Sabtu, 14 April 2012

Jebakan Semantis


Jebakan Semantis
Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan
SUMBER : KOMPAS, 14 April 2012


Dalam praksis kekuasaan, siapa yang menguasai bahasa akan menguasai masyarakat. Bahasa punya kekuatan semantis untuk mengubah dan membentuk cara berpikir khalayak. Demi kepentingannya, penguasa sering menggunakan kekuatan semantis sebagai jebakan.

Jebakan semantis ditebarkan melalui kata-kata bersayap dan narasi ambigu. Ambiguitas sengaja dihadirkan menjadi kabut untuk menabiri makna dan maksud kalimat yang sesungguhnya. Diharapkan, penerima pesan (publik) menjadi tertelikung dalam memahami persoalan genting sehingga makna yang sejatinya penting menjadi terbaikan.

Dalam Sidang Paripurna DPR, politisi koalisi partai propemerintah telah sukses menciptakan jebakan semantis itu melalui pengesahan Pasal 7 Ayat (6a) RUU APBN-P 2012 yang memungkinkan pemerintah menaikkan/menurunkan harga bahan bakar minyak. Padahal, pasal itu diduga bertabrakan dengan Pasal 33 dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Kompas, 2/4).

Menelikung Logika

Sekilas, ”Ayat BBM” itu berpihak pada kepentingan rakyat. Namun, sejatinya ia berpihak pada kepentingan pemerintah. Durasi ketidaknaikkan harga BBM hanya enam bulan. Sementara durasi ”penyesuaian” harga BBM oleh pemerintah tidak kenal batas waktu. Rakyat hanya bisa ”bernapas” enam bulan, sedangkan pemerintah leluasa bernapas tidak terbatas.

Jebakan semantis membawa kita pada kenangan buruk rezim Orde Baru yang sangat piawai mengolah bahasa guna menelikung logika demi penyamaran kebijakan politik yang menindas rakyat. Orde Baru punya senjata ampuh bernama eufimisme (pelembutan istilah). Melalui eufimisme, Orde Baru memanipulasi makna dan nilai atas realitas.

Di tangan Orde Baru, yang nyata menjadi semu dan yang semu menjadi nyata, sesuai dengan hasrat kekuasaan. Melalui penguasaan bahasa, Orde Baru mampu menghegemoni makna dan membangun kepatuhan kolektif. Rakyat disungkurkan dalam dunia semu, dunia seolah-olah. Rakyat diyakinkan bahwa dunia seolah-olah itu nyata: seolah-olah demokratis, seolah-olah makmur dan adil.

Kaum politisi kelas koalisi partai pro-rezim SBY ternyata mewarisi kepiawaian rezim Orde Baru dalam soal menghadirkan dunia seolah-olah: seolah-olah harga BBM tidak mungkin naik, seolah-olah memperjuangkan aspirasi rakyat, dan seterusnya.

Celakanya, politik akal-akalan ini mereka anggap prestasi gemilang yang bikin rakyat bangga. Setelah memenangi voting, mereka menebar tawa, ekstase, saling tepuk dada, dan saling punya sesama teman. Seolah-olah mereka telah membebaskan rakyat dari tekanan teror kenaikan harga BBM. Padahal, sejatinya mereka sedang merayakan kepatuhannya atas majikan.

Tidak Berempati

Para pembuat produk ”Ayat BBM” itu sama sekali tidak menunjukkan sikap empati dan keprihatinannya terhadap perjuangan kaum mahasiswa, buruh, dan elemen masyarakat lain yang berdarah-darah karena pukulan, tendangan, dan terjangan peluru karet aparat demi menolak kenaikan harga BBM.

Mereka juga sama sekali tidak membayangkan bahwa meskipun kenaikan harga BBM tertunda, rakyat telah lama menjerit karena tidak mampu mengejar harga-harga kebutuhan pokok yang telanjur membumbung tinggi. Apakah mereka mampu menghentikan lambungan harga-harga itu? Tidak!

Mereka mungkin alpa bahwa isu kenaikan harga BBM sangat sensitif bagi ekonomi rakyat. Kengerian dampak isu BBM tidak dapat dilenyapkan hanya dengan statement politik di televisi atau koran bahwa ”dalam enam bulan ke depan harga BBM tidak naik”. Dalam langgam kapitalistik, pasar telanjur liar!

Para politisi koalisi partai propemerintah tak akan merasakan dampak kenaikan harga BBM karena mereka berada di istana, di pusat-pusat kekuasaan, di mana uang menggumpal. Mereka begitu gampang meraup uang itu. Harga BBM dinaikkan berapa pun, mereka tidak akan sambat karena aliran uang mereka tak pernah tersumbat. Maka, mereka pun selalu bisa pamer tawa di hamparan penderitaan rakyat yang nyaris meregang nyawa.

Skandal ”Ayat BBM” itu semakin menegaskan, DPR tidak sepenuhnya menjadi representasi kekuatan rakyat. DPR hanya menjadi selubung ”pejuang aspirasi rakyat”, tetapi sinyalnya cenderung berpusat pada kepentingan rezim penguasa. Sebaliknya, terhadap majikannya, yakni rakyat, DPR justru sering ”tulalit”. Sinyal kerakyatan itu selalu eror atau sengaja dibikin eror. Apakah DPR masih mewakili rakyat? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar