka akan banyak pengawas independen, sehingga diharapkan tidak ada kecurangan
dalam Pilkada DKI nanti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar